kanalinformasi.com |
Oleh: Bung Wiwit*
Mahasiswa
identik dengan tulis menulis bukan diskusi. Satu kalimat pengantar yang
disampaikan oleh bung Yaumil sebagai pengantar materi pada diskusi beberapa
minggu lalu. Berbeda dengan diskusi sebelumnya, diskusi kali ini berjalan cukup
serius tapi santai karena bukan membahas sejarah seperti biasa tapi hanya
bertumpu pada sebuah buku yang berjudul “Seandainya Saya Wartawan TEMPO” dari
Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni TEMPO.
Seandainya
anda seorang wartawan yang harus diperhatikan pertama adalah feature, begitu
buku itu menjelaskan. “Dalam perjalanan pulang dan pergi anda sering melihat
anak-anak mengamen di perempatan-perempatan jalan. Anda sudah ratusan kali
melihat mereka dan tanpa peduli. Tapi tiba-tiba suatu pemandangan di dalam bus
kota yang anda naiki, yang agak lain dari biasanya, menyebabkan anda mengambil
notes. Mencatat. Tiga anak pengamen melompat kedalam bus, salah satunya cacat
kedua tangan dan kakinya. Yang berseragam sekolah dasar membawa tas, bukan
berisi buku, tapi rebana. Ketika rebana sudah dikalungkan di leher dan ditabuh,
si cacat pun bernyanyi lagu dangdut. Anda sudah mulai melangkah untuk satu
cerita feature.
Setengah
jam kemudian, anda turun dari bus dengan notes yang beberapa halamannya berisi
catatan baru, reportase dan hasil wawancara dengan si Buyung, demikianlah nama
si Cacat tadi. Esok harinya, anda mengusulkan cerita si Buyung pada redaksi
yang membawahkan rubrik feature. “Saya punya cerita menarik. Tiga anak pengamen
yang saling bekerja sama, membagi nasib bersama. Jika cerita ini diperluas
dengan reportase dan wawancara anak-anak jalanan yang lain, saya kira akan
menjadi satu feature yang menyentuh.” Wartawan itu menyodorkan catatannya.
“Nama saya Buyung. Tidak seorang pun pernah menanyai
tentang asal-usul ketika saya mengamen. Cita-cita saya hanya satu, menjadi
penyanyi, nggak usah terkenal, tapi didengar. Saya tak pernah sekolah, saya tak
bisa membaca dan menulis, tapi kalau ngitung-ngitung bisa. Ayah saya kuli
bangunan di Medan. Empat tahun lalu saya lari ke Jakarta.”
Redaksi
rupanya tertarik dan dapat persetujuan dalam rapat redaksi. Maka disusunlah
rencana penulisan satu artikel panjang yang penuh warna tentang anak-anak
jalanan: Cerita mereka menyusuri jalan, keluhannya, kegembiraannya, hubungan
antar mereka, latar belakang keluarga, pendapatannya dari mengamen sampai
masalah sosial yang melahirkan anak-anak itu. Hasil tulisan di rubrik selingan; “Bocah-bocah Turun ke Jalan”
(TEMPO, 6 Mei 1989). Itulah batasan klasik feature. Unsur-unsur yang
terkandung: kretivitas, subjektivitas, informatif, menghibur, awet, dan panjang
feature.
Belum
selesai menganalisa cerita diatas, tawaran baru disampaikan kepada para peserta
diskusi tentang modal penting dalam menulis. Dalam menulis berita yang
diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, tapi dalam penulisan feature kita
dapat memakai teknik “mengisahkan sebuah cerita”. Memang itulah kunci perbedaan
antara berita “berat” (hardnews) dan tulisan feature. Penulis feature pada
hakikatnya adalah seorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata. Ia
menghidupkan imajinasi pembaca. Ia menarik pembaca agar masuk kedalam cerita
itu dengan membantunya mengidentifikasi diri dengan tokoh utama.
Penulis
feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar,
karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi.
Piramida
terbalik sering ditinggalkan, terutama bila urutan peristiwa dengan sendirinya
membentuk cerita yang baik. Beberapa metode yang harus diperhatikan dalam
menulis berita antara lain: akurat, cerita khayalan tidak boleh ada dalam
penulisan feature; mengumpulkan informasi dengan tepat; pengejaan dan pemakaian
kata dengan tepat; pemakaian buku pedoman; menangkap kesalahan baik ejaan,
gaya, maupun pemakaian kata.
Diskusi
pun berjalan semakin menarik dengan beberapa pertanyaan. Salah satu pertanyaan
berasal dari jeng Ika—astu-satunya
peserta wanita pada diskusi kali ini. “Sejauh mana wartawan itu melakukan
observasi?” Bung yaumil sebagai pengantar wacana menjawab dengan beberapa
pendekatan. Pertama melalui pendekatan tema yang mau diangkat, kedua
berdasarkan sumber informasi, ketiga berdasarkan idealisme pribadi wartawan
tersebut. Seperti kurang puas dengan jawaban tadi Bung Arif menambahkan dengan
memandang dari sudut berita itu sendiri. “Berbeda dengan opini, berita harus
berdasarkan fakta, dari itulah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
membutuhkan observasi yang tidak mudah dalam pembuatan berita.”
Malam
semakin larut tapi diskusi masih terus menawarkan hal-hal menarik dengan
beberapa analisa yang dikemukakan oleh peserta diskusi. Dari berbagai cara
menulis, permasalahan dalam menulis, dan beberapa contoh kalimat berita yang
diperdebatkan muncul satu pertanyaan dari bung Wiwit tentang plagiatisme dalam
menulis dan batasan-batasan sebuah tulisan bisa dikatakan plagiat.
Beberapa
jawaban terlontar dengan berbagai versi tentang plagiatisme. Salah satunya dari
bung Yaumil sebagai pengantar wacana. “Dalam dunia penulisan dengan
perpindahannya dari modern ke posmodern seperti saat ini, plagiatisme hampir
tidak ada lagi atau bisa dibilang tidak ada batasan yang signifikan terhadap
plagiatisme kecuali sama persis dengan sumber tanpa mencantumkan nama sumber
tersebut.”
“Tulisan
merupakan alat bantu pemikiran manusia” dan “menulis itu sejarah” satu petikan
dari bung Ucup dan bung Arif. Jauh sebelum metode dan batasan-batasan dalam
menulis ini ditemukan, manusia menggunakan sarana menulis secara apa adanya
untuk menuangkan pemikirannya sehingga bisa diketahui oleh generasi selanjutnya
secara nyata dan menjadikannya sebuah sejarah kehidupan.
*Wiwit Cungkring-Tiyang Alit ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!