eko shikamaru-TC '10 |
Perundangan
Dibuat Untuk Dilanggar
Menjadi mahasiswa merupakan anugerah
tertinggi yang didapatkan seorang pemuda bangsa. Apalagi menetapkan pilihan
untuk aktif dan berkegiatan dalam Organisasi Mahasiswa (Ormawa), tentulah
sebuah kesadaran yang tinggi untuk dapat memberikan manfaat yang berarti ke
orang lain. Ironisnya, kemampuan yang kita miliki dalam bidang akademis, belum
tentu mampu menghadirkan kesadaran yang tinggi tersebut. Sangatlah paradoks. Tidak
menutup kemungkinan, banyak dari mahasiswa tidak paham perundang-undangan yang
mengatur dunia kemahasiswaan atau Ormawanya sendiri. Dan tidak menutup
kemungkinan pula jika mahasiswa dapat dengan mudah ditunggangi. Akar
permasalahannya terletak pada ketidakpahaman mengenai UU dan aturan yang
berlaku dan mengikat.
Atas dasar inilah, Tim Langkah Awal melakukan analisa mendalam
terhadap perundang-undangan yang ada, juga melakukan wawancara ke beberapa
mahasiswa, baik aktivis Ormawa maupun tidak, untuk menggali sekilas kondisi yang
terjadi di lingkup Ormawa.
Kami sangat tidak berharap bahwa
argumen, “Peraturan dibuat untuk di langgar” atau “kalau tidak melanggar, tidak
asik”, terjadi pada kampus perjuangan ini. Berikut hasil reportase dan analisa
Tim Langkah Awal:
Ternyata
Kita Saling Melanggar
Peraturan, UU dan hukum, tidak akan
pernah lepas dari pasal, ayat, dan butir-butir. Di negara demokrasi seperti
Indonesia; peraturan, UU dan hukum merupakan suatu produk hukum yang harus
dibuat dan di taati. Dapat kita bayangkan bila negara tidak mempunyai ketiga
hal tersebut. Kacau-balau yang terjadi. Jelasnya negara tercinta ini tidak akan
dapat bertahan lama.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya (ITS) adalah miniatur sebuah negara, pun ada peraturan-peraturan yang
harus ditaati. Pastilah mengikat semua orang yang mempunyai hubungan dengan
ITS, tidak terkecuali mahasiswa. Baru-baru ini Kelurga Mahasiswa (KM) ITS telah
melahirkan UU yang baru hasil Musyawarah Besar IV (Mubes IV). Perundangan di Mubes
III sudah tidak “relevan”. Dan sekarang KM ITS pasti berharap banyak dari Mubes
IV yang menjadi dasar kestabilitasan KM ITS. Semoga saja.
Cukup banyak sebenarnya UU yang
mengatur mahasiswa. Tapi, apakah mahasiswa sudah sadar aturan? Agar kita mampu mengenal
aturan main yang dibuat untuk dunia kemahasiswaan. Sehingga kita tahu
batasannya.
“Ternyata kita sama-sama melanggar.”
Kalimat itu keluar begitu saja saat tim Langkah
Awal mencoba menggali dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang berkenaan
dengan mahasiswa. Salah satu pasal yang sering digunakan mahasiswa untuk
membela dirinya adalah Kemendikbud RI Nomer
155/U/1998 Pasal 2 yang berbunyi: “Organisasi
kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari,
oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar
kepada mahasiswa.”
Pasal ini dapat
dijadikan pedang dan tameng saat berurusan dengan birokrasi. Pasal 6 memperjelas pasal 2 yang berbunyi, “Derajat
kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan
tinggi terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara
mahasiswa dengan pimpinan perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa
pimpinan perguruan tinggi merupakan penanggungjawab segala kegiatan di
perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan tinggi.” Intinya, keleluasaan yang diberikan
mahasiswa seperti termaktub dalam pasal 2, masih harus melalui kesepakatan dengan
pimpinan perguruan tinggi. Tentunya tidak melanggar Statuta perguruan tinggi.
Bagaimana dengan implikasinya?
Coba kita
tafsirkan lebih jelas lagi, bahwa kata ‘tanggung jawab’ dan ‘kesepakatan oleh
kedua belah pihak’—mahasiswa dan birokrasi menjadi pokok utama pada pasal 2,
Kebmendikbud 1998. Namun jika salah satu pihak mulai mengintervensi tanpa
adanya negoisasi, maka undang-undang tersebut telah dilanggar dan pihak yang
bersalah bersiaplah mendapatkan ganjarannya. Aplikasinya sangat paradoks, pengkaderan
dan perencanaan kegiatan masih dibatas-batasi oleh birokrasi kampus.
Bahkan Pasal 3 pada kemendikbud 1998
yang berbunyi bentuk organisasi disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan
dan Statuta perguruan tinggi. Bagaimana jika birokrasi malah menafsirkan hal
yang berbeda yaitu tidak memberikan kewenangan pada mahasiswa untuk bebas
memilih karakter dalam berorganisasinya. Tentunya dengan membatasi pergerakan
mahasiswa itu sendiri, seperti pasal 1 ayat 2 dan pasal 4 pada Peraturan Rektor
2009 mengenai AD/ART dan bentuk organisasi harus seizin rektor. Ribet?
Bagaimana
dengan sebaliknya, apakah mahasiswa sudah menuntut haknya untuk menjalankan
kesepakatan tersebut dengan baik dan benar? Karena selama rektor yang membatasi
ruang gerak dan mahasiswa hanya bisa diam saja. Berarti mahasiswa tersebut
tidaklah paham hukum.
Dalam hal
ini, rektor sebagai pimpinan tertinggi, seharusnya melibatkan mahasiswa dalam
melahirkan kebijakan yang berkaitan dengan organisasi kemahasiswaan sehingga
ada kesepakatan disana. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan Statuta ITS
dan Tata Kehidupan Kampus terkesan lebih pada “mematikan” karakter
berorganisasi setiap mahasiswa. Dengan begini, produk hukum atau kebijakan yang
dibuat oleh birorasi ITS sudah melanggar ketentuan yang ada dalam peraturan
menteri.
Sebagai
contoh pada Pasal
3 ayat 2 Peraturan Rektor ITS 2009 bahwa; Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) harus disahkan oleh rektor, tentunya tidak ada yang salah pada pada
peraturan tersebut, namun tidak ada pasal penegas bahwa dibalik persetujuan AD/ART
harus ada kata sepakat antara mahasiswa dan birokrasi. Namun pada implikasinya
bahwa pasal tersebut dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan yang tak dapat
di tawar. Sebaik apapun AD/ART himpunan, jika birokrasi berkehendak lain maka
birokrasilah yang menang. Lagi-lagi kita hanya bisa terdiam dan skeptis
menghadapi permasalahan yang terjadi.
Lalu, apa
yang dilanggar oleh mahasiswa? Ada beberapa peraturan yang di langgar oleh
mahasiswa pada Keputusan Rektor (Keprek) tahun 2009 seperti pasal 7, 8 dan 11
mengenai masa jabatan maksimal pengurus ormawa adalah satu tahun. BEM dan HIMA
di ITS telah melanggarnya. Bahkan melanggar pasal 9 Kemendikbud 1998. Sungguh
mengharukan.
Tidak hanya
itu, yang lebih menarik lagi mengenai pasal Pasal 24 ayat 6 pada mengenai tindakan
pemalsuan (surat, stempel, kuitansi bahkan dana proposal). Semua mahasiswa “nakal”
pasti paham tentang kasus ini. Bahkan tanpa ada peraturan pun semua orang juga
tahu hal tesebut tidak layak dilakukan seorang yang terdidik. Namun demi
perjuangan, nakal pun harus dilakukan.
Sekarang kita akan beralih ke
Kemendikbud 1998 pada 5 ayat 7 tentang fungsi Ormawa yang berbunyi “untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang
di landasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral dan wawasan
kebangsaan.” Coba kita ambil salah satu contoh wawasan kebangsaan, apakah
setiap kegiatan Ormawa di ITS telah menggunakan aturan tersebut? Teman-teman
yang berkutat pada struktural pasti lebih paham telah mentaatinya atau malah
melangkahinya.
Lagi-lagi yang lebih menarik bagi tim Langkah Awal adalah kemendikbud 1998
pasal 8 mengenai keanggotaan organisasi. Bahwa “keanggotaan organisasi kemahasiswaan adalah seluruh mahasiswa yang
masih terdaftar dan aktif pada kegiatan akademik.” Tentunya semua mahasiswa
yang masih aktif dan terdaftar mempunya hak yang sama. Lalu apa dasar kita membelah mahasiswa menjadi warga dan
non-warga? Kemudian, apakah landasan dari aturan AD/ART himpunan mengenai “pengurus
himpunan adalah mahasiswa yang telah melewati masa pengkaderan, dll.” Mahasiswa
yang dicap non-warga atau tidak lulus tes masuk organisasi pun divonis tidak
boleh berorganisasi dalam himpunan dan struktur lainnya. Sungguh kejam.
Lebih lucunya lagi, birokrasi sama sekali tidak memandang pasal 8 tersebut.
Birokrasi tidak akan menurunkan dana kepada mahasiswa ITS yang tidak terdaftar
pada struktural hingga tidak bisa melakukan haknya untuk berkegiatan di kampus.
Jelasnya! mahasiswa non-warga dan yang tidak termasuk struktural bersiaplah
gigit jari untuk diasingkan.
Bagaimana
Dengan Tujuan Pendidikan Tinggi?
Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menjalaskan bahwa tujuan
pendidikan tinggi salah satunya; “Mengembangkan
dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta
mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.”
Dapat diperhatikan pada kalimat
“mengupayakan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.” Berbanding
terbalik dengan kenyataan dari data Surabaya Dalam Angka tahun 2008 bahwa angka
putus sekolah pada masyarakat Keputih dan Sukolilo sebesar 73,4 persen dan
meningkat pada tahun 2009 dalam Tugas Akhir tahun mahasiswa Unair sebesar 74,9
persen.
Dimana aplikasi dari tujuan pendidikan
tinggi pada Dikti tersebut?
Kata Mahasiswa
Tim redaksi
mewawancarai empat orang mahasiswa yang menjadi narasumber, yang dibagi menjadi
dua orang dari kalangan ormawa dan dua orang lagi dari kalangan non-ormawa.
Bertujuan untuk menggambarkan sedikit kondisi mahasiswa ITS.
Bachtiar
Riyanto, seorang mahasiswa Teknik Sipil ditemui di kantin Teknik Sipil.
Mahasiswa non-ormawa ini sama sekali tidak paham mengenai perundang-undangan yang
mengatur ormawa, “Saya tahunya perundang-undangan tentang teknis akademik.”
Akunya.
Mahasiswa
angkatan 2009 tersebut juga tidak berminat untuk mengetahui perundang-undangan
yang mengatur dunia kemahasiswaan. “Saya kurang tertarik tentang apa yang tidak
menguntungkan buat saya.” Bachtiar menambahkan, “pada dasarnya biasa-biasa
saja, semua tergantung orangnya, dia ingin tahu atau tidak.” Bachtiar bahkan
berkomentar kalau mahasiswa berhak untuk tidak tahu undang-undang.
Ketika ditanya
pada tempat yang berbeda, salah satu mantan aktivis ormawa, Denny Maruli Silaen
mengaku pernah tahu perundang-undangan yang mengatur ormawa seperti DIKTI dan
Peraturan Mendikbud, namun Bung Denny tidak ingat pasti pasal-pasalnya.
Pemuda
angkatan 2006 Teknik Kelautan ini mengatakan bahwa, "penyebab utama
mahasiswa luput dari pemahaman tentang perundang-undangan adalah tidak adanya
pembahasan atau pendiskusian mengenai penyebaran isu strategis
perudang-undangan yang mengatur ormawa." Tambahnya lagi, "pihak yang
berkewajiban tidak menjalankan tugasnya dengan baik." Pemuda kelahiran
Sumatra Utara ini sangat menyayangkan sebagian teman-teman yang paham UU, malah
tidak menjalankannya.
Mantan
aktivis BEM Fakultas tersebut mencoba menganalisa: "Permasalahan utama
mahasiswa yang tidak mau tahu perundang-undangan yang mengatur ormawa terletak
pada permasalahan pribadi yang mulai mengarah kepada acuh tak acuh atau sifat
apatis yang mulai mengakar."
Untuk sementara, motif pelanggaran pada
perundang-undangan ialah tidak tahu perundang-undangan dan melanggarnya dengan
ketidaktahuan. Apa itu salah?
Lain Bung
Bactiar dengan Bung Denny, lain pula Vincent Kusuma. Mahasiswa jurusan
matematika ini tidak mengetahui adanya undang-undang yang mengatur ormawa,
“Lagian tidak penting, karena saya tidak ikut ormawa.” Bung Vincent
menambahkan, “tahu poin pentingnya saja sudah cukup. Namun jika mahasiswa yang
ikut dalam ormawa sampai tidak tahu, itu yang tidak benar.” Mahasiswa angkatan
2010 ini menegaskan jikalau mahasiswa non-ormawa tidak perlu tahu isi perundang-undangan,
karena tidak masalah menurutnya.
Sedangkan Nuraini,
mahasiswa jurusan matematika, tidak terlalu tahu mengenai UU ormawa. Aktivis HIMATIKA
angkatan 2010 tersebut beralasan karena: “Tidak pernah melihat adanya
sosialisasi tentang perundang-undangan ormawa.” Jeng Nuraini berpendapat.
“Seharusnya mahasiswa yang aktif dalam ormawa harus mengerti UU Ormawa, agar
tidak kalah dalam berargumen dengan birokrasi.”
Bagi Nuraini,
akan sangat memalukan jika mahasiswa yang aktif di ormawa sama sekali tidak
paham tentang undang-undang yang mengatur ormawa. “Mahasiswa yang tidak aktif
di ormawa juga berhak tahu tentang perundang-undangan ormawa.” Jeng Nuraini
menegaskan, “sebagai seorang mahasiswa yang seharusnya juga tahu tentang
kegiatan kemahasiswaan yang dananya diambil dari SPP yang dibayar oleh semua mahasiswa
ITS.
Sekilas
mengenai dunia perundang-undangan yang ada di kampus kita. Pemerintah pusat
selalu beralibi bahwa undang-undang mengenai pendidikan tinggi sudah tepat
namun pihak kampus masih bisa mencari celah untuk melebarkan jalannya dalam
membungkam mahasiswa. Sedangkan mahasiswanya, tahu tidak tahu, ya tidak mau tahu! Padahal sudah diatur mengenai
Pendidikan Luar Sekolah atau berorganisasi adalah wajib bagi pelajar atau
mahasiswa yang tertera pada PP No. 73, 1999 dan Kepmendikbud No.188 tahun 2000,
pasal 49. Sehingga mau tidak mau kita harus paham UU yang berhubungan dengan
kemahasiswaan dan mau tidak mau kita harus berorganisasi.
Salam
Kebebasan Berfikir.
menarik !!
BalasHapusseharusnya ada kajian mengenai undang-undang bagi aktivis ormawa. Bukan hanya ngerjain proker aja....
miris...
kadang ironis banget.... antara milih jadi aktivis atau bukan aktivis...
BalasHapusmank kata terspecial ya kalo pengen fokus kuliah wajib dan fardu ain IP harus cumlaude, dr pada g cumlaude mending belajar hal lain (ormawa atau pun or2 yg lain)...cos malu brow mahasiswa kampus negeri dg dana pinjaman dr rakyat miskin hasil pemerasan pajak ..eeee di kampus cuma buat main2.....contohnya:
1) kuliah asal2 an
2) kegiatan ormawa asal2 an
3) dan saya komen asal2 an hahahah mantap pertamax gan!!!!!!
lebih baik lagi....
BalasHapusip cumlaude...aktivis pula...
jangan sampai idealisme mahasiswa membunuh kewajiban akademik...
kesenangan membicarakan perubahan sesuatu yang besar tapi kewajiban "berantakan"... malu dong...
hahaha