Rabu, 26 Oktober 2011

Syarif Abdul Hamid Alkadrie: Perancang Lambang Negara


wikipedia.org
Oleh: Bung Ucup*
Garuda pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban untukmu/Pancasila dasar Negara…
Sepintas ketika kita membaca beberapa kata di atas, kita merasa menyanyikan sebuah lagu yang tidak asing di kehidupan kita. Benar sekali, karena kata-kata itu merupakan penggalan kata lima baris pertama dari lagu wajib nasional Garuda Pancasila atau ada yang menyebut lagu Mars Pancasila. Saat melantunkan kata pertama, Garuda Pancasila, angan kita secara tidak langsung membayangkan sebuah burung garuda yang berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila) dan kakinya mencengkeram pita bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika”—simbol sakral yang menjadi lambang negara kita. Kita semua pasti tahu apa saja yang ada dalam pancasila, bagaimana menggambarkan lambang negara kita. Garuda Pancasila. Akan tetapi, apa kita tahu siapa sebenarnya perancang lambang negara kita—Garuda Pancasila?
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, dialah sosok yang merancang lambang negara berwujud burung garuda. Lahir di Pontianak, 12 Juli 1913 merupakan putra sulung dari seorang sultan Pontianak yang bernama Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Beliau menempuh ELS (Europeesche Lagere School) yang merupakan pendidikan pertamanya di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta dan Bandung. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke HBS (Hoogere Burger School) di Bandung selama satu tahun. Lalu dilanjutkan ke THS (Technische Hooge School), Bandung. Meskipun tidak sampai tamat belajar. Dan pendidikan terakhirnya ke KMA di Breda, Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat Letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda .
Saat Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya pada tanggal 10 Maret 1942, dia tertawan oleh tentara Jepang dan dibebaskan kembali pada saat Jepang menyerah kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 dan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi seorang Kolonel pada waktu itu. Ketika ayahnya tewas akibat agresi Jepang, pada tanggal 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II dan pada saat itu dia menjadi sultan Pontianak yang ke 8.
Dalam perjuangannya, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu ikut dalam perundingan—perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC, dan KMB di Indonesia maupun di Belanda. Kemudian dia juga memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran yaitu Mayor Jenderal (Mayjend). Pada tanggal 21-22 Desember 1949 beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di tanah air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolaknya secara tegas karena tahu Westerling merupakan gembong APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Selanjutnya dia berangkat ke negeri kincir angin, dan pada tanggal 2 Januari 1950, sepulangnya dari Belanda, dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalimantan Barat, karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger), tentara kerajaan Hindia-Belanda. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan, Westerling menyerbu Bandung pada tanggal 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju denngan anak buahnya tersebut dan Westerling sempat ditegur dan kena marah.
Pada saat Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk, sebagai seorang Menteri Negara, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Soekarno untuk merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkip rekaman dialog antara Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) pada saat penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul pada saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara—Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Pada tanggal 10 Januari 1950, dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Panitia ini bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Setelah proses seleksi selesai, terpilih dua rancangan lambang negara terbaik yaitu karya Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Pada proses selanjutya yang diterima oleh pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya Muhammad Yamin tidak diterima karena menyertakan sinar-sinar matahari dan terkesan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan lambang negara Sultan Hamid II disempurnakan, akhirnya burung garuda diresmikan oleh Presiden Soekarno menjadi lambang negara pada tanggal 11 Februari 1950.
Di dalam diri Sultan Hamid II mengalir darah Indonesia-Arab, ia beristrikan seorang perempuan Belanda yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di negeri Belanda. Sultan Hamid II wafat pada tanggal 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman keluarga kesultanan Pontianak di Batulayang. Sultan Hamid II  merupakan sosok yang patut dijadikan contoh oleh generasi penerus bangsa dari perjuangannya dalam berkarya untuk negeri sendiri.
Sumber : istanakadriah.blogspot.com, id.wikipedia.org
*Nurul Mausuf-Matematika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!