Sabtu, 08 Oktober 2011

Semakin Tinggi Penghargaan Manusia Terhadap Kekayaan, Semakin Rendahlah Penghargaan Manusia Terhadap Kebenaran, Keadilan, Kesusilaan, dan Nilai-Nilai Kemanusiaan


nurmeily.blogspot.com

Oleh: Bung Rafli*
Hakikat Pendidikan
Kira-kira apa yang akan terjadi dengan negeri kita dan bagaimana nasib anak bangsa saat ini? Jikalau saja 79 tahun yang lalu (1922), Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan yang diasingkan ke Belanda, tidak jadi mendirikan Taman Siswa.
Dan kita bayangkan saja, seperti apa kira-kira nasib kaum hawa di negeri kita, kalau saja seandainya dahulu Kartini tidak memberontak dari kungkungan keluarganya untuk meraih pendidikan (mendirikan taman baca).
Dan bagaimana nasib kita saat ini jika seandainya lagi 66 tahun yang lalu (1945) bangsa kita tidak merdeka? Mungkin saja, kalau kondisi yang saya paparkan di atas benar-benar terjadi. Kita semua, saya dan anda, tidak akan pernah menjadi mahasiswa dan mengenyam pendidikan di kampus yang konon—bergengsi—di Indonesia (ITS).
Itulah beberapa gambaran tentang bagaimana peranan pendidikan dalam membangun bangsa dari berbagai seginya. Kalau kita tilik lebih dalam, alasan mendasar para tokoh-tokoh bangsa yang keukeh dalam mengembangkan pendidikan. Adalah dikarenakan bangsa kita terjajah sekian ratus tahun lamanya, terkungkung dan tidak mampu berbuat apa-apa sebab mayoritas rakyatnya buta huruf dan asing dengan kegiatan pendidikan. Karena bangsa ini tidak memiliki kemampuan baca tulis sehingga segala sumber kekayaan dan sumber daya alam bangsa kita dikelola dan dikeruk oleh bangsa asing. Lantas hal inilah yang membuat kemanusiaan para tokoh-tokoh tersebut terusik dan muncul sebuah cita-cita untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kesusilaan melalui pendidikan. Agar masyarakatnya tidak terus menerus dibodohi dan merasa bodoh.
Maka munculah gagasan untuk membangun akses pendidikan sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya. Tentu dengan harapan untuk kemaslahatan rakyat dan mensejahterakan manusia Indonesia. Tujuan yang mulia itu tentulah memberikan dampak dan efek yang besar sekali bagi bangsa ini. Tokoh-tokoh pemuda pra-kemerdekaan yang mendapatkan akses pendidikan, baik di dalam negeri maupun luar negeri mulai sadar dan memiliki sebuah konsepsi bahwa untuk mensejahterakan rakyat, negeri ini harus merdeka terlebih dahulu. Dan hanya dengan pendidikanlah seseorang bisa merdeka dari kebodohannya.
Orientasi Pendidikan Masa Kini
Bagaimana model pendidikan masa kini? Seperti apa kiranya motivasi calon peserta didik dalam menempuh pendidikan yang dikehendakinya? Benarkah nilai-nilai moral dalam pendidikan sudah tergeser oleh arus modernisasi yang berkiblat pada kapitalisme dan berujung kekayaan yang harus dikeruk sebesar-besarnya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas rasanya relevan jika kita munculkan pada saat ini. Melihat begitu banyaknya sarjana dan lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang dihasilkan, tapi kondisi sosial masyarakatnya  tak kunjung berubah. Bahkan terjadi kesenjangan sosial yang tinggi.
Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa negeri kita adalah negeri yang miskin, sedang kita lihat di perkotaan berdiri mall-mall mewah, rumah mewah, jutaan mobil dan sepeda motor memenuhi tiap relung daerah. Bagaimana bisa kita katakan bahwa negeri ini adalah negeri yang bodoh, sedangkan puluhan siswa tiap tahunnya menang delam kejuaraan olimpiade internasional dan ratusan sarjana tercetak setiap tahun. Lantas jika demikian, dimanakah letak kesalahannya?
Hemat penulis, hal ini terjadi sebab motivasi seseorang meraih pendidikan saat ini berbanding terbalik dengan cita-cita dari tokoh-tokoh pendidikan yang lalu. Alih-alih untuk mensejahterakan rakyat, justru yang ada untuk bisa meraih keuntungan sebanyak-banyaknya setelah lulus kelak dan memenuhi kebutuhan perut masing-masing personal peserta didik. Maka segala hal menjadi salah kaprah dan bisa dianggap lumrah juga. Jika benar demikian, maka berlakulah perenungan Aristoteles seperti yang saya jadikan judul dalam tulisan ini.
Motivasi Mahasiswa
Bagi mahasiswa yang berasal dari kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah. Kuliah di kampus bergengsi seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), berarti terbuka satu pintu untuk bisa memperbaiki nasib keluarga dan meninggikan derajat keluarga yang selama beberapa generasi terlilit derita kemiskinan. Juga merupakan kebanggaan pribadi karena akhirnya, walaupun dari keluarga yang tidak mampu, berhasil menyisihkan ratusan ribu pemuda lainnya—yang mungkin strata sosialnya lebih tinggi—untuk bisa berkuliah di ITS. Tapi sayang, terkadang hal inilah yang pada akhirnya menjebak mahasiswa dalam pemikiran pragmatis; setelah lulus kuliah, bekerja di perusahaan yang memberikan gaji tinggi dan—yang terpenting—lupa pada kondisi sosial masyarakat yang belum terbebas dari kemiskinan.
Sedang bagi mereka dari keluarga mampu, berkuliah di ITS merupakan prestise tersendiri. Mendapatkan pengakuan dan pembuktian diri bahwa untuk masuk di perguruan tinggi negeri tidak melulu harus memiliki modal kepintaran. Dan dianggap oleh beberapa teman, sanak keluarga, dan kolega memiliki kemampuan yang lebih dibanding lainnya. Menjadikan dirinya terlihat berbeda, “banyak jalan menuju Roma”, idiom ini rasanya cocok untuk kondisi yang demikian. Mayoritas yang seperti ini jiwa feodalnya masih kental terbawa hingga di lingkungan kampus. Merasa lebih tinggi dan ingin dihormati. Jelas, kelak ketika lulus, katagori mahasiswa yang seperti ini tidak akan terlalu memperhatikan “kasta” dibawahnya.
Maka jangan heran jika terjadi malpraktik di profesi kedokteran. Karena hanya dengan cara demikianlah uang yang keluar ratusan juta rupiah saat kuliah dapat dengan cepat kembali balik modal. Juga jangan heran jika banyak insinyur yang bermain kotor saat mengerjakan proyek; seperti korupsi dan kongkalikong dengan pejabat berwenang agar tumpukan harta segera menggunung. Sekali lagi jangan heran jika banyak ilmuwan yang melakukan penelitian tidak bermaksud untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melainkan bekerja atas “pesanan” orang-orang berduit demi kepentingan personal atau kelompoknya.
Hal tersebut terjadi sebab orientasi pendidikan sudah tidak seiya sekata—senilai sejuang dengan cita-cita tokoh pendidikan era dulu. Yang membayangkan dengan naiknya status sosial pendidikan masyarakat maka akan tercipta sebuah negara yang gemah ripah loh jinawi dan masyarakatnya adem ayem, sejahtera, dan tentram.
Lantas bagaimana? Marilah mulai diri sendiri kita tanamkan niat bahwa pendidikan yang ditempuh selama ini untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa. Pendidikan tidak hanya sekedar mencari nilai tinggi, lulus cepat, kerja di perusahaan multinasional, gaji tinggi kemudian senang. Itupun boleh juga, tapi keadaan masyarakat sekitar juga harus diperhatikan dan menjadi tanggung jawab utama para intelektual untuk mengangkat harkat martabat rakyat miskin yang tidak sempat mengenyam nikmatnya pendidikan.
Di akhir tulisan, saya akan hadirkan sepenggal puisi WS Rendra yang berjudul Sajak Seonggok Jagung. Puisi yang ditulisnya pada tahun 1975 berisi kritikan terhadap sistim pendidikan yang ada dan fenomena pendidikan yang terjadi saat itu. Yang menarik adalah bahwa hingga saat ini, 36 tahun kemudian, kondisi pendidikan tersebut tidak jauh berbeda. Dalam arti, dari orde baru berganti reformasi; dari Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY tidak terjadi perubahan yang signifikan. Maju tak hendak mundur pun tidak.
Kapan perubahan itu akan terjadi? Generasi manakah yang akan memulainya? Kalau tidak kita, ya berharap semoga anak cucu kelak mampu mewujudkannya.
Begini sajaknya:…/ Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing/ di tengah kenyataan persoalannya? / .../ Apakah gunanya seseorang/ belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,/ atau apa saja,/ bila pada akhirnya,/ ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:/ “Di sini aku merasa asing dan sepi!” (garis miring sebagai pengganti baris).
Revolusi pendidikan harus nyata adanya. 
*R Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS

1 komentar:

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!