Jumat, 23 September 2011

Kebenaran-Jalanan, Bagian II: Enyahlah Politik Kampus


beritapolitikterkini.blogspot.com
Oleh: Bung Yaumil*
Politik, Mahasiswa Tidak Butuh Praktik
Aristoteles: “Poltitik sama dengan kedaulatan dan kekuasaan yang melahirkan negarawan atau penjahat.” Bagi saya jelas bahwa Aristoteles telah memberikan penekanan akan arti politik, jikalau kita tak tuntas membahasnya maka seorang yang berharap menjadi negarawan akan menjadi penjahat yang tak terampunkan. Dan saat itulah kita akan berkomentar: “Bahwa kita harus berpolitik untuk membangun kebaikan.”
Saya mulai ketika teman-teman ITS merasa bahwa politik penting untuk dipraktikkan, politik dalam KBBI adalah ilmu yg mempelajari sifat dan fungsi negara dan pemerintah, bukan kampus tentunya—walaupun kita beranggapan bahwa dunia mahasiswa adalah miniatur negara dengan trias politika-nya.
Ketika berbicara politik tidak akan terlepas dari Montesquieu—pencetus politik kontemporer dan trias politika—yang termuat di dalam Magnum Opus-nya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis: "Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; mengenai haluan dasar dan perundang-undangan, kekuasaan eksekutif; mengenai hal-hal yang berkenaan dengan hukum antara bangsa dan kekuasan yudikatif; mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.
Mostesquieu tidak menekankan bagaimana cara merebut kekuasaan. Karena baginya politik adalah alat untuk mengatur sebuah proses kehidupan sosial dan ekonomi yang diarahkan pada penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat. Trias politika inilah yang menekankan paham politik bukan dalam perebutan kekuasaanya.
Bagaimana dengan Indonesia, Sejak zaman kerajaan kita sudah mengenal sistem politik kekerajaan dilanjutkan pada masa koloni dengan gaya politik penjajahan atau politik belah bambu (memecah belah) dengan stabilitas rentan. Sedangkan masa demokrasi liberal, politik berbentuk ideologi, HAM, integrasi dan partisipasi massa sangat tinggi namun kondisi masih saling menunggangi. Berlanjut kepada masa demokrasi terpimpin, sedikit berbalik dari demokrasi liberal; integritas, partisipasi dan HAM sangat rendah namun kondisi stabil karena gaya kepemimpinan cenderung lebih berideologi dan nasakom dengan militer sebagai alat kekuasaan. Masuk kepada masa demokrasi Pancasila yang serba abstrak karena sistem politik yang sedang dibangun ulang dengan gaya politik teknokrat: Intelek dan pragmatik dengan konsep pembangunan bahkan partisipasi mati namun menyandang nilai HAM yang tinggi.
Terakhir era-reformasi dengan bentuk politik pragmatik, HAM dijunjung, partisipasi di utamakan dan stabilitas terencana. (hasil diskusi sejarah politik 100 hari SBY pada tanggal 27, Barisan Rakyat melawan). Lagi-lagi asas partai politik atas kekuasaan tidak terkait dalam pembentukan paradigma substansial politik.
Bagaimana dengan partai politik sendiri? Terhitung sejak Agustus 1950 sudah ada 27 partai politik yang berdiri. Partai sebagai landasan pertama untuk membentuk kelengkapan insfrastruktur. Melalui partai pemerintahan bisa dibentuk, kemudian berlanjut pada pembentukan legislatif, yudikatif dan militerisme. Namun berjalannya waktu partai politik pun berkembang dan mengatasnamakan rakyat dengan ideologi-ideologi yang berkembang. Perjuangan pun berubah nama dengan partai sebagai motor politik. Bukan hanya itu, agama dibawa-bawa untuk memperoleh kekuasaan absolutisme golongan di Indonesia.
ITS : belajar berpolitik atau tendensi memasukkan partai politik
Melihat Universitas Airlangga yang menggunakan partai buatan/sementara dalam pemilihan presiden BEM yang berbentuk oligarki golongan membuat saya takut kalau-kalau ITS akan sama seperti UNAIR. Dampak negatif adalah perebutan kepentingan golongan, cara-cara haram hingga mudahnya partai politik masuk ke dalam kampus dan ikut mengkontrol keadaan kader-kadernya.
Menyambung pada tulisan Kebenaran Jalanan Bagian I, kasus yang saya ungkapkan adalah dampak dari berbagai kaki partai di kampus yang mulai liar akan kekuasaan, penuh nafsu untuk memimpin hingga segala carapun dilakukan termasuk elemen—bersekretariat di Gebang (Kebenaran-Jalanan Bagian I). Awalnya saya penasaran, kenapa saya dibantu oleh elemen tersebut, padahal dari segala lini kepanitiaan pencalonan dipegang oleh elemen yang bersangkutan yang menawarkan pengelembungan, dengan asumsi elemen tersebut bisa menang dengan kemungkinan 100 persen, tentunya ditambah suara penggelembungan.
Dalam hemat saya bahwa saya hanya menjadi alat untuk merobohkan rezim dan menjadikan awal untuk merebut kekuasaan di tahun pemilihan selanjutnya dan pastinya cara-cara subversif dilakukan terus-menerus. Dan kemungkinan kedua adalah faktor ketidakberanian elemen tersebut untuk “tarung” langsung dengan risiko terburuk yaitu citra yang telah di bangun selama 60 tahunan akan hancur lebur.
Ada sebuah fenomena yang membuat saya masih tidak percaya bahwa itu adalah kenyataan, pada pencoblosan hari kedua banyak coblosan yang diluar dugaan—maksudnya begini: Ketika di data daftar surat suara yang dicoblos lebih banyak dari pendaftar yang mencoblos. Hal ini terjadi di 17 TPS dengan hampir 300 suara-an yang tak bertuan. Saya dan tim menuntut penghitungan ulang. Setelah debat yang alot dan pemboikotan perhitungan, akhirnya dengan segala keterpaksaan, KPU bersedia dengan syarat semua surat suara hari pertama dan hari kedua tetap di-publish. Namun kita masih tidak sepakat, karena jelas bahwa permasalahan harus di selesaikan terlebih dahulu. Boikotpun terjadi.
Setelah pemboikotan, KPU mulai perhitungan pertama beda suara saya dengan lawan hanya berkisar 200an suara. Namun begitu anehnya sebuah permasalahan yang diharapkan akan terbuka ketika akan dilakukan perhitungan ulang secara detail dan menyeluruh terlihat semakin aneh, beda suara saya dengan lawan bertambah banyak lagi dan semua surat suara tak sah itu kini kembali menemukan tuannya. Sungguh tidak masuk akal bagi saya.
Dan seperti kata Rosihan anwar; “politik dalam arti sharing power atau berbagi kekuasaan di antara berbagai kelompok kepentingan” dalam Petite Histoire 1 menjelaskan bahwa politik tidak akan terlepas dari perebutan kekuasaan dan pembagian jabatan. Bagaimana dengan calon satunya lagi, setelah memperoleh kemenangan dan mulai membentuk sebuah kabinet, saya mendengar desas desus bahwa elemen yang menyarankan untuk meraih kemenangan dengan menggunakan penggelembungan masuk dalam susunan menteri-menterinya. Saya juga mendengar dari beberapa teman bahwa elemen tersebut dipecah atau sengaja terpecah agar mencari kondisi aman untuk bisa masuk dalam kabinet dan bisa berkonstribusi langsung untuk “membangun” langkah selanjutnya. Sungguh pintar dan sangat hebat loyalitas perjuangan yang dianut sehingga saya bingung, prinsip apa yang digunakan. Dan saya memohon maaf karena tidak bisa memberikan nama-namanya yang dikarenakan akan merusak nama baik orang tersebut. cukup sistem dan fenomena ini saja yang saya buka.
Seperti itulah yang terjadi, bahkan kerentanan dan rapuhnya sistim yang mudah didomplangi. Bagaimana jika dibentuk partai-partai politik kecil buatan? Maka sistem memasuknya partai politik ke dalam kampus akan sangat mudah dalam bentuk-bentuk politik cap pelacur atau politik jual diri. Dan saya semakin yakin dari fenomena teman-teman Unair dan IAIN, segala hal akan menjadi halal untuk posisi pemimpin yang ”mengatasnamakan” kebenaran, mahasiswa yang mengatasnamakan agama menjadi penguasa rimba. Saya tidak habis berfikir kalau sebegitu ambisiusnya seorang manusia dalam menguasai sebuah jabatan. Bahkan bagaimana saat Hitler dulu dengan pasukannya meluluhlantahkan yahudi di pertengahan abad 20an demi kekuasaan? Holocaust.
“Kalau membangun bangsa hanya dengan partai politik, saya memilih untuk tidak masuk surga.” begitulah Thomas Jafferson menggambarkan wajah politik. Semoga kejadian tersebut tidak terulang lagi.
*Yaumil F Gayo-KAM ITS
Surabaya, Malam 13 Juni 2011

1 komentar:

  1. Bukannya kutipannya thomas jefferson itu' kalau masuk surga harus lewat partai politik, saya memilih untuk tidak masuk surga ' ?

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!