Tapi dapat diduga,
dalam keadaan yang begitu rancak secara
teoritis tesebut, tidak ada lagi yang namanya kebebasan individu. Hak pribadi
ditiadakan berganti “hak komunal”. Praktis, hak untuk berdemonstrasi dibatasi,
apalagi jika untuk mengkritik pemerintah. Perjuangan dianggap usai karena kaum
proletar sudah memimpin.
Itulah
gambaran singkat dari perbandingan dengan negara komunis yang pernah hidup.
Tapi sejak Bolshewik
yang dipimpin Lenin berhasil menguasai Rusia pada tahun 1917; yang kemudian
diikuti keberhasilan Mao Zedong (Cina), Kim Il Sung (Korea Utara), Castro
(Kuba), Ho Ci Minh (Vietnam) dll., semua impian dari Doktor Karl Marx tidak pernah
bisa diwujudkan di muka bumi. Apa yang gampang diidelakan sangatlah sulit penerapannya.
Buruknya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut memancing rakyat menoleh
pada liberalisme yang bisa membuat hidup (tampak) bahagia.
Para pemimpin
negara komunis pun sadar diri. Di antaranya pemimpin Partai Komunis Uni Sovyet ex officio (merangkap) presiden, Mikhail
Gorbachev, mereformasi negaranya pada 1980-an. Tembok Berlin runtuh tahun 1989,
dan kemudian Uni Sovyet dan rezim-rezim komunis di Eropa jatuh. Sebaliknya, di benua
Asia dan Amerika partai komunis tetap berkuasa namun penerapan doktrin baku
Marxisme telah “binasa”. Kita lihat apa yang terjadi di Cina dan Vietnam
sekarang. Kedua negara ini telah berkembang menjadi negara kapitalis dengan
membuka penanaman modal asing. Satu-satunya ciri komunisme tinggallah “kediktatoran
proletar” dan pengekangan kebebasan individu.
Sejarah
menunjukkan bahwa kegagalan bukanlah monopoli dari ideologi tertentu. Sebagian
orang beragama mengatakan dengan enteng bahwa komunisme hancur karena anti-Tuhan
sehingga tidak diperkenan-Nya. Padahal di masa silam, negara-negara yang
mentasnamakan Tuhan pun hancur pula berkeping-keping. Apakah dapat dengan
enteng kita katakan bahwa Tuhan pun ternyata tidak suka namanya dibawa-bawa
dalam politik?
Kita boleh saja
mengaitkan dengan dimensi spiritual. Tapi fakta mengatakan kegagalan-kegagalan
itu terutama terjadi karena adanya pengingkaran atas kemanusiaan. Tatkala
sebuah rezim komunis meniadakan hak individu maka sang manusia sesungguhnya
bukan manusia lagi. Begitu pula manusia yang “diorientasikan untuk akhirat”
sehingga hak duniawinya dibatasi dalam pemerintahan teokrasi yang
menatasnamakan kedaulatan Tuhan.
Padahal,
manusia punya kebebasan dan yang satu ini adalah paling hakiki. Manusia boleh
memilih mau jadi bodoh atau pintar; apakah mau masuk neraka atau surga; mau miskin
atau kaya; dan lain sebaginya. Bahwa agak aneh ada orang yang mau jadi bodoh
atau lebih suka masuk neraka dan lain sebagainya; itu adalah hak dari seorang
manusia di muka bumi dan tak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
Kelemahan
rezim komunis terdahulu disebabkan keangkuhan bahwa mereka paling tahu
keinginan manusia. Seolah-olah dengan mengenyahkan kaum kapitalis/borjuis atau
orang-orang kaya, maka kebahagiaan didapat. Dan semua itu tolak ukurnya adalah
uang dan materi—atau alat produksi. Dengan menghilangkan para penghisap
seakan-akan telah sirnalah penindasan. Padahal bukan itu.
Bukan Materi
Saya teringat
sebuah film berjudul “Enemy at the Gates” yang ditayangkan Trans TV beberapa minggu lalu. Film berlatar perang Sovyet-Jerman
di Perang Dunia II itu mengisahkan pertemanan seorang perwira politik Tentara
Merah—angkatan bersenjata Uni Sovyet—bernama Danilov dan seorang prajurit sniper bernama Vasely Zeitsev. Danilov
ditugaskan oleh atasannya, Nikita Kurshchev (kelak jadi pemimpin Uni Sovyet
yang bersahabat dengan Bung Karno), untuk membuat pamflet propaganda yang
mengumbar kehebatan Zeitsev supaya membangkitan semangat pasukan lain
menghadapi tentara Jerman.
Dikisahkan
keduanya mencintai perempuan yang sama. Namun sayang, dalam sebuah penyerbuan,
Danilov mendapati gadis yang dicintainya tertembak dan menduga ia telah
meninggal (walaupun kemudian diketahui selamat). Danilov lalu menemui Zeitsev
yang sedang mengintai musuh, seorang sniper
Jerman. Dalam keadaan putus asa, dia menyampaikan kata-kata yang menyentuh
hati. Terjemaahan Bahasa Indonesianya kira-kira begini:
Kita (Uni Sovyet) mendamba menciptakan masyarakat yang
setara supaya tidak ada lagi yang iri pada (kekayaan) tetangga. Padahal, itu
tidak mungkin. Akan selalu ada yang kaya dan miskin. Kaya memberi, miskin
menerima; kaya dalam cinta, miskin dalam cinta.
Saya tidak
tahu apakah kata-kata itu rekaan dan dramatisasi dari sutradara Holywood; atau
memang nyata pernah diucapkan. Yang pasti, setelah mengatakannya, Danilov
menjadikan dirinya sebagai umpan musuh dan mati tertembak. Dia mati bukan demi
komunisme melainkan mati karena tiadanya lagi harapan lantaran sang kekasih
telah pergi. Dia mati untuk apa yang paling sederhana dalam hidup: cinta!
Kita tentu
percaya bahwa cinta—pada apapun—adalah sesuatu yang bersifat sangat peribadi
dan tidak bisa didefinisikan dan ditentukan orang lain. Dengan kata lain cinta bersifat
otonom. Filsuf Imannuel Kant menyebut bahwa moral bersifat otonom; tapi kita
pernah mendengar “moral kata kiai”, “moral dibilang pendeta”, dan “moral
menurut pemerintah”; sehingga tidak lagi otonom sifatnya. Tapi kita pasti
percaya bahwa cinta itu mutlak berasal dari seorang individu. Karena cinta kita
bisa melawan orang tua, mengkhianati negara, ataupun mengingkari agama.
Yang ingin saya
katakan adalah sesuatu yang sifatnya paling azasi takkan pernah bisa ditentukan
oleh pihak yang paling berkuasa sekalipun. Yang dibutuhkan manusia adalah
kebebasan. Manusia tidak semata-mata butuh materi atau mendasari kecemburuannya
hanya pada materi. Dengan terjaminnya kebebasan, manusia dapat memilih sendiri
apa yang paling diinginkannya. Mengekang kebebasan akan menjerumuskan kekuasaan
tiran pada kejatuhannya.
Karena itu,
seandainya pun PKI berhasil berkuasa, akhirnya hnya akan mengikuti jejak partai
komunis lain—jatuh atau paling tidak menjadi kapitalis. Tanpa perlu mengaitkan
dengan kondisi sosio-religius masyarakat Indonesia, saya yakin dengan
sendirinya PKI akan jatuh digantikan oleh pemerintahan yang menjamin kebebasan
manusia.
Hal itu memang
tidak pernah terjadi. Tapi toh
sejarah berkata bahwa sesudah PKI dilarang, rezim Soehato mengalami apa yang
mungkin bakal terjadi pada PKI seandainya berkuasa. Pemerintahan Orba, kemudian
Aljazair, Mesir, Libya adalah serupa dengan kediktatoran model komunis.
Semuanya runtuh!
Namun, di luar
konteks politik, sesungguhnya kita akan terus menemukan manusia-manusia yang menginginkan
keadilan dan persamaan dalam materi. Sebagaimana seorang Ibu Aminah dalam reportase
Langkah Awal edisi sebelumnya yang
cemburu pada banyaknya orang kaya sementara dia hidup dalam kemiskinan. Dia
justru menghendaki agar sekiranya orang hidup melarat semua.
Seandainya Ibu
Aminah tahu bahwa keinginannya juga salah satu impian dari komunisme,
barangkali pandangannya pada partai itu akan berubah. Ini merupakan
kecenderungan manusia-manusia Indonesia kini yang mudah iri melihat orang lain
bergelimang harta sedangkan dirinya tidak.
Tapi dari
Danilov kita mendapati bahwa seandainya pun tiada lagi miskin dan kaya, pada
akhirnya materi bukanlah keinginan terdalam dari seorang manusia. Dan PKI tidak
perlu sampai berkuasa supaya kita dapat menyadarinya!
*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!