yasirmaster.blogspot.com |
Lalu lalang
kendaraan selalu menghiasi Jalan Arif Rahman Hakim, Keputih. Mobil, motor,
sepeda, seolah saling berkejaran untuk sampai ke tujuan. Debu dan asap beterbangan
ke sisi kiri-kanan tanpa pandang bulu siapa yang disasarnya. Dalam keadaan
seperti inilah, seorang kakek, Kholid (bukan nama sebenarnya), menghabiskan
hari-harinya. Ia duduk di dekat lapak dagangan yang berada persis di tepi jalan
sehingga asap-debu juga menjadi santapannya, demi jaminan hidup di hari tua.
Pandangan
matanya seperti biasa tertuju pada jalan itu, termasuk pada Sabtu (1/10) lalu. Entah
apa yang dipikirkan. Tapi pada tanggal 1 Oktober ini, mungkin ada sedikit terbersit
dalam memorinya peristiwa yang persis terjadi 46 tahun lalu. Sebuah malapetaka
yang begitu berpengaruh pada nasib bangsa ini. Di Jakarta, dini hari 1 Oktober
1965, enam jenderal diculik oleh kelompok Gerakan 30 September (G30S). Sejak
saat itu dan beberapa tahun sesudahnya, Indonesia tiada henti dirundung duka. Daerah-daerah
pun ikut terseret pusaran politik yang terjadi di Jakarta. Dan semua orang tua
masa kini, tak bisa tidak, pasti punya ceritanya sendiri.
Kholid yang
tua renta itu tidak berkerja sendiri. Si ibu yang dimaksud tak lain istrinya,
sebutlah Aminah namanya. Saban hari
mereka bergiliran menjaga tempat menggantung hidup itu. Untungnya, tak berapa
lama, sang istri datang karena sudah gilirannya berjualan. Kholid pun bergegas
kembali ke rumah yang tak seberapa jauh dari situ. Berbeda dengan sang suami,
nenek satu ini dengan senang hati menjawab semua pertanyaan. Nyaris tanpa
beban, ia seperti wanita kebanyakan, yang mau mencurahkan semua yang ada di pikirannya.
Pembunuhan Massal
Tahun 1965 Aminah
masih berumur 20 tahun. Namun, ia sudah tahu masalah politik yang jadi “makanan”
penduduk di zaman Orde Lama. Bahkan di Jember, tempat ia tinggal, yang jauh
dari Surabaya, apalagi Jakarta. Di daerah ini, partai-partai besar yang ada
saat itu juga hadir. Termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). “Tapi mereka (anggota
PKI, Red) bukan orang asli Jember. Mereka pendatang dari daerah luar seperti
Madiun.”
Memorinya
masih cukup kuat untuk mengingat kegiatan orang-orang PKI yang hidup tak jauh
dari rumahnya. “Di dekat rumah ada tempat penggilingan padi yang kosong. Di situlah
orang-orang PKI tinggal,” ungkapnya. Apa yang dilakukan orang-orang PKI itu pun
tidak diketahuinya dengan jelas. Ia tak punya hubungan dengan orang PKI dan
tidak mengenal mereka.
Tapi Aminah
tak mungkin tidak tahu pembunuhan massal yang terjadi pada orang-orang PKI.
Dengan semangat tinggi, diceritakannya pembantaian terhadap orang PKI. Menurut
wanita berkaca mata ini, saat itu penduduk datang dari segenap penjuru mengumpulkan
orang PKI. Mereka yang dicurigai PKI ditangkap. Para pelaku umumnya pemuda yang
tergabung dalam GP Ansor (salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama, Red).
Jember saat itu
merupakan basis Partai NU. Aminah terang-terangan mengakui kefanatikannya pada
organisasi yang didirikan Hasyim Asy’ari itu. “Semua keluarga NU, dari lahir ya otomatis jadi NU. Dari dulu sampai
sekarang,” katanya. Dengan bangga ia katakan bahwa tidak ada sama sekali anggota
keluarga dan tetangganya yang memilih partai lain. “PDI (maksudnya Partai
Nasional Indonesia—PNI, Red) paling cuma satu-dua orang saja.”
Keadaan sosial
seperti itu, ditambah kader PKI yang bukan penduduk asli, membuat massa begitu
beringas. Masih diingatnya para pemuda mengumpulkan orang-orang PKI dengan asal-asalan.
Para korban yang mati lalu dikuburkan dalam kuburan massal berkapasitas 300-500
orang, atau dibuang ke sungai. Saat itu hanya ABRI yang bisa mengidentifikasi
mana PKI mana yang bukan. Sesudah tentara datang, baru penangkapan bisa lebih
lebih teratur. “Bapak (Kholid, suami, Red) waktu itu tentara!”
Aminah kemudian
menuturkan apa yang dilakukan suaminya kala itu. Sebagai anggota ABRI, perintah
atasan tidak bisa dielak. Suaminya pun tidak dapat menghindar dari tugas untuk
membunuh orang-orang PKI. “Kan takut, diancam sama atasan,” katanya. Ia dapat
cerita dari suaminya kala menangani seorang anggota Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia—organisasi perempuan yang berafiliasi dengan PKI, Red). “Waktu itu seorang
anggota Gerwani membujuk Bapak agar jangan dibunuh. Bapak dirayu tapi tidak
berhasil. Lalu wanita itu disuruh mengucapkan syahadat tiga kali sebelum
ditembak,” tutur Aminah sambil mengarahkan telunjuknya ke mulut yang memperagakan
orang menembak. “Gerwani itu lalu jatuh!”
Ketika ditanya
mengapa Kholid tidak mau bercerita pada Langkah
Awal, Aminah membela pria yang lebih tua 12 tahun itu. “Mungkin dia lupa,”
katanya. Pada 1980, pasangan suami-istri ini pindah ke Surabaya setelah
suaminya pensiun. Hingga usia rentanya
ini, sudah dirasakan hidup di tiga rezim yang berbeda. “Zaman Pak Harto lebih
baik. Kalau dulu, pencuri langsung ditembak. Tapi coba lihat sekarang ini?”
tanyanya dengan nada kesal.
Walau begitu, ia
masih lebih cinta pada Presiden Sukarno.
“Zaman Pak Karno orang melarat semua, zaman Pak Harto orang kaya semua,”
keluhnya. Bahkan Aminah menuduh Soeharto-lah yang sebetulnya orang PKI. “Yang
menyuruh Aidit (Dipa Nusantara Aidit—ketua PKI saat itu, Red) untuk melarikan
diri (ke Yogyakarta, Red) ya Pak
Harto. Habis itu Aidit dibunuh dalam lemari,” katanya. Ia sedih karena sesudah
peristiwa G30S, Bung Karno dituduh sebagai anggota PKI hingga akhirnya
dilengserkan. “Pak Karno ya orang PDI (maksudnya PNI), bukan PKI. Soeharto
sengaja menghabisi PKI biar dia selamat.”
Pernyataan
Aminah secara ilmiah belum terbukti kebenarannya. Hingga kini dalang
sesungguhnya dari G30S pun masih berselimutkan misteri. Tapi sejarah berkata
bahwa PKI kemudian dibubarkan—dengan bantuan demonstrasi mahasiswa—dan sesudah itu
Soeharto menjadi presiden. Seandainya PKI hidup lagi pun, wanita ini tak ambil
pusing, “Itu terserah DPR, bukan saya,” ujarnya. Yang dia takuti kalau PKI
hidup, maka anak PKI akan balas dendam. (Hal ini tampak ketika dengan nada
curiga saya ditanyai: “Sampeyan anak PKI?” Saya menjawab: “Bukan. Saya orang Sumatra
yang waktu itu basis PNI dan Masyumi.”)
Tuduhan bahwa semua
orang PKI atheis tidak disetujui oleh wanita ini. Menurutnya, hal itu
tergantung pada masing-masing individu. Sebagaimana seorang beragama, ada yang
shalat ada yang tidak, begitu juga orang PKI. Tatkala ditanya setuju-tidaknya
tentang pembunuhan massal, barulah dikemukakan pandangannya terhadap orang PKI.
“Begini Mas, bagi orang PKI itu, istri sampeyan
ya istri saya; suami sampeyan suami
saya,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Ketika ditanya adakah kenyataan seperti itu
terjadi pada masanya, wanita berjilbab ini tidak tahu menahu.
Mungkin inilah
stigma yang melekat pada orang PKI, saat itu bahkan hingga kini. Dan akibatnya,
membunuh kader PKI pun sah-sah saja. Seperti kata Aminah, membunuh orang PKI
bisa dibenarkan karena mereka salah. Dari pandangan seperti ini, satu juta
orang yang bersangkut-paut dengan PKI dibunuh di seantero negeri pada masa
1965-1966 dan jutaan lainnya ditahan. Keturunan PKI juga mengalami diskriminasi
dalam hidup sehari-hari.
Entah apa yang
dipikirkan Kholid malam itu. Barangkali ia tidak bisa tidur nyenyak karena teringat
wajah memohon iba seorang wanita Gerwani yang ia antarkan ke Malaikat Maut, lebih
empat puluh tahun lalu. Sebagai seorang tentara, ia berhak menjaga rahasia dan
menutup rapat perbuatannya. Sedang generasi muda, akan terus dihantui tanda
tanya yang tak pernah beroleh jawaban pasti. Sejarah pun akan dibawa ke kubur
bersama para pelakunya. (Samdy)
Benar2 sejarah yg pnuh dg kebohongan publik. Generasi skrg hrs berani merekonstruksi lagi,supaya jalan gelap ini semakin terang benderang
BalasHapusDan sekarang sejarah jadi pelajaran wajib.... Aneh
BalasHapusItu fakta nyata Bro...org tuaku adlh saksi hdp sejarah indonesia...mrk di penjarakan tanpa pengadilan hingga 12 thn...dipaksa mengakui perbuatan yg tdk pernah dilakukannya yaitu mencukil mata jendral2 dan memotong2 alat kelaminnya....Sungguh kejam era Soeharto!!! Aku sbg anak tdk pernah lupa sejarah org tuaku yg jd korban Soeharto.
BalasHapusPki emang harus di bantai abis..pa lagi sekrang ada indikasi muncul pki pki muda mgkn itu anak2 dr pki dl..sy setuju pki dibantai...
HapusJika PKI boleh di bantai, mengapa rohingya tidak?? Jam sama sama berontak, sama sama menyerang pihak militer, jadi kalau respon militer di myanmar meniru respon militer di Indonesia terhadap pemberontakan PKI, mengapa kita mengutuki mereka???? Siapa tau jawab nya ?????
HapusPKI YG MEMBANTAI TERLEBIH DAHULU, ROHINGYA TIDAK MENYERANG PEMERINTAH, TETAPI PEMERINTAH MYANMAR YG MENDISKRIMINASI ROHINGYA, MEREKA HANYA MEMBANTAI MUSLIM, TETAPI TIDAK SUKU KAREN YG KRISTEN, KARENA SUKU KAREN DIDUKUNG OLEH AMERIKA
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushttp://apit.wordpress.com/2007/09/18/tragedi-g30spki-versi-ratnasari-dewi-soekarno/
BalasHapusPki perusak agama islam.kekejaman membunu dn menyiksa kyai tdak dpt dmaafkan.
BalasHapusOrang sekarang cuma cenderung takut dengan adanya politik balas dendam yg akan mungkin dilakukan oleh anak" PKI. Pikir pakai logika, syapa yg ga akan dendam lihat orang tuanya di bantai di depan matanya sendiri..??
BalasHapusKlw aku justru setuju klw PKI bangkit lg, karna cuma PKI yg bisa menyeimbangkan peran Nasionalis & Agamin biar ngga ke bablasan.
Kaum agamis saat ini kebanyakan cuma kaum yg suka jual ayat demi uang, & Nasionalis cuma mikir kekuasaan doang. Coba klw ada PKI..?? Mana brani mreka semau jidatnya sendiri..!!
Salam Genjer-Genjer
anjing kau anak pki
Hapuswahhh bisa ditangkap km
HapusPKI hanya jadi benalu sejak Indonesia baru merdeka
HapusAndara PKI ya,komunis itu klo dah ktangkep macam tai,komunis bajingan,bantai mreks
Hapusbagi anak anak pki mending diem aja deh
BalasHapusEmang batu , lu suruh diem
HapusPKI bukan berarti ga punya agama, hidup PKI
BalasHapusgolek pangan dewe2 ae cok gak usah kakean polah
BalasHapusDamai itu indah, siapa salah pasti akan dibalas diakhirat nanti, berusahalah berbuat baik sebagai amal ibadah, dendam tidak menyelesaikan masalah... Tuhan sangat mengetahui apa yang kamu kerjakan.. sabar
BalasHapussebaiknya kita semua dapat menahan diri, jangan sampai terjadi "kriwikan dadi grojogan". ada bendungan misteri sejarah yang harus dijaga agar tidak jebol.
BalasHapusAlmarhum Paman saya adalah salah satu korban kekejaman PKI 1965. Saat menjalankan tugas di pedalaman Kalimantan, almarhum ayah saya pernah menyelamatkan keluarga kepala suku Dayak dari kepungan milisi PKI.
BalasHapusProses "pembersihan" PKI tahun 65-66 pun saya dengar dari berbagai sumber sebagai cerita horor kemanusiaan yang sangat mengerikan.
Bagi saya, demikianlah perang saudara.. Seindah-indahnya hidup adalah hidup tanpa dendam.
Sepertinya PKI bener" mau bangkit,, siaga 1 ini
BalasHapusSaya sangat yakin, jika saja PKI yang menang, mereka juga akan membantai lawan2nya, terutama golongan agama dan tentara yg anti komunis, karena di anggap sebagai penghalang tujuan politik mereka. Coba saja baca sejarah negara2 komunis di dunia, selalu di warnai pembantaian lawan-lawan politiknya. Sudah suratan takdir dari Tuhan mereka yg akhirnya kalah dan di habisi.
BalasHapusBagaimana dengan orang orang di bunuh oleh pki? Jgn naif, yg namanya komunis di negara manapun adalah pembunuh yg sadistis... Lihat saja di kamboja.
BalasHapusKeluarga dari orang orang yg di bunuh pki itu tdk pernah cengeng,ngambek dan melas melas minta pengakuan dan ganti rugi sama negara. Beda ya dengan keluarga para pki.
BalasHapus