Oleh: Bung Samdy*
Apa yang dapat dinilai dari kepopuleran Norman Kamaru? Saya kira tidak ada yang luar biasa. Apa yang dialami Norman lumrah saja terjadi di era multimedia saat ini.
Tapi ada sisi lain. Norman adalah anggota Brigade Mobil (Brimob) berpangkat brigadir polisi satu (briptu). Bagi saya, cerita tentang Brimob memiliki kisah kelam tersendiri, karena salah satu korps polisi itu pernah menorehkan luka bagi sebagian orang.
Alkisah di sebuah daerah konflik, Aceh namanya. Ada sekelompok orang yang ingin merdeka. Mereka menamakan dirinya dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kelompok ini bukan sembarang ingin memisahkan diri. Mereka punya landasan kuat: sejarah! Bagi mereka, Aceh adalah daerah yang begitu istimewa—walaupun namanya dahulu sudah Daerah Istimewa Aceh. Tidak seperti daerah lain di Indonesia, Aceh adalah daerah paling akhir yang ditaklukkan Belanda. Apalagi ketika zaman revolusi fisik (1945-1949), boleh dikata Aceh-lah satu-satunya wilayah yang tidak diinjak oleh tentara-tentara Belanda.
Meski begitu, siapapun tahu, bukan itu alasan utamanya. Sebab Aceh sendiri memilih bergabung dengan republik pasca-proklamasi. Saat itu, ulama-ulama yang juga tokoh panutan bagi masyarakat Aceh berikrar untuk menjadi bagian dari negeri yang dipimpin Soekarno-Hatta ini.
Motif utama GAM adalah ketidakadilan. Mereka melihat Aceh yang begitu berlimpah hasil bumi tidak mendapatkan haknya. Kekayaan gas, pupuk, emas, minyak, tidak dirasakan oleh masyarakat. Seakan-akan hasil itu dibawa ke Jawa dan tidak akan pernah kembali dalam bentuk apa pun. Tak pelak lagi, sentimen anti-Jawa sangat ampuh bagi propaganda kelompok GAM.
Bagi GAM, hanya ada satu cara mendapatkan apa yang menjadi milik mereka: berontak! Beberapa orang dikirim ke Libya untuk dilatih oleh pasukan Khaddafi. Setelah pulang, giliran mereka yang mengajari pemuda-pemuda “labil” Aceh menggunakan AK-47, M-16, basoka, granat, dll. Pemerintah pusat pun memilih opsi militer untuk memberantas kelompok separatis itu.
Brimob di Aceh
Di sinilah Brimob mengambil perannya. Brimob—polisi yang memiliki kemampuan militer—ditugaskan menjaga keamanan dan ketertiban sipil dari gangguan pemberontak. Sedangkan tentara bertugas untuk bertempur hingga ke pelosok hutan dan pegunungan.
Dalam tugasnya itu, Brimob terkadang lebih “berani” ketimbang tentara. Maksudnya, bukannya menjalankan tugas dengan baik mereka lebih banyak mengintimidasi penduduk. Mereka melakukan sweeping di jalanan seenaknya. Misalnya, pemilik motor tidak membawa identitas lengkap, jangan harap bisa terjadi seperti di kota lain. Contohnya di Surabaya, orang bisa kongkalikong dengan polisi; membayar uang aman, setelah itu lepaslah. Atau kalau ada yang taat aturan, menunggu sidang yang cukup mengganggu itu. Sedangkan di Aceh, si pengendara yang tidak punya kelengkapan bisa dibawa entah ke mana dan esoknya sudah tinggal nama. Kalau beruntung, dibawa ke kantor polisi dan diproses. Dan hanya berdoa yang bisa dilakukan.
Perlakuan terhadap perempuan tak kalah buruk. Ketika brimob berpatroli rutin ke kampung-kampung untuk mencari gerombolan GAM, kerap terjadi tindak kekerasan (seksual) terhadap perempuan kampung. Padahal, perempuan tidak ada sangkut-pautnya dengan pemberontak. Tapi, oknum-oknum Brimob entah karena tekanan pertempuran atau yang memiliki bejat moral memperkosa gadis-gadis kampung yang tak bersalah.
Hal tersebut tentu saja aneh. Brimob yang seharusnya melindungi kaum perempuan justru melakukan hal yang sebaliknya. Melakukan tindakan kriminal yang sangat tidak patut. Lalu, bagaimana jika ketahuan? Kalau di Surabaya, mungkin berita seperti itu sudah masuk Headline harian Memorandum—koran spesialis kriminal—dengan judul provokatif. Tapi di daerah konflik tentu saja tidak demikian. Bahkan nyawa bisa melayang esoknya andai media mempublish.
Begitulah yang dulu terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam. Perempuan Aceh sangat menderita akibat konflik. Bahkan sebelumnya di masa Daerah Operasi Militer (1989-1998), banyak istri-istri yang kehilangan suaminya baik akibat penculikan maupun pembunuhan. Tak heran ada daerah yang dijuluki “kampung janda” karena kampung tersebut dihuni mayoritas janda-janda yang suaminya hilang tak tentu rimbanya.
Sebelum tahun 2005, tak mudah bagi sebagai besar masyarakat Aceh untuk melupakan semua trauma. Brimob khususnya begitu ditakuti, bukan oleh GAM, melainkan oleh masyarakat sipil yang tak bersalah. Secara psikologis, kebencian tentu bisa membawa efek buruk bagi citra pemerintah dalam mencari hati rakyat Aceh dari bujuk rayu separatis.
Namun, saya tak tahu kondisinya sekarang. Tsunami dan perdamaian mungkin bisa menghapus itu semua seperti halnya orang-orang Jerman yang memilih berdamai dengan sejarah untuk melupakan pengalaman pahit Nazi-Hitler, yang sangat tidak manusiawi.
Brimob Kini
Tapi bagaimana Brimob sekarang? Tampaknya bagi Polri, Brimob justru jadi alat poles citra. Tengok saja dalam pemberantasan terorisme. Densus 88 Antiteror adalah satuan yang personilnya berasal dari Brimob terpilih. Merekalah yang berada dalam garda terdepan menghentikan teror yang kian menjadi-jadi.
Keberhasilan mereka tidak usah diragukan lagi. Dr. Azhari, Nurdin Top, Dulmatin adalah teroris kelas kakap yang sudah dikirim ke “surga” lewat terjangan timah panas anggota Densus. Belum lagi teroris kelas teri yang digerebek “dalam mimpi malam mereka”.
Meski begitu, banyak juga suara miring terhadap anggota Densus 88. Bisa diingat saat drama pengepungan teroris di Temanggung tahun 2009 lalu yang begitu memalukan. Ternyata, orang yang digemor-gemborkan Nurdin M Top hanyalah pepesan kosong belaka. Terlihat jago, apalagi kita juga bisa menyaksikan robot pelacak buatan ITS unjuk kebolehan.
Ada pula yang menyesalkan mengapa teroris tersebut langsung dibunuh, tidak ditangkap. Berkali-kali petinggi kepolisian berdalih bahwa teroris itu membahayakan nyawa anggota Densus sehingga langsung dilumpuhkan. Kita tidak tahu benar atau salah, tapi paling tidak sikap buas anggota Densus perlu dikurangi agar para teroris tidak terlalu cepat menikmati “surga” yang diidam-idamkan. Beberapa aktivis HAM dan pendukung teroris sering menggunakan alasan etrsebut demi memojokkan Densus yang katanya juga dibiayai AS dan Australia.
Hingga kemudian Brimob ketiban mujur yang tidak diduga-duga itu. Siapa lagi selain Briptu Norman Kamaru. Aksi joget di Youtube plus tampang yang tidak menakutkan, tak ada yang menduga bahwa Norman adalah anggota Brimob yang citranya buruk. Dia menghibur orang dan jenderal-jenderal memanfaatkannya untuk memperbaiki kesan masyarakat terhadap polisi.
Mungkin bagus, tidak ada yang bantah. Namun, polisi harusnya sadar bahwa citra bukanlah dibentuk oleh satu orang. Polisi harus segera berbenah untuk lebih dekat dengan rakyat dan tidak membuat mereka takut. Dengan ber-caiya..caiya bolehlah, tapi masyarakat punya kepuasan yang tak dapat dipenuhi hanya oleh lagu dan joget Briptu Norman.
*Samdysara Saragih-Mahasiswa Teknik Fisika ITS
Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 5 (02 – 15 Mei 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!