sidik-online.webnode.com |
Oleh: Bung Faris*
Euforia menjadi mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
perlahan namun pasti akan memberikan dampak terhadap perkembangan mental
mahasiswa baru—mencari jati diri dengan bergabung dalam fraternity. Apapun
jenis organisasi mahasisawa yang diikuti akan membentuk karakter tiap mahasiswa
yang tergabung. Mahasiswa adalah masa transisi yang labil, sehingga character
bulding yang akan mereka dapatkan adalah melalui organisasi yang
ditekuninya.
Mungkin pernah dengar istilah Mahasiswa Kura-Kura, Kupu-Kupu, Kunang-Kunang dan
juga mahasiswa Kuda-Kuda. Tidak
ada larangan dan paksaan untuk menjadi atau memilih salah satu karakter
mahasiswa tersebut. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk melakukan intimidasi
terhadap salah satu karakter karena semuanya terserah pada anda. It`s your
choice!
Cara mudah dalam memahami civil society adalah “pihak ketiga” yang berbeda dari pemerintah
dan pelaku bisnis. Dalam hal pandangan civil
society, mengarah pada pokok utama sebagai “lembaga perantara” seperti asosiasi
profesional, kelompok agama, serikat buruh,
organisasi advokasi masyrakat, dsb. Dengan begitu dapat memberikan suara kepada
berbagai sektor masyarakat dan memperkaya partisipasi publik dalam demokrasi. Begitu kurang lebih konsep civil
society yang saya kutip dari website CSI International dan mahasiswa adalah
satu elemen dari konsep sederhana civil
society yang sangat berperan dalam perjalanan demokrasi Negara Indonesia.
Kura-Kura Vs Kupu-Kupu
Mahasiswa Kura-Kura (Kuliah Rapat-Kuliah Rapat)
belum tentu lebih baik dari Mahasiswa Kupu-Kupu (Kuliah Pulang-Kuliah Pulang). Mahasiswa
Kura-Kura yang sakit mentalnya sebagai agent
of change hanya merapatkan dan merumuskan masalah tentang bagaimana
menghabiskan dana yang sudah disediakan birokrasi tanpa ada tujuan menguatkan civil
society yang mulai bergeser makna menjadi gerakan politik yang seharusnya merumuskan
masalah bagi kepentingan masyarakat luas serta harus lepas dari hegemoni dan kepentingan para pelaku
bisnis, partai politik juga negara.
Paradigma mahasiswa Kupu-Kupu bisa dikatakan
memiliki kehidupan yang statis
dan boleh jadi pragmatis. Kuliah
pinter dengan Indeks Prestasi (IP) cumlaude
dijadikan acuan mendapatkan bekerja di BUMN dengan gaji selangit. Tidak banyak
yang dapat dipandang dari kumpulan Mahasiswa Kunang-Kunang (Kuliah
Nangkring-kuliah Nangkring) yang memiliki habit habis kuliah nongkrong,
namun bagi kumpulan mahasiswa ini yang pintar dalam mencari jaringan dan cerdas
dalam hal negoisasi mendapat predikat lebih baik dikalangan profesional dan ini
adalah bargain bagi mereka.
Berbeda dengan mahasiswa lainnya, Mahasiswa
Kuda-Kuda (Kuliah Dakwah-Kuliah Dakwah) yang selalu rajin dan kontinu
menyampaikan kebaikan-kabaikan kepada mahasiswa lain. Kebaikan yang mereka
sampaikan didapatkan senior dari terdahulu mereka secara turun menurun atau
yang mereka update dari membaca buku
atau internet. Sangat disayangkan kebaikan yang mereka sampaikan membawa nama
“agama” sebagai simbolnya sehingga hal ini menjadi sebuah “jurang keberagamaan”.
Mahasiswa sebagai elemen utama dari konsep civil
society seharusnya dikawal oleh tiap perguruan tinggi. Mental sehat dan
berfikiran luas seharusnya ditanamkan dalam chip otak tiap mahasiswa karena setiap
pemuda diharapkan mampu menjadi iron stock (calon pemimpin bangsa masa
depan) yang bersih, jujur dan adil. Kaca mata awam melihat pergerakan mahasiswa
tidak lagi terlihat gesekanya, apakah ini isyarat tumpulnya fungsi mahasiswa
sebagai agen of change dan sebagai elemen yang mengawal sebuah demokrasi
di negara ini.
Mahasiswa harus Kritis dan Skeptis
Bukan intervensi untuk melakukan demonstrasi atau
memusuhi kebijakan yang sudah ada dengan bersikap opposite (berlawanan)
tapi lebih bersikap oposisi sehingga dapat menjadi check and balance
bagi kebijakan yang ada. Apabila semua kebijakan diterima tanpa ada pemikiran kritis dengan sedikit skeptis, apa bisa dikatakan
negara kita ini negara demokrasi? Tidak ada perbedaan pendapat/pandangan maka dikatakan
bahwa demokrasi sudah lumpuh (tidak lagi berjalan), yang saya pahami adalah
ketika ada gesekan dan perbedaan pendapat maka disitu demokrasi berjalan yang
artinya mekanisme check and balance berfungsi dan bukan hanya “sendiko
dawuh sabdo pandito ratu” atau istilah orde barunya, “yang penting bapak
senang”.
Sampean ini mahasiswa apa?
*Bangfaris-Mahasiswa Biologi 08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!