Sabtu, 26 November 2011

Melawan Lupa Tragedi Lumpur Lapindo (1); Pemilik Modal Pasti Menang


solarsedayu.wordpress.com
Oleh: Bung Rafli*
Bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa dan pemaaf.”
Idiom tersebut rasanya berlaku untuk kasus semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo (lumpur Lapindo) yang terjadi lima tahun yang lalu. Tragedi yang telah melenyapkan beberapa desa dan menghapus peradaban yang dibangun masyarakat puluhan tahun lamanya menyisakan kepahitan dan kegetiran di benak para korban. Kenangan, memori, sejarah, dan cerita yang ada seakan-akan hilang tak berbekas dan tak pernah terjadi.
Beberapa hal tersebut tidak pernah menjadi pertimbangan dalam menyelesaikan kasus lumpur Lapindo, baik oleh pemerintah maupun aparat hukum. Semua diukur dari bukti-bukti hukum yang ada, kerugian, kerusakan dan bagaimana cara mengatasi kerugian agar tidak terjadi gejolak dari para korban. Uang menjadi alat pembungkam akan hilangnya suatu peradaban.

Hingga kini permasalahan bagi korban semburan lumpur Lapindo tak kunjung usai. Persoalan tidak hanya terbatas pada ganti rugi dan jual beli tanah. Dampak sosial dan dampak lingkungan yang terjadi di sekitar semburan lumpur Lapindo kian waktu semakin mengkhawatirkan. Penelitian yang dilakukan oleh Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) tentang kesehatan masyarakat setempat membuktikan bahwa sebagian besar penduduk terserang penyakit Ispa dan terjadi pengerasan paru-paru. Prosentase penyakit ini pun semakin hari semakin bertambah.
Mayoritas masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani tidak dapat melakukan pekerjaannya lagi. Tanah sekitar semburan lumpur Lapindo tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam. Pada akhirnya, hal ini menyebabkan para orang tua sibuk memikirkan bagaimana bisa mencari uang untuk memenuhi nafkah keluarga. Sedang anak-anak yang polos dan tidak tahu menahu permasalahan ini harus menjadi korban tragedi lumpur Lapindo. Mereka harus berjuang dengan kebutuhan pendidikan setiap tahun, di samping keterpaksaannya untuk menghirup udara yang bercampur dengan gas yang keluar akibat semburan lumpur setiap hari.
Bagi korban lumpur Lapindo, negara sudah tidak memerankan fungsinya dengan optimal untuk melindungi hak-hak rakyat. Masa depan anak-anak korban Lapindo terancam, idiom baru pun keluar untuk kondisi masyarakat setempat, “rakyat tanpa negara”.
Kronologis
Pada tanggal 8 Maret 2006, PT Minarak Lapindo Brantas Inc mulai melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) untuk mengeksplorasi gas alam. Di hari ke-80 (27 Mei 2006), pengeboran sudah mencapai kedalaman 9297 kaki. Kemudian terjadi total loss circulation (hilangnya mata pemboran), Lapindo melalui kontraktor yang melaksanakan pemboran tersebut memutuskan untuk mencabut pipa bor. Pada saat pipa mencapai ketinggian 4241 kaki, terjadi well kick (kecelakaan pemboran) dan stuck (pipa terjepit) yang menyebabkan pipa tidak dapat bergerak maupun berputar/berotasi.
Pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi luapan semburan lumpur di lokasi yang berjarak 150 meter dari lokasi pemboran. Hingga 4 juni 2006 semburan lumpur tidak berhenti dan mulai menggenangi kawasan pemboran. Pada akhirnya kegiatan pemboran dihentikan sementara (temporary well abandonment) dan beberapa alat berat pemboran diamankan dari lokasi. Pada saat ditinggalkan semburan lumpur mencapai ketinggian 1-2 meter. Akhirnya, tanggal 18 Agustus 2006, Lapindo benar-benar menutup kegiatan pemboran (permanent well abandonment) setelah semburan lumpur tiada kunjung henti dan upaya penghentian semburan lumpur juga tidak berhasil.
Penyebab dari semburan lumpur panas ini masih menjadi teka-teki. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dari berbagai ahli yang secara global dapat dipisahkan menjadi dua kesimpulan. Kesimpulan pertama dari para ahli yang mengatakan bahwa semburan lumpur yang ada di Porong Sidoarjo akibat kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo. Sedang pendapat ahli lainnya menyimpulkan bahwa semburan lumpur ini adalah fenomena alam mud volcano yang terjadi akibat gempa Yogya pada tanggal 27 Mei 2006 (2 hari sebelum semburan lumpur muncul pertama kali).
Adanya perbedaan pendapat di kalangan para ahli ini akhirnya mempengaruhi putusan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Dalam putusan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kepada PT. Lapindo menyimpulkan adanya fakta kesalahan yang dilakukan oleh pihak Lapindo dalam melakukan pengeboran gas. Dalam pertimbangan hukumnya no. 384/Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst. menyatakan:
Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi luapan lumpur.
Akan tetapi putusan tersebut lantas tidak menghukum para tergugat akibat tindak kesalahannya. Para hakim beralasan bahwa tergugat sudah melakukan upaya optimal dalam menghentikan semburan lumpur dan memenuhi hak perlindungan dan kebutuhan para korban tragedi lumpur Lapindo.
Sedangkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan atas gugatan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) memberikan keputusan yang menyatakan bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo murni akibat fenomena alam yang diakibatkan gempa Yogya 2 hari sebelum luapan semburan lumpur di lokasi pengeboran. Dalam pertimbangannyan hakim PN Jakarta Selatan menyatakan:
Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula oleh alat bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.”
Nasib Korban
Pada tahun 2007, SBY mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah 4 desa yang hilang (Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo). Akan tetapi Lapindo malah ingkar janji dan membuat skema baru pelunasan hingga tahun 2012. Bahkan beberapa korban ditawari untuk membeli rumah yang dibangun oleh Lapindo, sehingga yang terjadi adalah jual beli tanah dan jual beli rumah antara korban dan Lapindo.
Kemudian, setiap tahun SBY merevisi keputusannya (Perpres) sebab desa terdampak setiap tahun selalu bertambah karena semburan lumpur yang terus-menerus. Akan tetapi Lapindo tidak dapat lagi dituntut untuk memenuhi ganti rugi. Karena secara hukum, Lapindo tidak divonis bersalah. Pada akhirnya negara yang mengambil alih tugas tersebut. Dengan menggunakan dana APBN, negara membayar ganti rugi tanah bagi desa yang terkena revisi peta terdampak.
Sedang Bakrie, sebagai pemilik Lapindo justru dinisbatkan sebagai pahlawan karena ‘ikhlas’ memberi ganti rugi yang telah menghabiskan beberapa trilliun rupiah bagi korban Lapindo, walau tidak dinyatakan bersalah. Dan rakyat Indonesia harus rela menjadi penanggung tragedi lumpur Lapindo, karena sejatinya uang rakyat lah yang dipakai melalui dana APBN untuk menanggulangi korban lumpur Lapindo. Hingga kini uang rakyat yang sudah terpakai sekitar 16 Triliun untuk menebus kesalahan para pemilik modal dan pengkesploitasi alam.
Frankie, dalam lirik lagunya berjudul Perahu Retak mengatakan, “Yang salah dipertahankan. Yang benar disingkirkan.” Ironis
Sumber: catatan Subagyo, Pekerja Hukum dan Sosial
*R. Arif Firdaus Lazuardi-Matematika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!