Kamis, 16 Juni 2011

Kebenaran-Jalanan, Bagian I: Generasi itu telah lama punah


Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 8 (13 – 26 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Yaumil*
Atmosfer yang berbeda pada generasi ‘28, ‘45, ‘66, ‘74, ‘78, ‘98—yang memastikan bahwa kebenaran menyesuaikan zaman.
Di awali tanggal 8 Mei 2011 disaat teman-teman redaksi menyebarkan buletin langkah awal yang baru saja selesai dicetak. Tujuannya bertemu dengan mahasiswa angkatan baru 2010 disalah satu jurusan FTSP. Wajah muram penghuni hima selaku kakak seniornya 2008 menyambut, tak ambil pusing. Sebuah pertanyaan saya lemparkan kepada lelaki tambun pemilik wajah tirus itu, di mana bisa menemui komtingnya? Dengan harapan buletin tersebut bisa mereka baca. Tanpa pikir panjang dia menolak untuk memberikan informasi dan sangat terlihat untuk menutupi.

Di ujung gedung jurusan saya berpapasan dengan mahasiswa baru dari jurusan yang saya cari. Langsung saya temui komtingnya, ketakutan menghantam saya ketika komting tersebut malah tidak mau menerima buletin dengan alasan takut dimarahi oleh kakak senior—malah mungkin menganggap saya sebagai salah satu anggota NII atau salah satu Ormek. Pastinya sudah ada permasalahan sebelumnya. Bagi saya, senior dari jurusan tersebut terlalu protektif, karena takut adik-adiknya jadi pembangkang, bisa juga mereka sama sekali tidak memiliki konsep pengkaderan yang kuat sehingga membatasi ruang gerak adalah solusi.
Mungkin saja itu adalah metode baru dalam pengkaderan—saya kurang yakin. Sehingga berdampak pada ketakutan yang dibuat-buat. Pastinya akan melahirkan generasi-generasi yang tidak bermental. Kita misalkan seperti generasi yang dididik dengan kebohongan dan kebodohan. Sehingga hasilnya adalah kebohongan dan kebodohan.
Generasi setelah NKK/BKK—terutama 78 ke atas—adalah generasi-generasi “asing”, manusia-manusia yang hanya mampu “belajar”. Generasi yang terus mencoba mengiba pada diri sendiri agar memaksa mengerti dan menerima apa pun secara mentah. Tidak berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Sedikit kebingungan di balik topeng keluguan dan ketidaktahuan yang dibuat-buat—seperti anak sekolahan dengan simbol OSISnya. Kegelisahan yang luar biasa, bagi saya mereka harus dididik secara radikal, frontal dan dikenalkan hakikat manusia.
Menggunakan hati dan nurani kuncinya. Bukan pendidikan praktis yang sering dilakukan dalam perkuliahan. Contoh kecil, bagaimana mungkin bisa mendidik seorang manusia tanpa memberikan contoh langsung. Bagi yang “telah melakukannya”, seperti merubah nama acara pengkaderan agar lebih aman, me-mark up proposal sesukanya, membuat konsep seenaknya dan ketika di tanya PR3, ya! jawab sekenanya. Bahkan contoh yang paling populer dikalangan maba yaitu teriakan-teriakan senior yang tanpa ujung dengan air ludah yang merebak ke wajah. Dengan gaya khas orator ulung tanpa gigi, sang senior berkata ngalor-ngidul. “Sing penting yo eksis,” jelas salah satu teman saya lintas jurusan di Fakultas Teknik Industri. Karena bagi seorang senior, melihat adik-adiknya tidak mampu menjawab karena takut adalah kepuasan tersendiri. Semoga hal tersebut tidak berlangsung lama, bathin saya.
Perjalanan Melalui Buku
Teman-teman pasti pernah dengar gerakan-gerakan separatis anti oligarki,anti liberal dan anti lain-lain yang tidak pernah menyerah bahkan tidak takut mati. Bukan tidak takut matinya yang digaris bawah, tetapi lebih bagaimana cara mereka mengenalkan sebuah kebenaran hingga mampu membuat sebuah pasukan sebegitu hebat dan loyalnya. Ada cara dengan jalan pencontohan langsung dari si pendidik, keyakinan, kekerasan, penanaman ideologi, sugesti, dan yang terpenting peserta didik diarahkan berfikir positivistik. Mereka melakukan sesuatu dengan rasio dan hati nurani, bukan pikiran dan logika kaku ala Herodotus atau Hagget. Maksud saya, “didiklah sebuah generasi sesuai kebutuhan bangsa” (Sutan Sjahrir), bukan pasar atau birokrasi, karena calon pejuang dididik dengan cara pejuang, kaum pemikir dididik dengan cara pemikir dan kaum penakut tak bernyali dididik dengan kebohongan atau nomotetik. Kaum pejuang harus mampu mengatakan benar ketika benar, salah ketika salah, dan kematian bagi yang ragu-ragu.
Tan Malaka, orang yang membuat saya berpikir ulang, kira-kira mengatakan seperti ini, “Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku, secara batin. Dengan begitu jiwaku semakin bebas. Tidak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun tidak resmi yang menguasai pikiranku dan membutuhkanku tentang kebebasannya dan membuang atau membantai semua orisinalitasku. Yang lebih penting bagaimana menemukan titik kebenaran.
Kata-kata tersebut membuka sebuah keterkejutan lampau yang pernah terkubur di photographic memori  saya. Saat saya dan teman-teman ikut dalam pencalonan Presiden BEM ITS. Pada malam pertama pemungutan suara, 20 mei 2010. Sebuah elemen mahasiswa mendatangi saya. Mereka bisa membuat saya menang dengan 700 suara karena selisihnya sangat tipis pada perhitungan hari pertama, dengan timbal balik saya memasukkan mereka dalam struktur kabinet. Sebuah pertanyaan muncul melihat latar belakang kedatangan yang tiba-tiba, mungkin juga mereka memiliki “dendam” terhadap pasukan lawan karena gerakan mereka akan menjadi tidak tren lagi dikalangan mahasiswa religi. Bisa jadi mereka juga sudah bosan dengan rezim yang berkuasa.
Tanya saya, “Bagaimana caranya bisa mendapatkan suara sebanyak itu dalam satu hari?” Dengan tenangnya menjawab ”Pengelembungan”, mereka telah mengantongi surat suara kosong. “Apa tidak ketahuan?” Kembali saya tanyakan. “Tenanglah, semua sudah diatur. Orang-orang kita sudah diletakkan di posisi strategis” Jawabnya meyakinkan. “Bagaimana mungkin niat baik memimpin mahasiswa dimulai dengan sebuah kebohongan?” tanya saya lagi. Awalnya kawan-kawan dari elemen tersebut diam. Akhirnya mereka menjawab, “kecurangan dibalas dengan kecurangan, dan agama membenarkan itu”.
Luar biasa, malam itu juga saya tidak bisa tidur dan tim memastikan pengelebungan tidak bakal terjadi. Kekalahan yang diterima. Hingga akhirnya saya menemukan kembali sebuah kebenaran setelah kabinet pasukan lawan terbentuk. (akan saya ceritakan di Kebenaran-Jalanan bagian 2)
Memang benar akan banyak hal yang disesalkan. Kerja keras bahkan kekecewaan, terutama atas sebuah nama “perjuangan” yang tercoreng akibat generasi yang sudah lama mati. Sebuah mimpi buruk bagi saya bahkan ketika menulis artikel ini. Akan banyak pertanyaan tentunya, misalkan tentang generasi yang punahnya dimana? Atau dimana bentuk kebenaran-jalanannya? Dengan keyakinan, seperti itulah kebenaran-jalanan yang saya pahami atau mungkin bagi teman-teman adalah sebuah pemaksaan pemikiran bagi genarasi yang telah punah. Bagaimana mungkin kita mendidik dan dididik generasi yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan tetap dengan sisi humaniora zaman, saya akan terus mencari kebenaran yang hakiki di jalanan. “Je pense donc je suis”.
The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point however is to change it. -karl marx-
P. S: NKK-BKK, saya rasa bagi mahasiswa yang tahu tentang sjarah NKK-BKK, berarti tidak usah saya jelaskan secara rinci lagi karena pasti lebih paham dari saya. Namun bagi yang tidak tahu sama sekali, saya malah enggan untuk memberi tahunya, karena pastinya hati teman-teman sudah tertutup atau sama sekali buta mata akan sejarah.
*Yaumil F Gayo-Planologi ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!