Oleh: Bung Aglaia Nusantara
Darah itu tercecer di hadapanku, darah seorang
bapak yang meninggalkan 2 orang istri dan 4 orang anak. Akulah Aglaia, anak ke
4 dari pria yang baru saja mati. Dari rahim ibu telah kupatri bahwa dia bukan hanya
seorang bapak, tapi lebih dari itu. Setengah dewa bagiku. Tidak untuk ke 3 abang
tiriku.
Pria tersebut seorang dosen sejarah. Banyak yang mencari
untuk mempekerjakannya. Bahkan tak sedikit yang membencinya karena
sejarah-sejarah alternatif yang dikumandangkannya. Bagi sebagian orang, bapak
bukanlah orang baik. Hanya seorang manusia yang terus mencari ketenaran dan
eksistensi dari cerita yang sesat.
Pemerintah negaraku termasuk bagian dari kelompok
yang membenci bapak. Entahlah…bapak dianggap merusak citra pemerintah yang
telah berpuluh tahun membangun perspektif sejarah—penyamarataan satu sudut
pandang.
Bapak pernah berkata; “Pemerintah dari negaramu ini adalah pembohong-pembohong besar. Tak
tahu malu semua mereka itu, anakku. Mereka mengaburkan masal lalu bangsa ini.”
Begitulah bapak mengumpat pemimpin-pemimpin itu. Negara yang memiliki sejarah
sangat besar dengan penduduknya yang berjibun.
Setelah kematian bapak yang diterjang oleh peluru.
Namun aku yakin peluru itu adalah peluru yang berasal dari angkatan bersenjata
negeri ini. Para pembaca! Aku adalah perempuan berumur 14 tahun yang melihat
sendiri peluru itu menembus dada lelaki kurus tak berdaya. Lima kali mereka
menembaknya. Aku menyaksikan, tak paham, kenapa malam itu aku sama sekali tidak
menumpahkan airmata. Hingga hari ini.
Cerita ini akan aku jadikan ’hikayat-hikayat’ yang
akan mengungkap semua kebenaran yang aku ketahui dalam fikiranku. Entah
dimanapun itu. Camkan wahai kaum yang berfikir, aku akan memasuki seluk-beluk
pola kebodohan dan kebohongan yang kalian ciptakan di otak dangkal kalian.
Sehingga pembenaran yang selalu kalian ucapkan di bawah bayang-bayang Tuhan
akan kubongkar.
“Atas nama manusia akan kubuktikan bahwa kebenaran
tak ada.” Dengan caraku akan aku tunjukkan kebenaran versi kaum-kaum munafik.
Dan pada Tuhan; bantulah hambamu ini untuk menjadi seorang manusia sesungguhnya.
Namun kalian janganlah salah sangka, hal ini
bukanlah salah satu cara membalasankan dendam atau pelarianku atas kematian
bapak. Aku sudah menghilangkan jejak bapakku. Aku telah berjanji bahwa bapakku
sekarang hanyanya rasi dari masa lalu. Karena sebelum kematian pria berumur 57 tahun
tersebut, dia menitipkan pesan singkat yang ditulisnya melalui darahnya bahwa: “Kini
kau bukan lagi anakku, terbebaslah engkau. Saat ini dengarkanlah hatimu.
Menulislah engkau, Aglaia…….”
Pesan singkat dengan wajah kaku-beku.
Kini umurku memasuki 22 tahun, aku kuliah di salah
satu kampus teknik negeri terbaik di Indonesia. Kampusku berada di Surabaya. “Kampus
para orang-orang bodoh yang tahu sedang dibodohi namun tetap saja percaya akan
kebodohan itu.”
Nanti pasti akan aku ceritakan kampusku itu, namun
pada hikayat pertamaku ini, aku akan menceritakan seperti apa aku setelah
kematian bapakku. Agar kalian mengenal aku dari tulisan ini. Agar kalian paham
bahwa aku adalah seorang wanita tulen bukan wanita congek dan pongah yang
berlagak alim yang selalu beranggapan bahwa hanya merekalah yang memiliki
Tuhan.
Setelah kematian bapak, ibu selalu termenung.
Akulah yang bekerja setelah pulang sekolah. Semakin hari ibu semakin
sakit-sakitan. Berselang 2 tahun ibu pun menyusul bapak, aku tetap tidak
mengeluarkan airmata sedikit pun. Dan kematian ibulah yang menegaskan bahwa Tuhan
sedang bercakap-cakap padaku dan menjelaskan kalau Dia sedang mendidikku. Dan
aku putuskan untuk memakai jilbab.
Bukan karena aku Islam yang taat tapi karena aku
harus bersembunyi dalam debu-debu masa lalu. Dan tentunya agar aku bisa lebih
memahami-Nya. Dan bisa lebih leluasa dalam menemukan kenyataan.
Sewaktu SMA aku telah berpindah sekolah 4 kali.
Bukan karena aku bodoh, tapi karena guru-guru yang tidak tahan kritikan dan
congkak. Nilaiku terus menguasai kelas. Tiga sekolahku adalah sekolah negeri favorit
di kotaku. Kotaku bukan kota kecil, wahai pembaca. Kotaku termasuk 3 kota terbesar
di negeri ini.
Yang membuat aku bingung ketika mengkritik guru
agama bahwa semua yang diajarkannya sama sekali text book. Bahkan tidak becus dalam bercerita tentang Perang Salib.
Dan yang sangat anehnya aku pernah bertanya. “Mana yang perlu dibela, kaum
miskin Indonesia atau rakyat Palestina yang sedang dibombardir?” Guru tua itu
lalu menangis dan keluar dari kelas.
Esoknya aku langsung mendapatkan surat pemecatan
dari sekolah. Tentunya aku tak terima, maka akupun mencari penjelasan dari kepala
sekolah. ”Kau harus dikeluarkan dari sekolah ini karena akan merusak pemahaman
siswa lainnya. Kau berbahaya!” Begitulah sekolah elit sekaligus gila ini
memberikan alasan.
Dalam penerimaan murid baru, sekolah-sekolahku
memiliki ciri khas untuk menjadi seorang murid; orang tua harus menjejalkan
uang berjuta-juta dan ada pula hingga membelikan sepeda motor untuk kepala
sekolah berkepala botak. Tak jarang kulihat langsung transaksi itu dengan mata
kepalaku. Tahukah kalian para pembaca, sifat ingin tahuku sangat besar terhadap
hal-hal yang aneh dan ganjil seperti ini.
Di awal sekolah, aku sangat tidak bisa percaya
bahwa guru matematikaku sangat bingung ketika aku bertanya tentang bentuk E8 dalam struktur teoritis 248 dimensi. Guru
muda lulusan Perancis itu malah menjawab tentang Translasi Pemetaan. Bahkan
ketika aku tanyakan bagaimana Alkhowarismi menjalani kehidupan sebagai seorang
ilmuwan matematika? Guru itu langsung memarahiku
dan berkata bahwa belum saatnya aku mengetahuinya.
Bagaimana mungkin seorang pengajar tidak bisa memuaskan
dahaga anak didiknya akan ilmu. Apa saja yang dia pelajari di luar negeri sana.
Aku mulai merasa dibodohi oleh guru-guru dari sekolah negeri itu. Mereka hanya
melihat buku, menerangkannya sedikit, lalu disuruh garap LKS dan pulang. Ketika
aku bertanya tentang sesuatu yang tak ada di dalam buku, malah mereka tak bisa
menjawab sama sekali bahkan memarahiku.
Aku yakin orientasi guru-guru tengik itu hanya titel sebagai penghias nama saja. Pasti dulu
sewaktu sekolah mereka hanya menyontek dan comot sana comot sini. Atau masuk
dan keluar dari sekolahnya hanya menggunakan uang.
Tahukah kalian pembaca, mungkin setelah
mendapatkan titel atau bekerja, mereka malas mencari ilmu lagi, malas membaca lalu
malu untuk bertanya karena takut dikucilkan oleh orang lain yang melihat bahwa
mereka adalah manusia ‘pintar’ yang bertitel. Aku simpulkan bahwa titel adalah
Tuhan mereka, tanpa titel mereka tidak akan bisa makan dan bernafas. Kasihan
sekali orang-orang seperti itu.
Semua yang aku lakukan tidak membuat teman-temanku
menjauhiku, bahkan temanku semakin banyak. Andai pada kelas satu SMA kalian
hanya mengenal satu angkatan maka aku telah mengenal semua siswa-siswi dari SMAku.
Dan yang sangat seru menurutku alasan yang dilontarkan saat aku dikeluarkan
dari SMA ketigaku. Dan akhirnya aku putuskan untuk memasuki sekolah swasta yang
mana kaum Tionghoa lebih dominan.
Alasannya; “Kau dikeluarkan karena merusak
ketentraman dan kedamaian sekolah ini.” Aku dianggap biang kerok kerusuhan itu.
Padahal yang aku lakukan hanya berdemo menuntut bahwa kepala sekolah dan jajarannya
banyak mengkorupsi; uang baju olah raga, baju batik, baju pramuka dan uang buku
yang tidak penting dengan memasang harga sangat mahal. Padahal semua orang
sudah tahu bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran dana sebesar 20
persen dari APBN untuk pendidikan. Apa itu belum cukup bagi orang-orang yang
telah putus uratnya?
Baiklah pembaca, cukup sekian dulu hikayatku. Akan
aku lanjutkan hikayat ini dikesempatan yang akan datang. Dan aku pastikan bahwa
jika dari pembaca merasa dan termasuk orang-orang yang aku ceritakan di atas, maka
cepatlah berubah. Hidup tidak berbicara tentang menunda kematian, kawan, Tapi
berbicara tentang memutuskan kematian.[yf]
Aglaia
Nusantara…Pagi Suci_13/8/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!