nurmeily.blogspot.com |
Oleh: Bung Rafli*
Hakikat
Pendidikan
Kira-kira apa yang akan terjadi dengan negeri kita
dan bagaimana nasib anak bangsa saat ini? Jikalau saja 79 tahun yang lalu
(1922), Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan yang diasingkan ke Belanda, tidak
jadi mendirikan Taman Siswa.
Dan kita bayangkan saja, seperti apa kira-kira
nasib kaum hawa di negeri kita, kalau saja seandainya dahulu Kartini tidak
memberontak dari kungkungan keluarganya untuk meraih pendidikan (mendirikan
taman baca).
Dan bagaimana nasib kita saat ini jika seandainya
lagi 66 tahun yang lalu (1945) bangsa kita tidak merdeka? Mungkin saja, kalau
kondisi yang saya paparkan di atas benar-benar terjadi. Kita semua,
saya dan anda, tidak akan pernah menjadi mahasiswa dan mengenyam pendidikan di
kampus yang konon—bergengsi—di Indonesia (ITS).
Maka munculah gagasan untuk membangun akses
pendidikan sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya. Tentu dengan harapan untuk
kemaslahatan rakyat dan mensejahterakan manusia Indonesia. Tujuan yang mulia
itu tentulah memberikan dampak dan efek yang besar sekali bagi bangsa ini.
Tokoh-tokoh pemuda pra-kemerdekaan yang mendapatkan akses pendidikan, baik di dalam
negeri maupun luar negeri mulai sadar dan memiliki sebuah konsepsi bahwa untuk
mensejahterakan rakyat, negeri ini harus merdeka terlebih dahulu. Dan hanya
dengan pendidikanlah seseorang bisa merdeka dari kebodohannya.
Orientasi
Pendidikan Masa Kini
Bagaimana model pendidikan masa kini? Seperti apa
kiranya motivasi calon peserta didik dalam menempuh pendidikan yang
dikehendakinya? Benarkah nilai-nilai moral dalam pendidikan sudah tergeser oleh
arus modernisasi yang berkiblat pada kapitalisme dan berujung kekayaan yang
harus dikeruk sebesar-besarnya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas rasanya relevan jika
kita munculkan pada saat ini. Melihat begitu banyaknya sarjana dan lulusan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas yang dihasilkan, tapi kondisi sosial masyarakatnya tak kunjung berubah. Bahkan terjadi
kesenjangan sosial yang tinggi.
Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa negeri kita adalah
negeri yang miskin, sedang kita lihat di perkotaan berdiri mall-mall mewah,
rumah mewah, jutaan mobil dan sepeda motor memenuhi tiap relung daerah. Bagaimana
bisa kita katakan bahwa negeri ini adalah negeri yang bodoh, sedangkan puluhan
siswa tiap tahunnya menang delam kejuaraan olimpiade internasional dan ratusan
sarjana tercetak setiap tahun. Lantas jika demikian, dimanakah letak
kesalahannya?
Hemat penulis, hal ini terjadi sebab motivasi
seseorang meraih pendidikan saat ini berbanding terbalik dengan cita-cita dari tokoh-tokoh
pendidikan yang lalu. Alih-alih untuk mensejahterakan rakyat, justru yang ada untuk
bisa meraih keuntungan sebanyak-banyaknya setelah lulus kelak dan memenuhi
kebutuhan perut masing-masing personal peserta didik. Maka segala hal menjadi
salah kaprah dan bisa dianggap lumrah juga. Jika benar demikian, maka
berlakulah perenungan Aristoteles seperti yang saya jadikan judul dalam tulisan
ini.
Motivasi
Mahasiswa
Bagi mahasiswa yang berasal dari kalangan kelas ekonomi
menengah ke bawah. Kuliah di kampus bergengsi seperti Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS), berarti terbuka satu pintu untuk bisa memperbaiki nasib
keluarga dan meninggikan derajat keluarga yang selama beberapa generasi
terlilit derita kemiskinan. Juga merupakan kebanggaan pribadi karena akhirnya,
walaupun dari keluarga yang tidak mampu, berhasil menyisihkan ratusan ribu
pemuda lainnya—yang mungkin strata sosialnya lebih tinggi—untuk bisa berkuliah
di ITS. Tapi sayang, terkadang hal inilah yang pada akhirnya menjebak mahasiswa
dalam pemikiran pragmatis; setelah lulus kuliah, bekerja di perusahaan yang
memberikan gaji tinggi dan—yang terpenting—lupa pada kondisi sosial masyarakat
yang belum terbebas dari kemiskinan.
Sedang bagi mereka dari keluarga mampu, berkuliah
di ITS merupakan prestise tersendiri. Mendapatkan pengakuan dan pembuktian diri
bahwa untuk masuk di perguruan tinggi negeri tidak melulu harus memiliki modal
kepintaran. Dan dianggap oleh beberapa teman, sanak keluarga, dan kolega
memiliki kemampuan yang lebih dibanding lainnya. Menjadikan dirinya terlihat
berbeda, “banyak jalan menuju Roma”, idiom ini rasanya cocok untuk kondisi yang
demikian. Mayoritas yang seperti ini jiwa feodalnya masih kental terbawa hingga
di lingkungan kampus. Merasa lebih tinggi dan ingin dihormati. Jelas, kelak
ketika lulus, katagori mahasiswa yang seperti ini tidak akan terlalu
memperhatikan “kasta” dibawahnya.
Maka jangan heran jika terjadi malpraktik di profesi kedokteran. Karena
hanya dengan cara demikianlah uang yang keluar ratusan juta rupiah saat kuliah
dapat dengan cepat kembali balik modal. Juga jangan heran jika banyak insinyur
yang bermain kotor saat mengerjakan proyek; seperti korupsi dan kongkalikong dengan pejabat berwenang
agar tumpukan harta segera menggunung. Sekali lagi jangan heran jika banyak
ilmuwan yang melakukan penelitian tidak bermaksud untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat melainkan bekerja atas “pesanan” orang-orang berduit demi
kepentingan personal atau kelompoknya.
Hal tersebut terjadi sebab orientasi pendidikan
sudah tidak seiya sekata—senilai sejuang dengan cita-cita tokoh pendidikan era
dulu. Yang membayangkan dengan naiknya status sosial pendidikan masyarakat maka
akan tercipta sebuah negara yang gemah
ripah loh jinawi dan masyarakatnya adem
ayem, sejahtera, dan tentram.
Lantas bagaimana? Marilah mulai diri sendiri kita
tanamkan niat bahwa pendidikan yang ditempuh selama ini untuk kesejahteraan
masyarakat dan kemajuan bangsa. Pendidikan tidak hanya sekedar mencari nilai
tinggi, lulus cepat, kerja di perusahaan multinasional, gaji tinggi kemudian
senang. Itupun boleh juga, tapi keadaan masyarakat sekitar juga harus
diperhatikan dan menjadi tanggung jawab utama para intelektual untuk mengangkat
harkat martabat rakyat miskin yang tidak sempat mengenyam nikmatnya pendidikan.
Di akhir tulisan, saya akan hadirkan sepenggal
puisi WS Rendra yang berjudul Sajak
Seonggok Jagung. Puisi yang ditulisnya pada tahun 1975 berisi kritikan
terhadap sistim pendidikan yang ada dan fenomena pendidikan yang terjadi saat
itu. Yang menarik adalah bahwa hingga saat ini, 36 tahun kemudian, kondisi
pendidikan tersebut tidak jauh berbeda. Dalam arti, dari orde baru berganti
reformasi; dari Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY tidak terjadi
perubahan yang signifikan. Maju tak hendak mundur pun tidak.
Kapan perubahan itu akan terjadi? Generasi manakah
yang akan memulainya? Kalau tidak kita, ya berharap semoga anak cucu kelak
mampu mewujudkannya.
Begini sajaknya:…/ Apakah gunanya pendidikan/ bila
hanya akan membuat seseorang menjadi asing/ di tengah kenyataan persoalannya? /
.../ Apakah gunanya seseorang/ belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu
kedokteran,/ atau apa saja,/ bila pada akhirnya,/ ketika ia pulang ke daerahnya,
lalu berkata:/ “Di sini aku merasa asing dan sepi!” (garis miring sebagai
pengganti baris).
Revolusi pendidikan harus nyata adanya.
*R Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS
like this
BalasHapus