wikipedia.org |
Oleh: Bung Ucup*
Garuda pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban
untukmu/Pancasila dasar Negara…
Sepintas ketika kita membaca
beberapa kata di atas, kita merasa menyanyikan sebuah lagu yang tidak asing di
kehidupan kita. Benar sekali, karena kata-kata itu merupakan penggalan kata lima
baris pertama dari lagu wajib nasional Garuda Pancasila atau ada yang menyebut
lagu Mars Pancasila. Saat melantunkan kata pertama, Garuda Pancasila, angan
kita secara tidak langsung membayangkan sebuah burung garuda yang berkalung
perisai yang merangkum lima sila (Pancasila) dan kakinya mencengkeram pita
bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika”—simbol sakral yang menjadi lambang negara
kita. Kita semua pasti tahu apa saja yang ada dalam pancasila, bagaimana menggambarkan
lambang negara kita. Garuda Pancasila. Akan tetapi, apa kita tahu siapa
sebenarnya perancang lambang negara kita—Garuda Pancasila?
Saat Jepang mengalahkan Belanda
dan sekutunya pada tanggal 10 Maret 1942, dia tertawan oleh tentara Jepang dan
dibebaskan kembali pada saat Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 14
Agustus 1945 dan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi seorang Kolonel pada
waktu itu. Ketika ayahnya tewas akibat agresi Jepang, pada tanggal 29 Oktober
1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar
Sultan Hamid II dan pada saat itu dia menjadi sultan Pontianak yang ke 8.
Dalam perjuangannya, Sultan Hamid
II memperoleh jabatan penting sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa Kalimantan
Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu ikut dalam perundingan—perundingan
Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC, dan KMB di Indonesia maupun di Belanda.
Kemudian dia juga memperoleh jabatan Ajudant
in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah
pangkat tertinggi sebagai asisten kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia
pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran yaitu Mayor
Jenderal (Mayjend). Pada tanggal 21-22 Desember 1949 beberapa hari setelah
diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah
melakukan makar di tanah air menawarkan “over
commando” kepadanya, namun dia menolaknya secara tegas karena tahu Westerling
merupakan gembong APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Selanjutnya dia berangkat
ke negeri kincir angin, dan pada tanggal 2 Januari 1950, sepulangnya dari Belanda,
dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalimantan Barat, karena tidak
mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger),
tentara kerajaan Hindia-Belanda. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi
peristiwa yang menggegerkan, Westerling menyerbu Bandung pada tanggal 23 Januari
1950. Sultan Hamid II tidak setuju denngan anak buahnya tersebut dan Westerling
sempat ditegur dan kena marah.
Pada saat Republik Indonesia
Serikat (RIS) dibentuk, sebagai seorang Menteri Negara, Sultan Hamid II ditugaskan
oleh Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang dan merumuskan gambar
lambang negara. Dari transkip rekaman dialog antara Sultan Hamid II dengan Masagung
(1974) pada saat penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara,
disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul pada saat Sultan Hamid II sedang
merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa
hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara
Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara—Pancasila divisualisasikan dalam
lambang negara.
Pada tanggal 10 Januari 1950,
dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator
Sultan Hamid II. Panitia ini bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang
negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Setelah proses seleksi
selesai, terpilih dua rancangan lambang negara terbaik yaitu karya Sultan Hamid
II dan Muhammad Yamin. Pada proses selanjutya yang diterima oleh pemerintah dan
DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya Muhammad Yamin tidak diterima
karena menyertakan sinar-sinar matahari dan terkesan menampakkan pengaruh
Jepang. Setelah rancangan lambang negara Sultan Hamid II disempurnakan,
akhirnya burung garuda diresmikan oleh Presiden Soekarno menjadi lambang negara
pada tanggal 11 Februari 1950.
Di dalam diri Sultan Hamid II mengalir
darah Indonesia-Arab, ia beristrikan seorang perempuan Belanda yang
memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di negeri Belanda. Sultan Hamid II
wafat pada tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman
keluarga kesultanan Pontianak di Batulayang. Sultan Hamid II merupakan sosok yang patut dijadikan contoh
oleh generasi penerus bangsa dari perjuangannya dalam berkarya untuk negeri sendiri.
Sumber : istanakadriah.blogspot.com, id.wikipedia.org
*Nurul Mausuf-Matematika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!