Oleh: Bung
Samdy*
Setelah
peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 gagal, Soeharto berhasil
membubarkan “musuh besarnya”, Partai Komunis Indonesia, pada 12 Maret 1966. Para
menteri Kabinet Dwikora yang dituduh terlibat G30S pun ditangkapi. Salah seorang
di antaranya adalah Subandrio, wakil perdana menteri yang merangkap menteri
luar negeri dan kepala badan intelijen.
Subandrio pun diadili
di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada Oktober 1966. Sebagai kuasa
hukum, ditunjuklah salah seorang pengacara yang cukup terkenal saat itu.
Namanya Yap Thiam Hien.
Yap lahir di
kota paling ujung Pulau Sumatra, Kutaraja (Banda Aceh), pada 25 Mei 1913. Sempat
menempuh pendidikan dasar ELS di kota kelahirannya, Yap melanjutkan studi di
MULO Batavia (Jakarta), AMS Yogyakarta, dan HCKS Jakarta. Tertarik pada hukum,
ia lalu memilih Sekolah Tinggi Hukum Jakarta. Yap melanglang buana ke luar
negeri, tepatnya negeri Belanda, guna meneruskan pendidikan di Universitas
Leiden. Di kampus almamater tokoh pergerakan seperti Ali Sastroamidjodjo, Maria
Ulfah, dan Sartono, itu, ia memperoleh gelar Sarjana Hukum (Meester in de
Rechten) tahun 1947.
Pada masa
bersama Tan Po Goan inilah ia membela Subandrio. Saat itu, Subandrio boleh
dikata persona non grata di kalangan
anti-PKI/anti-Soekarno. Ia sampai-sampai disindir dengan julukan Haji Peking
(Beijing). Yap pada dasarnya anti-PKI, namun mau menerima tanggung jawab
tersebut. Mahmilub sendiri tak lebih dari sekedar rekayasa Orba. Hal ini tampak
dengan vonis hukuman mati pada Subandrio meski tidak terbukti semua tuduhan
yang dikenakan padanya. Hukuman tersebut dikurangi menjadi kurungan seumur hidup;
hingga Soeharto, pada 1995, membebaskan salah satu menteri kesayangan Bung
Karno itu.
Yap adalah
salah pejuang hak asasi manusia. Ia prihatin pada orang-orang kecil yang
terkena masalah hukum. Tatkala Adnan Buyung Nasution dan PK Ojong mendirikan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta, ia mendukung sepenuh hati. Gubernur Jakarta
saat itu, Ali Sadikin, atau dikenal dengan sapaan “Bang Ali”, juga tidak
keberatan meskipun pada akhirnya Pemda DKI sering digugat LBH.
Sebagai
seorang Tionghoa, Yap tidak lepas dari diskriminasi dan diperlakukan tak adil.
Ia sempat dua kali ditahan. Pertama, pada tahun 1968, kasus memfitnah jaksa dan
polisi melakukan pemerasan. Karena tak terbukti, Mahkamah Agung membebaskannya
dari segala tuduhan. Kedua, pasca-Malari tahun 1974. Ia menginap di hotel Prodeo
selama setahun dan menolak menerima konsesi yang dapat membebaskannya.
Reputasi dan
perjuangan Yap didengar juga oleh bangsa luar. Vrije Universiteit Amsterdam
memberi gelar “doktor kehormatan” pada tahun Oktober 1980. Sembilan tahun
kemudian, tepatnya 24 April 1989, di negeri Belgia, Yap menghembuskan nafas
terakhir. Namanya terus hidup hingga kini karena diabadikan dalam Yap Thiam
Hien Award—sebuah penghargaan bagi mereka yang terus berjuang bagi tegaknya hak
asasi manusia di bumi Indonesia. Nama Tionghoanya itu dibawa mati hingga ke
liang lahat. Kepada salah seorang aktivis ’66, Albert Hasibuan, Yap pernah
mengatakan alasan tidak mengganti nama sebagaimana keturunan Tionghoa lainnya. “Kegairahan
mengganti nama disebabkan oportunisme kepentingan untuk keselamatan diri
sendiri,” ujarnya.
Sudah
sepatutnya, negeri ini tidak melihat orang berdasar keturunannya. Karena Yap
telah membuktikan, ia bisa memberikan segalanya untuk Tanah Air tanpa harus
menghilangkan identitas etnisnya sendiri.
Sumber: Sam
Setyautama, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di
Indonesia (2008)/Albert Hasibuan, Memoar
(2010).
*Samdysara
Saragih-Mahasiswa T Fisika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!