beritapolitikterkini.blogspot.com |
Oleh: Bung Yaumil*
Politik,
Mahasiswa Tidak Butuh Praktik
Aristoteles: “Poltitik sama dengan kedaulatan dan kekuasaan yang melahirkan
negarawan atau penjahat.” Bagi saya jelas bahwa Aristoteles telah
memberikan penekanan akan arti politik, jikalau kita tak tuntas membahasnya
maka seorang yang berharap menjadi negarawan akan menjadi penjahat yang tak
terampunkan. Dan saat itulah kita akan berkomentar: “Bahwa kita harus
berpolitik untuk membangun kebaikan.”
Saya mulai ketika teman-teman ITS
merasa bahwa politik penting untuk dipraktikkan, politik dalam KBBI adalah ilmu yg mempelajari sifat dan fungsi
negara dan pemerintah, bukan kampus tentunya—walaupun kita beranggapan bahwa
dunia mahasiswa adalah miniatur negara dengan trias politika-nya.
Mostesquieu
tidak menekankan bagaimana cara merebut kekuasaan. Karena baginya politik
adalah alat untuk mengatur sebuah proses kehidupan sosial dan ekonomi yang diarahkan pada
penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat. Trias politika inilah yang menekankan
paham politik
bukan dalam perebutan kekuasaanya.
Bagaimana dengan Indonesia, Sejak
zaman kerajaan kita sudah mengenal sistem politik kekerajaan dilanjutkan pada
masa koloni dengan gaya politik penjajahan atau politik
belah bambu (memecah belah) dengan stabilitas rentan. Sedangkan masa demokrasi
liberal, politik berbentuk ideologi, HAM, integrasi dan partisipasi massa
sangat tinggi namun kondisi masih saling menunggangi. Berlanjut kepada masa
demokrasi terpimpin, sedikit berbalik dari demokrasi liberal; integritas,
partisipasi dan HAM sangat rendah namun kondisi stabil karena gaya kepemimpinan
cenderung lebih berideologi dan nasakom dengan militer sebagai alat kekuasaan.
Masuk kepada masa demokrasi Pancasila yang serba abstrak karena sistem politik
yang sedang dibangun ulang dengan gaya politik teknokrat: Intelek dan pragmatik
dengan konsep pembangunan bahkan partisipasi mati namun menyandang nilai HAM
yang tinggi.
Terakhir
era-reformasi dengan bentuk politik pragmatik, HAM dijunjung, partisipasi di
utamakan dan stabilitas terencana. (hasil diskusi sejarah politik 100 hari SBY
pada tanggal 27, Barisan Rakyat melawan). Lagi-lagi asas partai politik atas
kekuasaan tidak terkait dalam pembentukan paradigma substansial politik.
Bagaimana
dengan partai politik sendiri? Terhitung sejak
Agustus 1950 sudah ada 27 partai politik yang berdiri. Partai sebagai landasan
pertama untuk membentuk kelengkapan insfrastruktur. Melalui partai pemerintahan
bisa dibentuk, kemudian berlanjut pada pembentukan legislatif, yudikatif dan militerisme. Namun berjalannya waktu partai
politik pun berkembang dan mengatasnamakan
rakyat dengan ideologi-ideologi yang berkembang. Perjuangan pun berubah nama
dengan partai sebagai motor politik. Bukan hanya itu, agama dibawa-bawa untuk
memperoleh kekuasaan absolutisme
golongan di Indonesia.
ITS : belajar berpolitik atau
tendensi memasukkan partai politik
Melihat
Universitas Airlangga yang menggunakan partai buatan/sementara dalam pemilihan
presiden BEM yang berbentuk oligarki golongan membuat saya takut kalau-kalau
ITS akan sama seperti UNAIR. Dampak negatif adalah perebutan kepentingan
golongan, cara-cara haram hingga mudahnya partai politik masuk ke dalam kampus
dan ikut mengkontrol keadaan kader-kadernya.
Menyambung
pada tulisan Kebenaran Jalanan Bagian I, kasus yang saya ungkapkan adalah
dampak dari berbagai kaki partai di kampus yang mulai liar akan kekuasaan,
penuh nafsu untuk memimpin hingga segala carapun dilakukan termasuk
elemen—bersekretariat di Gebang (Kebenaran-Jalanan Bagian I). Awalnya saya penasaran, kenapa saya dibantu oleh elemen
tersebut, padahal dari segala lini kepanitiaan pencalonan dipegang oleh elemen
yang bersangkutan yang menawarkan pengelembungan, dengan asumsi elemen tersebut
bisa menang dengan kemungkinan 100 persen, tentunya ditambah suara penggelembungan.
Dalam
hemat saya bahwa saya hanya menjadi alat untuk merobohkan rezim dan menjadikan
awal untuk merebut kekuasaan di tahun pemilihan selanjutnya dan pastinya
cara-cara subversif dilakukan terus-menerus. Dan kemungkinan kedua adalah
faktor ketidakberanian elemen tersebut untuk “tarung” langsung dengan risiko
terburuk yaitu citra yang telah di bangun selama 60 tahunan akan hancur lebur.
Ada
sebuah fenomena yang membuat saya masih tidak percaya bahwa itu adalah
kenyataan, pada pencoblosan hari kedua banyak coblosan yang diluar dugaan—maksudnya
begini: Ketika di data daftar surat suara yang dicoblos lebih banyak dari
pendaftar yang mencoblos. Hal ini terjadi di 17 TPS dengan hampir 300 suara-an yang tak bertuan. Saya dan tim menuntut
penghitungan ulang. Setelah debat yang alot dan pemboikotan perhitungan, akhirnya
dengan segala keterpaksaan, KPU bersedia dengan syarat semua surat suara hari pertama
dan hari kedua tetap di-publish.
Namun kita masih tidak sepakat, karena jelas bahwa permasalahan harus di
selesaikan terlebih dahulu. Boikotpun terjadi.
Setelah
pemboikotan, KPU mulai perhitungan pertama beda suara saya dengan lawan hanya
berkisar 200an suara. Namun begitu anehnya sebuah permasalahan yang diharapkan
akan terbuka ketika akan dilakukan perhitungan ulang secara detail dan
menyeluruh terlihat semakin aneh, beda suara saya dengan lawan bertambah banyak
lagi dan semua surat suara tak sah itu kini kembali menemukan tuannya. Sungguh tidak
masuk akal bagi saya.
Dan seperti kata Rosihan anwar;
“politik dalam arti sharing power atau berbagi kekuasaan di antara berbagai
kelompok kepentingan” dalam Petite Histoire
1 menjelaskan bahwa politik tidak akan terlepas dari perebutan kekuasaan
dan pembagian jabatan. Bagaimana dengan calon satunya
lagi, setelah memperoleh kemenangan dan mulai membentuk sebuah kabinet, saya
mendengar desas desus bahwa elemen yang menyarankan untuk meraih kemenangan dengan
menggunakan penggelembungan masuk dalam susunan menteri-menterinya. Saya juga mendengar
dari beberapa teman bahwa elemen tersebut dipecah atau sengaja terpecah agar
mencari kondisi aman untuk bisa masuk dalam kabinet dan bisa berkonstribusi
langsung untuk “membangun” langkah selanjutnya. Sungguh pintar dan sangat hebat
loyalitas perjuangan yang dianut sehingga saya bingung, prinsip apa yang
digunakan. Dan saya memohon maaf karena tidak bisa memberikan nama-namanya yang
dikarenakan akan merusak nama baik orang tersebut. cukup sistem dan fenomena
ini saja yang saya buka.
Seperti
itulah yang terjadi, bahkan kerentanan dan rapuhnya sistim yang mudah didomplangi.
Bagaimana jika dibentuk partai-partai politik kecil buatan? Maka sistem
memasuknya partai politik ke dalam kampus akan sangat mudah dalam bentuk-bentuk
politik cap pelacur atau politik jual diri. Dan saya semakin yakin dari fenomena teman-teman
Unair dan IAIN, segala hal akan menjadi halal untuk posisi pemimpin yang
”mengatasnamakan” kebenaran, mahasiswa yang mengatasnamakan agama menjadi penguasa
rimba. Saya tidak habis berfikir kalau sebegitu ambisiusnya seorang manusia
dalam menguasai sebuah jabatan. Bahkan bagaimana saat Hitler dulu dengan
pasukannya meluluhlantahkan yahudi di pertengahan abad 20an demi kekuasaan? Holocaust.
“Kalau
membangun bangsa hanya dengan partai politik, saya memilih untuk tidak masuk
surga.” begitulah Thomas Jafferson menggambarkan wajah
politik. Semoga kejadian tersebut tidak terulang lagi.
*Yaumil
F Gayo-KAM ITS
Surabaya, Malam 13 Juni 2011
Bukannya kutipannya thomas jefferson itu' kalau masuk surga harus lewat partai politik, saya memilih untuk tidak masuk surga ' ?
BalasHapus