solarsedayu.wordpress.com |
Oleh: Bung Rafli*
“Bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa dan
pemaaf.”
Idiom tersebut rasanya berlaku untuk kasus
semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo (lumpur Lapindo) yang terjadi lima
tahun yang lalu. Tragedi yang telah melenyapkan beberapa desa dan menghapus
peradaban yang dibangun masyarakat puluhan tahun lamanya menyisakan kepahitan
dan kegetiran di benak para korban. Kenangan, memori, sejarah, dan cerita yang
ada seakan-akan hilang tak berbekas dan tak pernah terjadi.
Beberapa hal tersebut tidak pernah menjadi
pertimbangan dalam menyelesaikan kasus lumpur Lapindo, baik oleh pemerintah
maupun aparat hukum. Semua diukur dari bukti-bukti hukum yang ada, kerugian,
kerusakan dan bagaimana cara mengatasi kerugian agar tidak terjadi gejolak dari
para korban. Uang menjadi alat pembungkam akan hilangnya suatu peradaban.
Hingga kini permasalahan bagi korban semburan
lumpur Lapindo tak kunjung usai. Persoalan tidak hanya terbatas pada ganti rugi
dan jual beli tanah. Dampak sosial dan dampak lingkungan yang terjadi di
sekitar semburan lumpur Lapindo kian waktu semakin mengkhawatirkan. Penelitian
yang dilakukan oleh Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) tentang kesehatan
masyarakat setempat membuktikan bahwa sebagian besar penduduk terserang
penyakit Ispa dan terjadi pengerasan paru-paru. Prosentase penyakit ini pun
semakin hari semakin bertambah.
Mayoritas masyarakat yang bermatapencaharian
sebagai petani tidak dapat melakukan pekerjaannya lagi. Tanah sekitar semburan
lumpur Lapindo tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam. Pada akhirnya, hal
ini menyebabkan para orang tua sibuk memikirkan bagaimana bisa mencari uang
untuk memenuhi nafkah keluarga. Sedang anak-anak yang polos dan tidak tahu
menahu permasalahan ini harus menjadi korban tragedi lumpur Lapindo. Mereka
harus berjuang dengan kebutuhan pendidikan setiap tahun, di samping
keterpaksaannya untuk menghirup udara yang bercampur dengan gas yang keluar
akibat semburan lumpur setiap hari.
Bagi korban lumpur Lapindo, negara sudah tidak
memerankan fungsinya dengan optimal untuk melindungi hak-hak rakyat. Masa depan
anak-anak korban Lapindo terancam, idiom baru pun keluar untuk kondisi
masyarakat setempat, “rakyat tanpa negara”.
Kronologis
Pada tanggal 8 Maret 2006, PT Minarak Lapindo
Brantas Inc mulai melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) untuk
mengeksplorasi gas alam. Di hari ke-80 (27 Mei 2006), pengeboran sudah mencapai
kedalaman 9297 kaki. Kemudian terjadi total loss circulation (hilangnya
mata pemboran), Lapindo melalui kontraktor yang melaksanakan pemboran tersebut
memutuskan untuk mencabut pipa bor. Pada saat pipa mencapai ketinggian 4241
kaki, terjadi well kick (kecelakaan pemboran) dan stuck (pipa
terjepit) yang menyebabkan pipa tidak dapat bergerak maupun berputar/berotasi.
Pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi luapan
semburan lumpur di lokasi yang berjarak 150 meter dari lokasi pemboran. Hingga
4 juni 2006 semburan lumpur tidak berhenti dan mulai menggenangi kawasan
pemboran. Pada akhirnya kegiatan pemboran dihentikan sementara (temporary
well abandonment) dan beberapa alat berat pemboran diamankan dari lokasi.
Pada saat ditinggalkan semburan lumpur mencapai ketinggian 1-2 meter. Akhirnya,
tanggal 18 Agustus 2006, Lapindo benar-benar menutup kegiatan pemboran (permanent
well abandonment) setelah semburan lumpur tiada kunjung henti dan upaya
penghentian semburan lumpur juga tidak berhasil.
Penyebab dari semburan lumpur panas ini masih
menjadi teka-teki. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dari berbagai
ahli yang secara global dapat dipisahkan menjadi dua kesimpulan. Kesimpulan
pertama dari para ahli yang mengatakan bahwa semburan lumpur yang ada di Porong
Sidoarjo akibat kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo.
Sedang pendapat ahli lainnya menyimpulkan bahwa semburan lumpur ini adalah
fenomena alam mud volcano yang terjadi akibat gempa Yogya pada tanggal 27 Mei
2006 (2 hari sebelum semburan lumpur muncul pertama kali).
Adanya perbedaan pendapat di kalangan para ahli
ini akhirnya mempengaruhi putusan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus
lumpur Lapindo. Dalam putusan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas
gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kepada PT. Lapindo
menyimpulkan adanya fakta kesalahan yang dilakukan oleh pihak Lapindo dalam
melakukan pengeboran gas. Dalam pertimbangan hukumnya no. 384/Pdt.G/2006/
PN.Jkt.Pst. menyatakan:
“Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis
sependapat dengan Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran
yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang
cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi
luapan lumpur.”
Akan tetapi putusan tersebut lantas tidak
menghukum para tergugat akibat tindak kesalahannya. Para hakim beralasan bahwa
tergugat sudah melakukan upaya optimal dalam menghentikan semburan lumpur dan
memenuhi hak perlindungan dan kebutuhan para korban tragedi lumpur Lapindo.
Sedangkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta
Selatan atas gugatan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) memberikan keputusan
yang menyatakan bahwa kejadian semburan lumpur Lapindo murni akibat fenomena
alam yang diakibatkan gempa Yogya 2 hari sebelum luapan semburan lumpur di
lokasi pengeboran. Dalam pertimbangannyan hakim PN Jakarta Selatan menyatakan:
“Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut
oleh karena pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini
yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu
Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian
Hadi dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula
oleh alat bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat
pendapatnya sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka
Majelis Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar
Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.”
Nasib Korban
Pada tahun 2007, SBY mengeluarkan Perpres No.
14 Tahun 2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah 4 desa yang hilang
(Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo). Akan tetapi Lapindo malah
ingkar janji dan membuat skema baru pelunasan hingga tahun 2012. Bahkan
beberapa korban ditawari untuk membeli rumah yang dibangun oleh Lapindo,
sehingga yang terjadi adalah jual beli tanah dan jual beli rumah antara korban
dan Lapindo.
Kemudian, setiap tahun SBY merevisi
keputusannya (Perpres) sebab desa terdampak setiap tahun selalu bertambah
karena semburan lumpur yang terus-menerus. Akan tetapi Lapindo tidak dapat lagi
dituntut untuk memenuhi ganti rugi. Karena secara hukum, Lapindo tidak divonis
bersalah. Pada akhirnya negara yang mengambil alih tugas tersebut. Dengan
menggunakan dana APBN, negara membayar ganti rugi tanah bagi desa yang terkena
revisi peta terdampak.
Sedang Bakrie, sebagai pemilik Lapindo justru
dinisbatkan sebagai pahlawan karena ‘ikhlas’ memberi ganti rugi yang telah
menghabiskan beberapa trilliun rupiah bagi korban Lapindo, walau tidak
dinyatakan bersalah. Dan rakyat Indonesia harus rela menjadi penanggung tragedi
lumpur Lapindo, karena sejatinya uang rakyat lah yang dipakai melalui dana APBN
untuk menanggulangi korban lumpur Lapindo. Hingga kini uang rakyat yang sudah
terpakai sekitar 16 Triliun untuk menebus kesalahan para pemilik modal dan
pengkesploitasi alam.
Frankie, dalam lirik lagunya berjudul Perahu
Retak mengatakan, “Yang salah dipertahankan. Yang benar disingkirkan.”
Ironis
Sumber: catatan Subagyo, Pekerja Hukum dan
Sosial
*R. Arif Firdaus Lazuardi-Matematika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!