its.ac.id |
Oleh: Bung
Samdy*
Betapa
bahagianya pejabat ITS membaca media cetak maupun elektronik hari Jum’at (16/9)
lalu. Di kala kisruh UI masih mendominasi pemberitaan soal kampus, kabar “ITS
Eco Campus” seakan memberi kesejukan. Berbagai program telah dicanangkan seperti
penanaman pohon, membatasi kendaraan bermotor, serta mengurangi pemakaian AC. Tak
ketinggalan, penyediaan sepeda sebanyak 500 unit.
Langkah ini
boleh dikata “revolusioner” untuk ukuran ITS dan Indonesia. Sebagai negara
berkembang, Indonesia berbeda dengan negara maju. Tanda majunya sebuah negara dapat
dilihat dari seberapa banyak wilayahnya mengepulkan asap. Entah itu karena
industri ataupun kendaraan bermotor.
Indonesia belum
menjadi negara maju. Tapi kita masih berhasrat menuju ke arah sana. Terkait
gaya hidup, Indonesia sebetulnya akan memasuki fase seperti halnya negara maju
pernah mengalaminya. Sebagai satu contoh; masyarakat akan ramai-ramai memiliki
kendaraan pribadi. Orang yang dulu hanya bisa jalan kaki dan naik sepeda, akan
membeli sepeda motor. Setelah itu, ganti dengan mobil berharga murah dan kemudian
mobil bermerek.
Sebelum
memasuki fase tersebut, orang Indonesia harus melihat kenyataan bahwa di negara
“sana”, sudah timbul kesadaran untuk kembali ke zaman baheula. Jalan kaki
ataupun naik sepeda, selain menyehatkan, juga dapat menjaga keseimbangan alam. Orang
Indonesia—dan negara berkembang lainnya—bisa jadi merasa tidak adil; gara-gara
negara maju, mimpi punya kendaraan jadi terkesan menakutkan.
Saya pikir, inti
dari menjaga lingkungan adalah bagaimana menciptakan pola pikir yang tidak
melulu gengsi dan prestise. Dahulu kala, simbol kemapanan dan kehormatan adalah
kendaraan pribadi—selain rumah dan harta. Beruntungnya, kendaraan termewah
waktu itu cuma kereta kuda yang tidak mengeluarkan asap. Dengan demikian,
prestise yang sering berkonotasi negatif, tidak berimplikasi negatif terhadap
alam dan lingkungan.
Di masa kini, prestise
melahirkan hal yang sebaliknya. Hasrat memiliki kendaraan ternyata dapat
merusak alam. Kalaupun kendaraan itu menggunakan bahan bakar non-minyak,
masalah selanjutnya adalah keterbatasan lahan. Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo,
mungkin pusing tiap malam bagaimana caranya mengurangi pemakaian kendaraan
pribadi di Ibu Kota. Bukan karena dia peduli lingkungan, tapi supaya kemacetan
parah bisa teratasi. Inilah yang disebut gengsi dan prestise yang berefek
negatif.
ITS
Kampus “Hijau”
Apa yang
dilakukan ITS sebetulnya tidak sampai berkeinginan mengubah paradigma tersebut.
ITS Eco Campus justru upaya mengejar prestise pula. Menurut ranking “UI Green
Metric”, kampus tercinta kita menduduki peringkat 18 kampus sedunia yang ramah
lingkungan. Wow, sesuatu yang kelihatan tidak mungkin jika parameternya
sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi—untuk bersanding dengan Harvard,
MIT, Cambridge, ataupun Tokyo. Tapi dalam menjaga lingkungan, kampus ini
termasuk elit dunia.
Pejabat ITS
kemungkinan sadar diri bahwa hanya dalam bidang lingkungan (yang saya maksud
bukan Jurusan Teknik Lingkungan) ITS bisa dikenal. Walaupun dilakukan oleh UI, belum ada lembaga lain di
dunia yang khusus menilai berdasar kepedulian pada lingkungan. Itu artinya,
pemeringkatan UI dianggap cukup berpengaruh untuk melihat kampus mana di muka bumi
yang paling “hijau”. Seperti dapat dibaca di situsnya (greenmetric.ui.ac.id) yang
salah satu standar penilaian ialah pemakaian alat transportasi ramah lingkungan
di kampus.
Dengan posisi
20 besar dunia, barangkali dua peraih Nobel Perdamaian karena jasanya bagi
lingkungan, Al Gore (2007) dan Wangari Maathai (2004), akan membaca kabar
tersebut dan nama ITS segera “go international”. Lembaga swadaya masyarakat
beken dan filantropis mau menyumbang uang untuk ITS. Dengan kata lain, walaupun
tidak masuk 500 besar kampus dunia versi Times, Shanghai Jiaotong, dsb., di
mata orang yang peduli terhadap alam, ITS lebih ngetop.
Inilah pintu
masuk untuk mempublikasi ITS secara lebih luas. Jika seorang profesor matematika
Universitas Chicago tidak tahu menahu ketika ditanya tentang ITS, bukan tak
mungkin aktivis Greenpeace lulusan kampus itu teringat pernah membaca ITS yang
bersahabat dengan alam.
Saya kira hal
tersebut menjadi pendorong bagi pejabat ITS menyebut diri “Eco Campus” ke
berbagai media. Dengan ramainya pemberitaan, bukan tak mungkin reputasi ITS
naik dan pejabat-pejabat ITS akan menerima penghargaan di tingkat nasional,
regional, ataupun internasional. Peraih Hadiah Magsaysay Award—ada yang menyebutnya
“Nobel ala Asia”—tahun ini saja jatuh ke tangan seorang yang peduli lingkungan
yakni Tuan Guru Hasanain Juaini dari NTB.
Ini hanyalah manifestasi
dari apa yang sebelumnya saya katakan: hasrat akan gengsi dan prestise. Keinginan
untuk bagaimana mendapat publikasi dan peringkat “ter” atas tindakan yang sudah
semestinya. Kalau rawa-rawa Keputih tahun 1980-an dipilih untuk memancang
gedung-gedung ITS; kemudian masih terdapat banyak ruang kosong untuk ditanami
pohon sekaligus untuk konservasi burung-burung yang habitatnya “dijarah”; tujuan tersebut sangat mulia adanya. Ternyata,
puluhan tahun kemudian, di kala orang-orang sudah ramai bicara pemanasan
global, ada berkah tersembunyi. ITS tidak kesulitan mencari lahan untuk
“menugaskan” mahasiswa baru menanam pohon-pohon sebagai sarana publikasi di
media.
Khusus masalah
pembatasan kendaraan bermotor, ITS harus berupaya lebih keras. Jalan kaki
sebetulnya masih manusiawi di kampus seukuran ITS. Hanya saja, budaya dimanja
oleh kendaraan tidak mudah diubah dalam tempo singkat. Apalagi, Surabaya
bukanlah Bandung atau Malang yang mataharinya mau “bersahabat”. Belum lagi
perangai dosen; apakah semua dosen ITS mau menguruskan badan mereka dan berpeluh
keringat? Jangan-jangan, untuk “menaklukkan” dosen pun pejabat ITS tak mampu.
Hal ini tentu menjadi contoh tak baik bagi mahasiswa.
Melihat
kenyataan dan tantangan yang ada, tampak bahwa pemberitaan luas beberapa hari
lalu sekedar sensasi. Tabiat kebanyakan orang yang mengejar prestise ialah “umbar
dulu, aksi kemudian”. Jika hasilnya nihil, tidak bakal muncul berita: Kampus
ITS melanggar janji. Barangkali cuma UI yang bernasib sial karena perpustakaan
yang konon digembar-gembor terbesar dunia, rupanya berisi gerai Sturbucks. Biar
tahu malu!
*Samdysara Saragih-T Fisika ITS
tulisan bagus!!
BalasHapussemoga saja tidak untuk mengerjar popularitas,memang niat murni untuk memajukan ITS dan indonesia.
tapi saya pribadi agak miris dengan kelakukan mahasiswa ITS yang sok2an menjemput wisudawan, la wong menjemput kenapa harus seperti malam tahun baru, menghabiskan bahan bakar saja!!!.
gitu mau menjadi eco campus?? menurutku sih mahasiswanya dulu yg dirubah prilakunya. kalau kita sudah bisa menunjukkan prilaku yang baik, baru kita bisa berbangga diri di depan bapak2 berdasi yang lagi duduk di sebelah BAAK.cheerss :D
semoga semua itu tidak hanya sarana publikasi yang tidak ada tindak nyatanya.
BalasHapus