www.google.co.id |
Oleh: Bung Ucup*
Dua puluh delapan Oktober 1928, merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada saat itu merupakan hari kelahiran bangsa Indonesia. Para pemuda negeri ini mengumandangkan ikrar suci bahwa kita semua satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Momen bersejarah yang telah digoreskan oleh para pemuda untuk bangsa kita. Tepat 83 tahun sudah berlalu, kami mencoba untuk mengenang sejarah peranan pemuda dalam membangun bangsa lewat sebuah diskusi rutin. Pada malam (28/10) itu, bung Ucup mulai mengantarkan wacana dengan menceritakan kembali tentang peranan, perjuangan serta pergerakan pemuda Indonesia. Pada tahun 1908 tepatnya tanggal 20 Mei, lahirlah Boedi Oetomo yang merupakan organisasi pemuda dengan ketuanya seorang pemuda bernama Dr. Soetomo.
Enam belas Agustus 1945, detik–detik menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, peran pemuda kembali muncul pada saat peristiwa Rengasdengklok yang merupakan peristiwa penculikan oleh beberapa pemuda yang dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni terhadap Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan. Dua puluh satu tahun setelah Indonesia merdeka, pemuda negeri ini kembali berperan dalam membangun bangsa dengan perjuangan mereka mendirikan orde baru dan tergulingnya kekuasaan presiden Soekarno pada tahun 1967. Pada masa itu ada salah satu tokoh pemuda yang sangat idealis dan menjadi panutan beberapa pemuda. Tak peduli dijauhi ataupun dimusuhi, dia tetap memegang teguh dan mencurahkan pandangan idealismenya untuk bangsa ini. Tokoh pemuda itu bernama Sho Hok Gie.
Perjuangan pemuda dalam membangun negeri ini memang tak pernah berhenti, 15 januari 1974 menjadi catatan bersejarah yang tak pernah bisa dilupakan bagi para pemuda dengan terjadinya peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Berlanjut pada saat Era NKK/BKK pada tahun 1978 yang melibatkan pihak militer berhadapan langsung dengan para pemuda, pihak militer masuk ke dalam kampus dan berhadap–hadapan secara langsung dengan mahasiswa.
Yang masih teringat jelas dalam ingatan kita adalah perjuangan pemuda tahun 1998 saat menuntut reformasi dan dihapuskannya orupsi, kolusi dan nepotisme. Para pemuda bergerak dengan menduduki gedung DPR/MPR hingga pada akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif berakibat tewasnya para pemuda yang merupakan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan, diantaranya: peristiwa Cimanggis, tragedi Semanggi dan tragedi Trisakti.
Selama puluhan tahun para pemuda Indonesia telah menunjukkan perjuangannya untuk negeri ini, tokoh–tokoh pada zaman dahulu sering sekali berperan penting dalam membangun bangsa Indonesia lewat pemikiran–pemikiran dan karya–karyanya justru pada usia mudanya.
Soekarno mampu menciptakan pleidoi terhadap pemerintah kolonial Belanda dengan judul “Indonesia Menggugat” ketika masih berumur 29 tahun, Tan Malaka telah menyalurkan pemikirannya untuk bangsa lewat karyanya yang berjudul “Naar de Republiek Indonesia”—Menuju Republik Indonesia—pada saat berusia 28 tahun. Pada saat usia 25 tahun yang dikatakan masih relatif muda, Sutomo sudah mampu menjadi pembangkit semangat sekaligus pemimpin perjuangan arek–arek Suroboyo dalam peristiwa 10 Nopember. Jenderal Soedirman sebagai pempinan pertempuran yang berhasil memukul mundur pasukan Inggris dari Surabaya pada tanggal 16 Desember 1945, ketika itu usianya masih 19 tahun.
Ki Hajar Dewantara juga menyalurkan pemikirannya lewat sebuah artikel berjudul “Seandainya Aku Orang Belanda” yang memberikan kritikan pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda ketika pada tahun 1913 dimana beliau masih berusia 24 tahun. Tentunya masih banyak sekali para tokoh bangsa maupun generasi terdahulu kita yang berperan penting dalam membangun bangsa ini dimulai sejak usia mudanya. Lantas apa yang terjadi dengan peran pemuda saat ini? mengapa peran pemuda saat ini tidak begitu terlihat dalam membangun bangsa ini ?
Bung Arif sebagai salah satu peserta diskusi juga mengatakan hal senada dengan permasalahan yang dilontarkan oleh bung Ucup. “Memang terlihat bahwa tidak ada sumbangsih secara langsung dari para pemuda saat ini dalam membangun bangsanya, apakah memang para pemuda saat ini terjebak dalam zona kenyamanannya masing–masing atau ada hal lain yang membuat peran pemuda tidak terlihat secara nyata?”.
Jeng Yuli pun mencoba menjawab lontaran permasalahan yang ada. Menurutnya hal tersebut tidaklah terjadi secara tiba–tiba, kondisi yang terjadi sekarang ini dimulai dari suatu proses yang panjang sejak tahun 1965. Ketika era orde baru, mulailah terjadi semacam bentuk penjajahan baru, memang bukan penjajahan secara fisik melainkan berupa infiltrasi dengan berbagai bentuk yang mempengaruhi pembentukan karakter, terciptanya budaya liberal dan terciptanya budaya konsumtif yang tidak diimbangi dengan kemampuan produksi.
Berbeda dengan bung Rere, justru dia mempertanyakan mengapa kita membicarakan peranan pemuda secara nasional? karena jika dibandingkan dengan tokoh–tokoh zaman dahulu yang pada usia mudanya sudah berperan besar dalam membangun bangsa, salah satu alasannya pada waktu itu memang mereka berada pada kisaran waktu yang mendorong mereka untuk muncul. Sebaliknya, mengapa kita tidak membicarakan sejauh mana para pemuda bisa berguna untuk daerah sekitarnya. “Untuk mengubah bangsa ataupun dunia apa harus dengan menngambil kekuasaan?” tambah bung Rere.
Bung Ony juga memberikan pendapat berbeda dalam menjawab wacana permasalahan yang sedang didiskusikan. Menurutnya, kondisi para pemuda saat ini berbeda dengan zaman dahulu dikarenakan para pemuda sudah terstruktur oleh golongan tua agar pola pemikirannya sangat pragmatis. Bung Yaumil juga menambahkan bahwa pada masa sebelum kemerdekaan, bangsa kita berada dalam satu frekuensi, merasa senasib sepenanggungan—tentunya dengan musuh bersama. Oleh karena itu, soekarno mampu menggerakkan bangsa ini berjuang untuk merebut kemerdekaan. Akan tetapi, pada saat ini penyamaan frekuensi tersebut yang masih belum bisa ditemukan untuk bergerak bersama membangun bangsa.
“Sejarah Indonesia merupakan sejarah pemuda Indonesia,” begitulah kata seorang sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Delapan puluh tahun, usia yang tidak lagi muda untuk bangsa ini. Sejarah perjuangan para pemuda di masa lalu hendaknya kita jadikan sebuah acuan untuk memproyeksikan masa depan bangsa ini. Betapapun kompleks dan rumitnya permasalahan yang melanda bangsa ini mulai dari kapitalisme, feodalisme, imperialisme dan lain sebagainya. Para generasi pemuda terdahulu telah mengajarkan dan menunjukkan bagaimana seharusnya pemuda berjuang dalam membangun bangsanya—pastinya kita sudah paham peta perjuangan dengan meraba sejarah. Tentu harus kita lanjutkan. Salam kebebasan berpikir!
*Nurul Mausuf-Matematika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!