Rabu, 26 Oktober 2011

Asmaradana


liaymutia.blogspot.com
Oleh: Bung Donny*
“Daun dan pohon. Sang daun menjadi citra keindahan dan kerindangan bagi sang pohon. Nafas kehidupan sang pohon juga tak lepas dari sang daun. Nutrisi kehidupan juga sang daun penuhi demi sang pohon. Begitu murni dan tulus. Sampai kemarau datang. Gugurkan dirimu! pinta sang pohon. Setelah banyak hal telah dilakukan sang daun, tak sedikit pun ada ungkapan terima kasih, malah sang pohon menghendaki sang daun pergi dan mati. Tak ada cela, tak ada cercaan hina. Sang daun menggugurkan dirinya. Setelah berkawan tanah pun, sang daun tak diam meratapi nasib. Tahu kau apa yang dilakukan sang daun? Sang daun menghancurkan dirinya, berkalang tanah, demi kesuburan sang pohon.”
Kereta kalimat itu keluar begitu saja. Duduk di bawah pohon dalam terik siang kemarau. Menyaksikan suatu episode kehidupan. Menjadi saksi gugurnya sebuah daun kering. Kering yang sejenak menampakkan citra kesedihan. Sungguh aku sangat menikmati setiap kata yang keluar barusan. Seolah kalimat itu memiliki nyawanya sendiri.
“Pengorbanan, sampai kapan Iwan? Tak ingin kau meneguk air kebahagiaan? Kau selalu menanggungkan derita, kau siksa hatimu. Kau pun tahu kita tidak hidup dua kali di dunia ini, Wan.”
Kim, teman yang selalu memberikan masukan-masukan dan pandangannya. Walaupun sebenarnya aku sendiri tak pernah memintanya. Tidak masalah, dia orang baik.
“Pengorbanan, hmmm, aku lebih menganggapnya ketulusan Kim. Kebesaran hati. Pengorbanan menjadikan kita membuat suatu hitung-hitungan. Tapi tidak dengan ketulusan. Dan bahagia, setiap orang punya ukuran masing-masing tentang kebahagiaan. Kau tidak bisa memaksakan ukuranmu untuk orang lain Kim. Kau melihat hatiku tersiksa, padahal hatiku menggeliat tertawa. Tidak ada yang pernah tahu Kim.”
“Terserah kau lah, Wan. Aku rasa aku memang tidak pernah bisa mengerti jalan pikiranmu. It’s your life, you decide your own choice.”
“Hahaha, ya, kau benar Kim, tapi selama pilihanku itu tidak merugikan orang lain. Bagiku tidak masalah jika kelak pilihanku hanya merugikan diriku.”
Tiba-tiba aku teringat tiga tahun lalu saat pertama kali aku bertemu dengan Kim. Ditatap muka pertama pun kami tak pernah lepas dari perbedaan-pebedaan pandangan. Tak jarang menjadi adu mulut yang membakar sanubari. Tapi itu tak pernah menjadikan kami musuh. Entah mengapa pertentangaan dan perbedaan-perbedaan itu justru menjadikan kami erat. Setidaknya ada teman untuk menyangkal pikiran-pikiranku, sehingga dunia akan tampak lebih luas bagiku.
“Tapi kau terlalu sering mengalah, Wan. Kau harus tahu, kau tidak bisa menyenangkan setiap hati orang di dunia ini.”
Aku menghela nafas dalam. Tidak bisa menyenangkan setiap hati orang di dunia. Memang suatu hal yang mustahil. Terkadang pemikiran Kim memang lebih benar. Akhirnya aku pun hanya diam menatap jauh ke langit tak berawan. Sampai suatu hal mengingatkanku.
“Kim, kau tahu Asmaradana?”
“Tidak, hmm, aku merasa kau akan menjelaskan hal yang tidak penting.”
“Itu salah satu tembang Jawa Kim. Tembang-tembang itu bercerita tentang perjalanan hidup manusia dari masih di kandungan sampai dia mati, Kim.”
“Kau selalu bertele-tele.”
“Asmaradana sendiri menceritakan bagian dimana manusia tertarik dengan lawan jenisnya Kim. Cinta.”
“Jadi semua tentang itu, Wan. Kau jatuh cinta. Siapa dia?”
“Kau memang yang paling mengertiku, Kim. Tapi hatiku sudah lelah mencintai.”
“Begitu saja kemampuanmu? Lemah. Hanya ranting tua yang patah, ranting muda takkan patah walau badai unjuk murka. Siapa dia?”
“Sekeras-kerasnya batu, kalau air tak henti menyakiti, batu itu pun lapuk Kim.”
“Seburuk-buruk hati adalah hati seperti batu, keras, tapi mudah lapuk. Siapa dia?”
“Bukan…”
“Wan!”
Temperamen, emosianal, tidak sabaran. Ya, Kim punya semuanya. Aku pikir bukan waktu yang tepat untuk mendebatnya sekarang. Tapi aku masih ragu. Hati dan pikiran masih bertempur. Ya atau tidak. Sepintas kulihat Kim. Sepertinya darah mengumpul di seluruh permukaan kulit mukanya, merah. Matanya membulat sempurna. Bulat yang tidak indah, bulat yang menahan amarah. Dan,
“Anggrek Senja.”
“Kau serius Wan?”
Cepat sekali rona wajah itu berubah. Amarah Kim menguap tak bersisa. Relung hatinya terisi emosi lain, entah penasaran atau heran. Tanyanya berbalas anggukan. Tidak kurang, tidak lebih.
“Kali ini kau akan berkenalan dengan kerja keras, Wan. Kau bukan satu-satunya orang yang telah dia curi hatinya. Kau harus bertindak cepat untuk mendapatkannya. Jika tidak orang lain yang akan memetik Anggrek Senja itu.”
“Bukan seperti itu Kim. Aku mencoba memaknai lebih dari itu. Ini bukanlah suatu perlombaan dengan Anggrek Senja sebagai hadiahnya. Dia wanita, dia manusia, bukan piala untuk diperebutkan. Jika aku atau orang lain tertantang untuk berlomba mendapatkannya, bisa! Kupastikan Anggrek Senja hanyalah piala untuk dimenangkan, dan itu tidak memanusiakannya, Kim. Niat pun telah berubah, hanya ingin menunjukkan kehebatan, kepiawaian, dan kesuperioran. Tak ada cinta.”
Lama kutunggu Kim tuk mendebatku. Suasana sehening malam. Bahkan tak perlu menguping tuk mendengar canda angin. Lama kutunggu. Tak ada sebutir kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Kim diam. Rupanya kali ini dia setuju denganku. Suatu perkara langka.
“Hidup ini rumit, Kim.”
“Dan kau membuatnya semakn rumit, Wan. Kau bilang telah lelah mencintai. Tapi kau malah mencintai sang Anggrek Senja. Menyiksa, Wan.”
“Aku memang telah lelah mencintai, tapi tak kan kubiarkan hatiku kosong.”
Kim tersenyum. Entah senyum senang atau menghinakan. Aku pun tersenyum. Geli mendengar kata-kataku sendiri.
“Lantas apa rencanamu Wan?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab. Dan aku, hanya tersenyum, menghina kepayahan.
*Donny Mitra V-Matematika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!