eta tahira adisti |
Oleh: Bung Rafli*
Salam Perjuangan….! Salam Solidaritas….!
Lebih dari lima tahun, kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo belum juga usai. Pemerintah dan Lapindo hanya berkutat di persoalan ganti rugi tanah dan pembayaran yang belum tuntas. Padahal, dampak sosial dan dampak lingkungan di daerah sekitar semburan lumpur semakin hari semakin mengkhawatirkan. Pemerintah mungkin tidak mau tahu dan tidak akan tahu permasalahan sosial yang terjadi. Sedang Lapindo bisa berbangga diri karena menisbatkan dirinya sebagai ‘dewa penyelamat’ yang memberikan ganti rugi tanah kepada korban lumpur, walau secara hukum Lapindo tidak divonis bersalah.
Mayoritas penduduk yang bermatapencaharian petani terpaksa mengelus dada ketika tanahnya tidak dapat lagi dipakai untuk bercocok tanam. Sebagian penduduk yang memiliki kemampuan dan daya kreativitas mampu mengatasi gejolak ekonomi keluarga yang dialami dengan bekerja sebagai buruh, kuli bangunan, kuli batu, dsb. Tapi sebagian yang lain harus pasrah menerima keadaan dengan kerja serabutan, hidup di jalanan, menjadi penunjuk jalan ‘tikus’, tukang parkir ‘wisata bencana’ ataupun sukarelawan pengentas kemacetan. Jelas, apapun problematikanya yang menjadi korban adalah masyarakat kecil terutama anak-anak, dari usia yang paling kecil hingga yang menjelang dewasa.
Karena hak mereka untuk meraih pendidikan terancam. Para orang tua harus berjuang mati-matian mencari nafkah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidak ada jaminan, bagaimana dapat menyekolahkan anaknya tanpa hambatan ‘ekonomi’. Dana BOS (Bantuan Operasional Pemerintah) tidak dapat menyelamatkan anak-anak korban lumpur Lapindo dari cekikan ‘uang’. Kebutuhan seragam, buku, uang iuran, peralatan sekolah dll tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi ditambahi dengan permasalahan kesehatan dan keselamatan hidup yang mengancam masa depan anak-anak korban Lapindo? Setiap hari mereka harus menghirup aroma lumpur panas, semburan gas yang bisa saja terjadi di tempat dan waktu yang tidak dapat diduga, tanggul yang sewaktu-waktu bisa roboh, dan ancaman lumpur yang meluber sebab tanggul tidak kuat lagi menampung semburan lumpur.
Bertepatan hari Pemuda lalu (28/10), Gerakan Solidaritas Anak Lumpur yang digagas bersama oleh UKM PLH Siklus ITS, UKM Teater Tiyang Alit ITS, KAM ITS, dan KomPaS ITS mengajak kepada seluruh mahasiswa ITS untuk bersama-sama memecahkan permasalahan yang terjadi di korban lumpur Lapindo. Gerakan ini adalah lanjutan dari gerakan teman-teman mahasiswa lain yang sudah melakukan kegiatan serupa, seperti di UNAIR dan UNIBRAW. Tentunya gerakan ini tidak hanya terbatas pada penggalangan dana saja, lebih daripada itu, harapannya adalah agar wacana tentang kasus Lapindo yang belum tuntas dapat diketahui bersama oleh seluruh mahasiswa. Yang kelak pada akhirnya muncul solidaritas bersama untuk memberikan solusi atas permasalahan yang ada.
Sejak 25-28 Oktober, GSAL melakukan penggalangan dana di sekitar kampus ITS. Mulai dari mengamen keliling jurusan, kerjasama pengumpulan donasi dengan HMJ, dan membuka posko solidaritas di kantin pusat ITS. Juga mengadakan pameran foto Korban Lumpur Lapindo di kantin pusat, teatrikal solidaritas, musik solidaritas, dan poster solidaritas yang dilakukan bersama oleh teman-teman mahasiswa.
Acara puncak pada tanggal 28 Oktober 2011 menghadirkan anak-anak korban lumpur dari sanggar ALFAS untuk menampilkan beberapa pertunjukan. Dari tarian, nyanyian, kolaborasi musik, dan pembacaan puisi yang mampu menggugah nurani kita seraya berkata, “kasus lapindo belum usai.” Pak Irsyad, salah satu warga menjelaskan bahwa yang dibutuhkan anak-anak hanyalah keceriaan, layaknya keceriaan seorang anak seusia mereka di belahan daerah lain. Ia menambahkan, “sebenarnya yang terjadi di korban lumpur tidak ada ganti rugi tanah atau pemberian kompensansi, yang ada hanyalah jual beli tanah lapindo/pemerintah dengan masyarakat.”
Gerakan solidaritas ini belumlah apa-apa. Masyarakat korban lumpu Lapindo membutuhkan solidaritas bersama dari masyarakat khususnya pemuda untuk memberikan sumbangsih di berbagai sektor. Masih banyak sebenarnya yang bisa dilakukan untuk masyarakat korban Lapindo. Semisal penelitian tentang apakah daerah sekitar semburan lumpur masih layak huni? Kesehatan masyarakat? Kondisi psikologi masyarakat? Dan masa depan masyarakat korban lumpur Lapindo?
Di sektor pendidikan dan sosial masyarakat, para mahasiswa bisa memberikan pembinaan akademik ke anak-anak, ketrampilan non-akademik (berteater, bermusik, menggambar), dan pemberdayaan masyarakat setempat agar mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Akan tetapi yang menjadi pertannyaan selanjutnya adalah, siapakah yang akan memulai langkah-langkah tersebut? Apakah gerakan solidaritas hanya sampai di sini saja? Apakah gerakan solidaritas hanya dilakukan oleh segelintir orang/kelompok saja? Apakah kita akan membiarkan kasus Lapindo ini usai seiring waktu?
NB: Hasil penggalangan dana di ITS yang dilakukan sejak 25-28 Oktober 2011 sejumlah Rp. 6.851.000. Untuk selanjutnya bagi teman-teman yang ingin menggalakkan kegiatan serupa atau menjadi donatur bulanan hubungi Norma: 085731388555 atau Arif: 083830666987.
Salam perjuangan: Gerakan Solidaritas Anak Lumpur.
Salam solidaritas: UKM PLH SIKLUS ITS (Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup SIKLUS ITS), UKM Teater Tiyang Alit ITS, KAM ITS (Komite Aksi Mahasiswa ITS), KomPaS ITS (Komunitas Pemuda Sepuluh Nopember)
*R. Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS
Sanggar Al-Faz.
BalasHapusBukan Sanggar ALFAS.
Salam Damai!!
:D