liaymutia.blogspot.com |
Oleh: Bung Donny*
“Daun dan pohon. Sang daun menjadi citra keindahan
dan kerindangan bagi sang pohon. Nafas kehidupan sang pohon juga tak lepas dari
sang daun. Nutrisi kehidupan juga sang daun penuhi demi sang pohon. Begitu
murni dan tulus. Sampai kemarau datang. Gugurkan dirimu! pinta sang pohon.
Setelah banyak hal telah dilakukan sang daun, tak sedikit pun ada ungkapan
terima kasih, malah sang pohon menghendaki sang daun pergi dan mati. Tak ada
cela, tak ada cercaan hina. Sang daun menggugurkan dirinya. Setelah berkawan
tanah pun, sang daun tak diam meratapi nasib. Tahu kau apa yang dilakukan sang
daun? Sang daun menghancurkan dirinya, berkalang tanah, demi kesuburan sang
pohon.”
“Pengorbanan, sampai kapan Iwan? Tak ingin kau
meneguk air kebahagiaan? Kau selalu menanggungkan derita, kau siksa hatimu. Kau
pun tahu kita tidak hidup dua kali di dunia ini, Wan.”
Kim, teman yang selalu memberikan masukan-masukan
dan pandangannya. Walaupun sebenarnya aku sendiri tak pernah memintanya. Tidak
masalah, dia orang baik.
“Pengorbanan, hmmm, aku lebih menganggapnya
ketulusan Kim. Kebesaran hati. Pengorbanan menjadikan kita membuat suatu
hitung-hitungan. Tapi tidak dengan ketulusan. Dan bahagia, setiap orang punya
ukuran masing-masing tentang kebahagiaan. Kau tidak bisa memaksakan ukuranmu
untuk orang lain Kim. Kau melihat hatiku tersiksa, padahal hatiku menggeliat
tertawa. Tidak ada yang pernah tahu Kim.”
“Terserah kau lah, Wan. Aku rasa aku memang tidak pernah
bisa mengerti jalan pikiranmu. It’s your
life, you decide your own choice.”
“Hahaha, ya, kau benar Kim, tapi selama pilihanku
itu tidak merugikan orang lain. Bagiku tidak masalah jika kelak pilihanku hanya
merugikan diriku.”
Tiba-tiba aku teringat tiga tahun lalu saat
pertama kali aku bertemu dengan Kim. Ditatap muka pertama pun kami tak pernah
lepas dari perbedaan-pebedaan pandangan. Tak jarang menjadi adu mulut yang
membakar sanubari. Tapi itu tak pernah menjadikan kami musuh. Entah mengapa
pertentangaan dan perbedaan-perbedaan itu justru menjadikan kami erat.
Setidaknya ada teman untuk menyangkal pikiran-pikiranku, sehingga dunia akan
tampak lebih luas bagiku.
“Tapi kau terlalu sering mengalah, Wan. Kau harus
tahu, kau tidak bisa menyenangkan setiap hati orang di dunia ini.”
Aku menghela nafas dalam. Tidak bisa menyenangkan
setiap hati orang di dunia. Memang suatu hal yang mustahil. Terkadang pemikiran
Kim memang lebih benar. Akhirnya aku pun hanya diam menatap jauh ke langit tak
berawan. Sampai suatu hal mengingatkanku.
“Kim, kau tahu Asmaradana?”
“Tidak, hmm, aku merasa kau akan menjelaskan hal
yang tidak penting.”
“Itu salah satu tembang Jawa Kim. Tembang-tembang
itu bercerita tentang perjalanan hidup manusia dari masih di kandungan sampai
dia mati, Kim.”
“Kau selalu bertele-tele.”
“Asmaradana sendiri menceritakan bagian dimana
manusia tertarik dengan lawan jenisnya Kim. Cinta.”
“Jadi semua tentang itu, Wan. Kau jatuh cinta.
Siapa dia?”
“Kau memang yang paling mengertiku, Kim. Tapi
hatiku sudah lelah mencintai.”
“Begitu saja kemampuanmu? Lemah. Hanya ranting tua
yang patah, ranting muda takkan patah walau badai unjuk murka. Siapa dia?”
“Sekeras-kerasnya batu, kalau air tak henti
menyakiti, batu itu pun lapuk Kim.”
“Seburuk-buruk hati adalah hati seperti batu,
keras, tapi mudah lapuk. Siapa dia?”
“Bukan…”
“Wan!”
Temperamen, emosianal, tidak sabaran. Ya, Kim
punya semuanya. Aku pikir bukan waktu yang tepat untuk mendebatnya sekarang.
Tapi aku masih ragu. Hati dan pikiran masih bertempur. Ya atau tidak. Sepintas
kulihat Kim. Sepertinya darah mengumpul di seluruh permukaan kulit mukanya,
merah. Matanya membulat sempurna. Bulat yang tidak indah, bulat yang menahan
amarah. Dan,
“Anggrek Senja.”
“Kau serius Wan?”
Cepat sekali rona wajah itu berubah. Amarah Kim
menguap tak bersisa. Relung hatinya terisi emosi lain, entah penasaran atau
heran. Tanyanya berbalas anggukan. Tidak kurang, tidak lebih.
“Kali ini kau akan berkenalan dengan kerja keras,
Wan. Kau bukan satu-satunya orang yang telah dia curi hatinya. Kau harus
bertindak cepat untuk mendapatkannya. Jika tidak orang lain yang akan memetik
Anggrek Senja itu.”
“Bukan seperti itu Kim. Aku mencoba memaknai lebih
dari itu. Ini bukanlah suatu perlombaan dengan Anggrek Senja sebagai hadiahnya.
Dia wanita, dia manusia, bukan piala untuk diperebutkan. Jika aku atau orang
lain tertantang untuk berlomba mendapatkannya, bisa! Kupastikan Anggrek Senja
hanyalah piala untuk dimenangkan, dan itu tidak memanusiakannya, Kim. Niat pun
telah berubah, hanya ingin menunjukkan kehebatan, kepiawaian, dan kesuperioran.
Tak ada cinta.”
Lama kutunggu Kim tuk mendebatku. Suasana sehening
malam. Bahkan tak perlu menguping tuk mendengar canda angin. Lama kutunggu. Tak
ada sebutir kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Kim diam. Rupanya kali
ini dia setuju denganku. Suatu perkara langka.
“Hidup ini rumit, Kim.”
“Dan kau membuatnya semakn rumit, Wan. Kau bilang
telah lelah mencintai. Tapi kau malah mencintai sang Anggrek Senja. Menyiksa, Wan.”
“Aku memang telah lelah mencintai, tapi tak kan
kubiarkan hatiku kosong.”
Kim tersenyum. Entah senyum senang atau
menghinakan. Aku pun tersenyum. Geli mendengar kata-kataku sendiri.
“Lantas apa rencanamu Wan?”
Pertanyaan yang tak pernah terjawab. Dan aku,
hanya tersenyum, menghina kepayahan.
*Donny Mitra
V-Matematika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!