Jumat, 23 September 2011

“Eco Campus” Hasrat Gengsi


its.ac.id
Oleh: Bung Samdy*
Betapa bahagianya pejabat ITS membaca media cetak maupun elektronik hari Jum’at (16/9) lalu. Di kala kisruh UI masih mendominasi pemberitaan soal kampus, kabar “ITS Eco Campus” seakan memberi kesejukan. Berbagai program telah dicanangkan seperti penanaman pohon, membatasi kendaraan bermotor, serta mengurangi pemakaian AC. Tak ketinggalan, penyediaan sepeda sebanyak 500 unit.
Langkah ini boleh dikata “revolusioner” untuk ukuran ITS dan Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia berbeda dengan negara maju. Tanda majunya sebuah negara dapat dilihat dari seberapa banyak wilayahnya mengepulkan asap. Entah itu karena industri ataupun kendaraan bermotor.
Negara-negara maju itu sadar betapa asap dapat merusak iklim. Namun, kalau sampai industri dihentikan, tentu perekonomian akan ambruk. Untuk mengurangi risiko tersebut, bahan bakar non-minyak ataupun kendaraan tanpa mesin dijadikan pilihan. Hal ini mudah, karena kendaraan pribadi hanyalah terkait gaya hidup, tidak mengganggu ekonomi negara.
Indonesia belum menjadi negara maju. Tapi kita masih berhasrat menuju ke arah sana. Terkait gaya hidup, Indonesia sebetulnya akan memasuki fase seperti halnya negara maju pernah mengalaminya. Sebagai satu contoh; masyarakat akan ramai-ramai memiliki kendaraan pribadi. Orang yang dulu hanya bisa jalan kaki dan naik sepeda, akan membeli sepeda motor. Setelah itu, ganti dengan mobil berharga murah dan kemudian mobil bermerek.
Sebelum memasuki fase tersebut, orang Indonesia harus melihat kenyataan bahwa di negara “sana”, sudah timbul kesadaran untuk kembali ke zaman baheula. Jalan kaki ataupun naik sepeda, selain menyehatkan, juga dapat menjaga keseimbangan alam. Orang Indonesia—dan negara berkembang lainnya—bisa jadi merasa tidak adil; gara-gara negara maju, mimpi punya kendaraan jadi terkesan menakutkan.
Saya pikir, inti dari menjaga lingkungan adalah bagaimana menciptakan pola pikir yang tidak melulu gengsi dan prestise. Dahulu kala, simbol kemapanan dan kehormatan adalah kendaraan pribadi—selain rumah dan harta. Beruntungnya, kendaraan termewah waktu itu cuma kereta kuda yang tidak mengeluarkan asap. Dengan demikian, prestise yang sering berkonotasi negatif, tidak berimplikasi negatif terhadap alam dan lingkungan.
Di masa kini, prestise melahirkan hal yang sebaliknya. Hasrat memiliki kendaraan ternyata dapat merusak alam. Kalaupun kendaraan itu menggunakan bahan bakar non-minyak, masalah selanjutnya adalah keterbatasan lahan. Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo, mungkin pusing tiap malam bagaimana caranya mengurangi pemakaian kendaraan pribadi di Ibu Kota. Bukan karena dia peduli lingkungan, tapi supaya kemacetan parah bisa teratasi. Inilah yang disebut gengsi dan prestise yang berefek negatif.
ITS Kampus “Hijau”
Apa yang dilakukan ITS sebetulnya tidak sampai berkeinginan mengubah paradigma tersebut. ITS Eco Campus justru upaya mengejar prestise pula. Menurut ranking “UI Green Metric”, kampus tercinta kita menduduki peringkat 18 kampus sedunia yang ramah lingkungan. Wow, sesuatu yang kelihatan tidak mungkin jika parameternya sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi—untuk bersanding dengan Harvard, MIT, Cambridge, ataupun Tokyo. Tapi dalam menjaga lingkungan, kampus ini termasuk elit dunia.
Pejabat ITS kemungkinan sadar diri bahwa hanya dalam bidang lingkungan (yang saya maksud bukan Jurusan Teknik Lingkungan) ITS bisa dikenal. Walaupun  dilakukan oleh UI, belum ada lembaga lain di dunia yang khusus menilai berdasar kepedulian pada lingkungan. Itu artinya, pemeringkatan UI dianggap cukup berpengaruh untuk melihat kampus mana di muka bumi yang paling “hijau”. Seperti dapat dibaca di situsnya (greenmetric.ui.ac.id) yang salah satu standar penilaian ialah pemakaian alat transportasi ramah lingkungan di kampus.  
Dengan posisi 20 besar dunia, barangkali dua peraih Nobel Perdamaian karena jasanya bagi lingkungan, Al Gore (2007) dan Wangari Maathai (2004), akan membaca kabar tersebut dan nama ITS segera “go international”. Lembaga swadaya masyarakat beken dan filantropis mau menyumbang uang untuk ITS. Dengan kata lain, walaupun tidak masuk 500 besar kampus dunia versi Times, Shanghai Jiaotong, dsb., di mata orang yang peduli terhadap alam, ITS lebih ngetop.
Inilah pintu masuk untuk mempublikasi ITS secara lebih luas. Jika seorang profesor matematika Universitas Chicago tidak tahu menahu ketika ditanya tentang ITS, bukan tak mungkin aktivis Greenpeace lulusan kampus itu teringat pernah membaca ITS yang bersahabat dengan alam.
Saya kira hal tersebut menjadi pendorong bagi pejabat ITS menyebut diri “Eco Campus” ke berbagai media. Dengan ramainya pemberitaan, bukan tak mungkin reputasi ITS naik dan pejabat-pejabat ITS akan menerima penghargaan di tingkat nasional, regional, ataupun internasional. Peraih Hadiah Magsaysay Award—ada yang menyebutnya “Nobel ala Asia”—tahun ini saja jatuh ke tangan seorang yang peduli lingkungan yakni Tuan Guru Hasanain Juaini dari NTB.
Ini hanyalah manifestasi dari apa yang sebelumnya saya katakan: hasrat akan gengsi dan prestise. Keinginan untuk bagaimana mendapat publikasi dan peringkat “ter” atas tindakan yang sudah semestinya. Kalau rawa-rawa Keputih tahun 1980-an dipilih untuk memancang gedung-gedung ITS; kemudian masih terdapat banyak ruang kosong untuk ditanami pohon sekaligus untuk konservasi burung-burung yang habitatnya “dijarah”;  tujuan tersebut sangat mulia adanya. Ternyata, puluhan tahun kemudian, di kala orang-orang sudah ramai bicara pemanasan global, ada berkah tersembunyi. ITS tidak kesulitan mencari lahan untuk “menugaskan” mahasiswa baru menanam pohon-pohon sebagai sarana publikasi di media.
Khusus masalah pembatasan kendaraan bermotor, ITS harus berupaya lebih keras. Jalan kaki sebetulnya masih manusiawi di kampus seukuran ITS. Hanya saja, budaya dimanja oleh kendaraan tidak mudah diubah dalam tempo singkat. Apalagi, Surabaya bukanlah Bandung atau Malang yang mataharinya mau “bersahabat”. Belum lagi perangai dosen; apakah semua dosen ITS mau menguruskan badan mereka dan berpeluh keringat? Jangan-jangan, untuk “menaklukkan” dosen pun pejabat ITS tak mampu. Hal ini tentu menjadi contoh tak baik bagi mahasiswa.
Melihat kenyataan dan tantangan yang ada, tampak bahwa pemberitaan luas beberapa hari lalu sekedar sensasi. Tabiat kebanyakan orang yang mengejar prestise ialah “umbar dulu, aksi kemudian”. Jika hasilnya nihil, tidak bakal muncul berita: Kampus ITS melanggar janji. Barangkali cuma UI yang bernasib sial karena perpustakaan yang konon digembar-gembor terbesar dunia, rupanya berisi gerai Sturbucks. Biar tahu malu!  
*Samdysara Saragih-T Fisika ITS

2 komentar:

  1. tulisan bagus!!
    semoga saja tidak untuk mengerjar popularitas,memang niat murni untuk memajukan ITS dan indonesia.
    tapi saya pribadi agak miris dengan kelakukan mahasiswa ITS yang sok2an menjemput wisudawan, la wong menjemput kenapa harus seperti malam tahun baru, menghabiskan bahan bakar saja!!!.
    gitu mau menjadi eco campus?? menurutku sih mahasiswanya dulu yg dirubah prilakunya. kalau kita sudah bisa menunjukkan prilaku yang baik, baru kita bisa berbangga diri di depan bapak2 berdasi yang lagi duduk di sebelah BAAK.cheerss :D

    BalasHapus
  2. semoga semua itu tidak hanya sarana publikasi yang tidak ada tindak nyatanya.

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!