Sabtu, 26 November 2011

‘Kebijakan’, Untuk Apa? Bagi Siapa?


Kenapa kebijakan selalu menguntungkan kaum-kaum elite? Sedang rakyat kecil selalu menjadi objek dari kebijakan dan sering pula menjadi korban atas kebijakan yang ada.
Kebijakan muncul akibat permasalahan yang ada di sekitar rakyat kecil. Akan tetapi, karena  rakyat kecil tidak sepintar kaum elite, maka ia tidak bisa menemukan solusi atas permasalahan yang ada. Oleh karenyalah, kaum elite mengambil peran penting. Ia membuat sebuah kebijakan dan segala keputusan pun pasti yang menguntungkan si pembuat kebijakan.
Pada edisi 19 ini, Langkah Awal menelusuri kembali isu kebijakan dari ITS yang tidak mempekerjakan kembali pegawai kebersihan perempuan yang setiap hari membersihkan lingkungan sekitar ITS. Isu ini kami dengar, saat edisi 11 lalu, Langkah Awal mewancarai beberapa pegawai kebersihan untuk mengangkat kisah hidup pejuang kebersihan di ITS. Dan hasilnya, para pembaca bisa mendefinisikan kebenaran kebijakan tersebut dalam rubrik reportase edisi 19.

Beginilah Hidup Kami


Foto: Petugas kebersihan ITS. Diambil saat Reportase Langkah Awal edisi 11 (18-31 Juli 2011).
Rabu, 16 November 2011 tim redaksi Langkah Awal (LA), meneruskan masalah yang belum tuntas. Membuka kembali kasus petugas kebersihan ITS yang pada edisi sebelumnya dikabarkan akan diberhentikan. Setelah mencari-cari, akhirnya didapatkan satu alamat yang bisa dituju. Rumah tersebut adalah rumah dari Ibu Sukarni. Sudah sejak tahun 1999 Ibu Sukarni menjadi petugas kebersihan ITS. Rumah yang cukup untuk menjadi tempat bernaung itu terletak di daerah Kejawan Gebang.
Terdapat sebuah kios kecil di depan rumahnya yang juga tidak kalah kecilnya. Obrolan pun terjadi. Setelah diklarifikasi ulang, ternyata memang benar bahwa petugas kebersihan yang wanita sejak setelah hari raya Idul Fitri kemarin telah diberhentikan oleh ITS. Otomatis penghasilan untuk keluarga pun berkurang.

Melawan Lupa Tragedi Lumpur Lapindo (1); Pemilik Modal Pasti Menang


solarsedayu.wordpress.com
Oleh: Bung Rafli*
Bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa dan pemaaf.”
Idiom tersebut rasanya berlaku untuk kasus semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo (lumpur Lapindo) yang terjadi lima tahun yang lalu. Tragedi yang telah melenyapkan beberapa desa dan menghapus peradaban yang dibangun masyarakat puluhan tahun lamanya menyisakan kepahitan dan kegetiran di benak para korban. Kenangan, memori, sejarah, dan cerita yang ada seakan-akan hilang tak berbekas dan tak pernah terjadi.
Beberapa hal tersebut tidak pernah menjadi pertimbangan dalam menyelesaikan kasus lumpur Lapindo, baik oleh pemerintah maupun aparat hukum. Semua diukur dari bukti-bukti hukum yang ada, kerugian, kerusakan dan bagaimana cara mengatasi kerugian agar tidak terjadi gejolak dari para korban. Uang menjadi alat pembungkam akan hilangnya suatu peradaban.

Seandainya PKI Berhasil (2)

yasirmaster.blogspot.com
Oleh: Bung Samdy*
Tapi dapat diduga, dalam keadaan yang begitu rancak secara teoritis tesebut, tidak ada lagi yang namanya kebebasan individu. Hak pribadi ditiadakan berganti “hak komunal”. Praktis, hak untuk berdemonstrasi dibatasi, apalagi jika untuk mengkritik pemerintah. Perjuangan dianggap usai karena kaum proletar sudah memimpin.  
Itulah gambaran singkat dari perbandingan dengan negara komunis yang pernah hidup.  
Tapi sejak Bolshewik yang dipimpin Lenin berhasil menguasai Rusia pada tahun 1917; yang kemudian diikuti keberhasilan Mao Zedong (Cina), Kim Il Sung (Korea Utara), Castro (Kuba), Ho Ci Minh (Vietnam) dll., semua impian dari Doktor Karl Marx tidak pernah bisa diwujudkan di muka bumi. Apa yang gampang diidelakan sangatlah sulit penerapannya. Buruknya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut memancing rakyat menoleh pada liberalisme yang bisa membuat hidup (tampak) bahagia.

Hikayatku: Sembunyi Dalam Debu


Oleh: Bung Aglaia Nusantara
Darah itu tercecer di hadapanku, darah seorang bapak yang meninggalkan 2 orang istri dan 4 orang anak. Akulah Aglaia, anak ke 4 dari pria yang baru saja mati. Dari rahim ibu telah kupatri bahwa dia bukan hanya seorang bapak, tapi lebih dari itu. Setengah dewa bagiku. Tidak untuk ke 3 abang tiriku.
Pria tersebut seorang dosen sejarah. Banyak yang mencari untuk mempekerjakannya. Bahkan tak sedikit yang membencinya karena sejarah-sejarah alternatif yang dikumandangkannya. Bagi sebagian orang, bapak bukanlah orang baik. Hanya seorang manusia yang terus mencari ketenaran dan eksistensi dari cerita yang sesat.
Pemerintah negaraku termasuk bagian dari kelompok yang membenci bapak. Entahlah…bapak dianggap merusak citra pemerintah yang telah berpuluh tahun membangun perspektif sejarah—penyamarataan satu sudut pandang.

Otto Iskandar Dinata: Si Jalak Harupat Pencetus Pekik “Merdeka”

Oleh: Bung Ucup*
Kita semua tentu tahu kapan negara Indonesia merdeka. Dengan rentetan sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap pemerintah kolonial yang terjadi selama ratusan tahun. Telah lahir begitu banyak pejuang dan tokoh-tokoh perlawanan bangsa. Ir. Soekarno sebagai Presiden pertama yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan negara Indonesia dengan Mohammad Hatta sebagai wakilnya.
Semua itu telah menjadi pengetahuan yang sudah tidak diragukan lagi, semua bangsa di Indonesia telah tuntas mengetahuinya. “Merdeka!” Sebuah seruan yang tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Sebuah pekik nasional yang awalnya terdiri dari dua kata yaitu “Indonesia Merdeka”, karena dirasa terlalu panjang kemudian diganti menjadi “Merdeka”.

Tangisan Malam yang Kelam


Oleh: Bung Rengga*
Gemericik sendu lantunan meriah anak – anak kecil
Di taman kota mereka berputar – putar
Riang nan gembira
Gelak tawa tak terelakkan
Sunggguh bahagianya diri mereka
Laksana bidadari turun dari kahyangan di telaga sana
Amboi...
Ceria sekali
            Teramat pedih nan pilu
            Seorang anak lelaki duduk sendiri di bangku taman kota
            Sosok putra bangsa, generasi masa depan
            Menangis ...
            Mengisakkan tangisnya sedu sedan
            Dikala malam sesumbar landaian jiwa
            Terkapar masa depannya
            Karena tak ada lagi sang surya yang menyinarinya
            Miris sekali sobat

Masih Satu Lahhh....


Oleh: Bung Imot*

Satu walau terpisah
Satu walau beragam
Slogan yang indah
Masihkah bergumam

Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung
Menjadi satu...
Katanya begitu
Nasib si pembuat syair
Sekarang tak ada yang mengerti

Seandainya Saya Wartawan Tempo


kanalinformasi.com
Oleh: Bung Wiwit*
Mahasiswa identik dengan tulis menulis bukan diskusi. Satu kalimat pengantar yang disampaikan oleh bung Yaumil sebagai pengantar materi pada diskusi beberapa minggu lalu. Berbeda dengan diskusi sebelumnya, diskusi kali ini berjalan cukup serius tapi santai karena bukan membahas sejarah seperti biasa tapi hanya bertumpu pada sebuah buku yang berjudul “Seandainya Saya Wartawan TEMPO” dari Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni TEMPO.
Seandainya anda seorang wartawan yang harus diperhatikan pertama adalah feature, begitu buku itu menjelaskan. “Dalam perjalanan pulang dan pergi anda sering melihat anak-anak mengamen di perempatan-perempatan jalan. Anda sudah ratusan kali melihat mereka dan tanpa peduli. Tapi tiba-tiba suatu pemandangan di dalam bus kota yang anda naiki, yang agak lain dari biasanya, menyebabkan anda mengambil notes. Mencatat. Tiga anak pengamen melompat kedalam bus, salah satunya cacat kedua tangan dan kakinya. Yang berseragam sekolah dasar membawa tas, bukan berisi buku, tapi rebana. Ketika rebana sudah dikalungkan di leher dan ditabuh, si cacat pun bernyanyi lagu dangdut. Anda sudah mulai melangkah untuk satu cerita feature.

Sabtu, 12 November 2011

Konsistensi-Regenerasi-Inovasi


‘Kemampuan’ saja belum cukup bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Dibutuhkan satu modal lagi agar apa yang akan dilaksanakan bisa terwujud, yakni: ‘kemauan’. Namun, ‘kemampuan disertai kemauan’ yang setengah-setengah akan menimbulkan sebuah pepatah yang sudah akrab di telinga masyarakat: ‘hangat-hangat tai ayam’.
Untuk itulah dibutuhkan sebuah sikap ‘konsistensi’. Agar titik yang sudah dimulai bisa diteruskan menjadi sebuah garis, bentuk, bangunan, dsb. Dari konsistensi yang terjaga setiap saat, sesuatu yang dikerjakan tersebut tidak akan berhenti, ia akan terus berlanjut, berkembang, dan akhirnya sampai pada tujuan yang dikehendaki.

Antara Alam dan Mahasiswa Pecinta Alam


Oleh: Bung Henry*
Apa yang dimaksud dengan alam?
Apakah kaum backpacker bisa dikategorikan sebagai pecinta alam?
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, alam adalah segala yang ada di langit dan di bumi. Kita hidup dari alam dan kita merupakan bagian dari alam itu sendiri. Ya, mencintai bangsa kita mungkin ditafsirkan dengan kita mencintai alam bangsa kita.
Seperti yang dilansir dalam sebuah artikel di situs menapakdu­nia.wordpress.com, sejarah pecinta alam dalam dunia mahasiswa di Indonesia dimulai pada era tahun 1960-1970 an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan dikeluarkannya SK 028/3/1978 tentang Pembekuan Total Kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang selanjutnya melahirkan Konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Kasus Lumpur Lapindo Belum Usai


eta tahira adisti
Oleh: Bung Rafli*
Salam Perjuangan….! Salam Solidaritas….!
Lebih dari lima tahun, kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo belum juga usai. Pemerintah dan Lapindo hanya berkutat di persoalan ganti rugi tanah dan pembayaran yang belum tuntas. Padahal, dampak sosial dan dampak lingkungan di daerah sekitar semburan lumpur semakin hari semakin mengkhawatirkan. Pemerintah mungkin tidak mau tahu dan tidak akan tahu permasalahan sosial yang terjadi. Sedang Lapindo bisa berbangga diri karena menisbatkan dirinya sebagai ‘dewa penyelamat’ yang memberikan ganti rugi tanah kepada korban lumpur, walau secara hukum Lapindo tidak divonis bersalah.

Bangsaku Kini


buletin-sikap.blogspot.com
Oleh: Jeng Karin*
Kolonialisme, sejak bangku sekolah dasar guru sudah menanamkan konsep itu: kolonial itu ya wong londo yang menjajah negara kita dan tidak memberikan kita kebebasan di rumah sendiri. Tapi sepertinya konsep itu pun harus dirubah dan ditanamkan bahwa kolonialisme bukan hanya tentang Barat yg menjajah Timur, tapi semua hal yg merusak tatanan nasionalisme kita harusnya juga termasuk dalam kolonialisme.
Segala hal tentang hilangnya kultur nasionalisme kita itu merupakan tindakan kolonial. Dulu, anak muda bangga ketika memamerkan pada teman sebangkunya bagaimana dia fasih dan lancar menyanyikan lagu Destiny Child, Westlife, menenteng Mp3 player dan menyumpal telinga mereka dengan Headset ala rapper di New York.

Hip Hop Adalah Megaphone, MC Adalah Orator; Ucok a.k.a Morgue Vanguard (HOMICIDE)


Oleh: Bung Faza*
“Aku katakan kepada kalian sabda batu kepada api/Bahwa di atas langit masih terdapat lapisan langit/Bahwa di atas langit masih terdapat berlapis surga tak berujung lapis/Sehingga semua makna hirarki langit hanyalah persepsi muka bumi” (HOMICIDESiti Jenar Cipher Drive)
Tahun pertama berkuliah di ITS, dengan segala macam gombalan-gombalan tentang mahasiswa, sempat membuat jenuh dan terkadang sedikit penasaran. Tak sengaja menemukan band yang cukup unik di salah satu jejaring sosial musik. Sebuah gaya baru dalam memahami pergerakan mahasiswa. Hip hop! sedikit tidak nyambung, tapi sangat inspiratif sekali.

Semaun

tanmalaka.ekstranzy.cz
Oleh: Bung Donny*
“Selamanya saya hidup, selamanya saya akan berikhtiar menyerahkan jiwa saya guna keperluan rakyat. Buat orang yang merasa perbuatannya baik guna sesama manusia, buat orang seperti itu, tiada ada maksud takluk dan terus tetap menerangkan ikhtiarnya mencapai maksudnya yaitu HINDIA MERDEKA DAN SELAMAT SAMA RATA SAMA KAYA SEMUA RAKYAT HINDIA.”  -Semaun-
Semaun pertama kali menyapa dunia di Curahmalang, Jombang, Jawa Timur sekitar tahun 1899. Anak dari tukang batu di jawatan kereta api, Prawiroatmodjo. Walaupun bukan anak seorang priyayi, semaun dapat mengenyam bangku pendidikan di sekolah Twedee Klas (sekolah bumiputera tingkat dua) dan kemudian bekerja di Staatsspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis.

Dijawab Jangkrik

Oleh: Ma’un awang-awang

dia datang telat habis berburu
pulang hambar
tak bertenaga
habis main sepak bola kelas eklusive
tanpa aturan
tak berwasit
di lapangan tanpa rumput

Kebenaran atau Hukum Tuhan


Oleh: Bung Imot*

Diborgol... Dipenjara….bahkan Dipotong
Sebuah balasan si pengutil
Yang mana yang seharusnya
Ya... Semuanya dilakukan

Aku benar dan kamu salah
Atau aku salah dan kamu benar sama saja
Dari mana hukum itu?
Datang dari sebuah kesepakatan?
Atau manusia hanya menghakimi?

Bangsaku Miris

Oleh: Bung Rengga*

Kala fajar menyingsing merautkan mukanya
Memperkenalkan pada semesta alam
Keajaiban permukaan nestapa bangsa
Bijaksana memberikan kemilau pertiwi
Indah semampai birunya lautku
Sabang sampai Merauke, hijau nan subur
Bersemboyankan bhineka yang tunggal serta ika
merobohkan mental–mental pengecut nusantara

Peran Pemuda Indonesia dalam Membangun Bangsa sejak Dahulu hingga Saat Ini


www.google.co.id
Oleh: Bung Ucup*
Dua puluh delapan Oktober 1928, merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia karena pada saat itu merupakan hari kelahiran bangsa Indonesia. Para pemuda negeri ini mengumandangkan ikrar suci bahwa kita semua satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Momen bersejarah yang telah digoreskan oleh para pemuda untuk bangsa kita. Tepat 83 tahun sudah berlalu, kami mencoba untuk mengenang sejarah peranan pemuda dalam membangun bangsa lewat sebuah diskusi rutin. Pada malam (28/10) itu, bung Ucup mulai mengantarkan wacana dengan menceritakan kembali tentang peranan, perjuangan serta pergerakan pemuda Indonesia. Pada tahun 1908 tepatnya tanggal 20 Mei, lahirlah Boedi Oetomo yang merupakan organisasi pemuda dengan ketuanya seorang pemuda bernama Dr. Soetomo.