Sabtu, 26 November 2011

Seandainya Saya Wartawan Tempo


kanalinformasi.com
Oleh: Bung Wiwit*
Mahasiswa identik dengan tulis menulis bukan diskusi. Satu kalimat pengantar yang disampaikan oleh bung Yaumil sebagai pengantar materi pada diskusi beberapa minggu lalu. Berbeda dengan diskusi sebelumnya, diskusi kali ini berjalan cukup serius tapi santai karena bukan membahas sejarah seperti biasa tapi hanya bertumpu pada sebuah buku yang berjudul “Seandainya Saya Wartawan TEMPO” dari Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni TEMPO.
Seandainya anda seorang wartawan yang harus diperhatikan pertama adalah feature, begitu buku itu menjelaskan. “Dalam perjalanan pulang dan pergi anda sering melihat anak-anak mengamen di perempatan-perempatan jalan. Anda sudah ratusan kali melihat mereka dan tanpa peduli. Tapi tiba-tiba suatu pemandangan di dalam bus kota yang anda naiki, yang agak lain dari biasanya, menyebabkan anda mengambil notes. Mencatat. Tiga anak pengamen melompat kedalam bus, salah satunya cacat kedua tangan dan kakinya. Yang berseragam sekolah dasar membawa tas, bukan berisi buku, tapi rebana. Ketika rebana sudah dikalungkan di leher dan ditabuh, si cacat pun bernyanyi lagu dangdut. Anda sudah mulai melangkah untuk satu cerita feature.

Setengah jam kemudian, anda turun dari bus dengan notes yang beberapa halamannya berisi catatan baru, reportase dan hasil wawancara dengan si Buyung, demikianlah nama si Cacat tadi. Esok harinya, anda mengusulkan cerita si Buyung pada redaksi yang membawahkan rubrik feature. “Saya punya cerita menarik. Tiga anak pengamen yang saling bekerja sama, membagi nasib bersama. Jika cerita ini diperluas dengan reportase dan wawancara anak-anak jalanan yang lain, saya kira akan menjadi satu feature yang menyentuh.” Wartawan itu menyodorkan catatannya.
Nama saya Buyung. Tidak seorang pun pernah menanyai tentang asal-usul ketika saya mengamen. Cita-cita saya hanya satu, menjadi penyanyi, nggak usah terkenal, tapi didengar. Saya tak pernah sekolah, saya tak bisa membaca dan menulis, tapi kalau ngitung-ngitung bisa. Ayah saya kuli bangunan di Medan. Empat tahun lalu saya lari ke Jakarta.”
Redaksi rupanya tertarik dan dapat persetujuan dalam rapat redaksi. Maka disusunlah rencana penulisan satu artikel panjang yang penuh warna tentang anak-anak jalanan: Cerita mereka menyusuri jalan, keluhannya, kegembiraannya, hubungan antar mereka, latar belakang keluarga, pendapatannya dari mengamen sampai masalah sosial yang melahirkan anak-anak itu. Hasil tulisan di rubrik selingan; “Bocah-bocah Turun ke Jalan” (TEMPO, 6 Mei 1989). Itulah batasan klasik feature. Unsur-unsur yang terkandung: kretivitas, subjektivitas, informatif, menghibur, awet, dan panjang feature.
Belum selesai menganalisa cerita diatas, tawaran baru disampaikan kepada para peserta diskusi tentang modal penting dalam menulis. Dalam menulis berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, tapi dalam penulisan feature kita dapat memakai teknik “mengisahkan sebuah cerita”. Memang itulah kunci perbedaan antara berita “berat” (hardnews) dan tulisan feature. Penulis feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata. Ia menghidupkan imajinasi pembaca. Ia menarik pembaca agar masuk kedalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasi diri dengan tokoh utama.
Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi.
Piramida terbalik sering ditinggalkan, terutama bila urutan peristiwa dengan sendirinya membentuk cerita yang baik. Beberapa metode yang harus diperhatikan dalam menulis berita antara lain: akurat, cerita khayalan tidak boleh ada dalam penulisan feature; mengumpulkan informasi dengan tepat; pengejaan dan pemakaian kata dengan tepat; pemakaian buku pedoman; menangkap kesalahan baik ejaan, gaya, maupun pemakaian kata.
Diskusi pun berjalan semakin menarik dengan beberapa pertanyaan. Salah satu pertanyaan berasal dari jeng Ikaastu-satunya peserta wanita pada diskusi kali ini. “Sejauh mana wartawan itu melakukan observasi?” Bung yaumil sebagai pengantar wacana menjawab dengan beberapa pendekatan. Pertama melalui pendekatan tema yang mau diangkat, kedua berdasarkan sumber informasi, ketiga berdasarkan idealisme pribadi wartawan tersebut. Seperti kurang puas dengan jawaban tadi Bung Arif menambahkan dengan memandang dari sudut berita itu sendiri. “Berbeda dengan opini, berita harus berdasarkan fakta, dari itulah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membutuhkan observasi yang tidak mudah dalam pembuatan berita.”
Malam semakin larut tapi diskusi masih terus menawarkan hal-hal menarik dengan beberapa analisa yang dikemukakan oleh peserta diskusi. Dari berbagai cara menulis, permasalahan dalam menulis, dan beberapa contoh kalimat berita yang diperdebatkan muncul satu pertanyaan dari bung Wiwit tentang plagiatisme dalam menulis dan batasan-batasan sebuah tulisan bisa dikatakan plagiat.
Beberapa jawaban terlontar dengan berbagai versi tentang plagiatisme. Salah satunya dari bung Yaumil sebagai pengantar wacana. “Dalam dunia penulisan dengan perpindahannya dari modern ke posmodern seperti saat ini, plagiatisme hampir tidak ada lagi atau bisa dibilang tidak ada batasan yang signifikan terhadap plagiatisme kecuali sama persis dengan sumber tanpa mencantumkan nama sumber tersebut.”
“Tulisan merupakan alat bantu pemikiran manusia” dan “menulis itu sejarah” satu petikan dari bung Ucup dan bung Arif. Jauh sebelum metode dan batasan-batasan dalam menulis ini ditemukan, manusia menggunakan sarana menulis secara apa adanya untuk menuangkan pemikirannya sehingga bisa diketahui oleh generasi selanjutnya secara nyata dan menjadikannya sebuah sejarah kehidupan.
*Wiwit Cungkring-Tiyang Alit ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!