Rabu, 26 Oktober 2011

Kebenaran-Jalanan Bagian III; Mengeja(r) Tangis-Tawa Bocah Di Yogya


kfk.kompas.com
Oleh: Bung Yaumil*
Fajar masih enggan meninggalkan pagi, disudut kiblat timur, Surabaya, masih ditemani dingin. Gedung-gedung tetap terpaku diam sejak 51 tahun yang lalu. Waktu menunjukkan pukul 05.00, setelah bersiap dan shalat, pandangan mengalih ke seorang bocah yang akan berangkat ke sekolah. Pagi sekali! bisik batinku.
Teringat sebuah fenomena yang mengerikan tadi malam saat mencoba mencari kabar asia tengah di e-akhbar.co.id. Sebuah iklan mobil, Subaru, mempromosikan aksi tabrak lari terhadap dua bocah. Iklan komersial tersebut menampilkan adegan foto ketika direktur yayasan Al ‘Ad, David Bari, menabrak dengan mobilnya dua bocah berumur 10 tahun, Imran Manshur dan Iyyad Ghaits di kawasan pemukiman Silwan, Yerusalem Timur. Luka dan patah kaki dialami kedua bocah tersebut. Na’as.
“Mari! Mulai Perjalanan.”
Seorang teman mengantarkanku ke Gubeng—stasiun kereta api yang telah berumur 60 tahunan dan Pasundan-lah yang menemaniku ke kota gudeg. Dengan Rp 24 ribu. Hari spesial dikelas ekonomi yang terkenal sebagai transportasi rakyat itu. Tiga gerbong “dijajah” oleh tentara. Rakyat berekonomi rendah sumpek sempit didalam 6 gerbong sisa.
Tidak hanya itu, bocah-bocah terjepit tak bisa bernafas, bahkan ada yang pingsan. Rengekan balita kepanasan sahut-menyahut dan yang berdiri tak menyisakan ruang sedikit pun buat pedagang berjalan. Nikmatilah, kataku.
Ternyata kata “nikmatilah” benar-benar terjadi. Aku bertemu dengan dua bocah. Aldy (14) dan Faris (12) dari Surabaya—Brief Encounter kata Rosihan Anwar. Aldy menuju Yogya untuk menghabiskan masa libur bersama ibu dan kakeknya. Sedangkan Faris menuju Bandung untuk bertemu orang tuanya—Faris melakukan perjalanan seorang diri. Luar Biasa!
Perbincangan tidak hanya di sekitar perkenalan namun tentang latar belakang kehidupan. Aldy lebih banyak menjawab sekenanya. Matanya menyimpan kepedihan, aku penasaran untuk terus menyelaminya. Namun ibunyalah yang menjawab kegelisahanku. Ternyata Aldy tidak naik kelas hanya gara-gara kasus melawan gurunya yang tidak bisa membedakan ejaan “SOEKARNO” atau “SUKARNO”.
Berbeda dengan cerita Faris, bocah Bandung ini tidak pernah lepas dari juara kelas. Namun memiki masalah keuangan yang akut. Permasalah lawas yang tak pernah bisa diselesaikan wakil rakyat “konyol” dari bangsa ini.
Perjalanan Surabaya-Yogya kulewati dengan berdiri di kereta ekonomi. Begitupun Faris dan Aldy. Bukan hanya aku, masih banyak lagi. Namun sebuah pertanyaan hadir lagi dikepalaku. Apa rakyat kecil layak mendapatkan perlakuan tak adil hanya gara-gara tidak memiliki uang? Apa tak ada jalan keluar dari pemerintah untuk menciptakan kondisi transportasi yang nyaman dan murah bagi seluruh rakyat tanpa harus membeda-bedakannya. Seperti Kazakhstan misalkan?
Yogya; dengan bocah-bocahnya
Sesampai di Yogya, aku dijemput oleh teman lama, Lely, yang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Gajah Mada. Lely banyak bercerita tentang kehebatan UGM dan secara otomatis membandingkan dengan ITS—kampusku.
“UGM dosennya tidak matre dan gila duit seperti ITS,” kata Lely. Proyek tidak dijadikan alasan untuk penelitian keilmuan dan pengabdian masyarakat. Bahkan laboratorium tidak dijadikan ladang buat memperkaya diri. Dosen-dosen UGM memiliki kesepakatan bahwa ilmu harus dibagikan dengan cara menuliskan jurnal. “Jadi dosen yang tidak pernah menuliskan jurnal belum dianggap dosen di UGM.”
Dosen-dosen UGM berlomba-lomba membuat jurnal sebanyak-banyaknya dan yang lebih asik lagi jurnal tersebut tersedia disitus-situs UGM tanpa harus membelinya—refrensi yang cukup banyak bagi mahasiswanya untuk lebih mendalami keilmuan. Semoga saja orang-orang seperti Dr. Hadi Sabari Yunus, MA. DRS dan Sutikno, Prof., Dr., ada di ITS.
Kisah aku mulai lagi di sebuah kawasan bernama Desa Kauman, sebuah desa yang bagiku sangat luar biasa hebatnya—dari sejarah hingga bentuk fisik tentunya. Bahkan kultur Muhammadiyah masih terasa kental dan simbol-simbol terlihat jelas setiap sudut mata memandang seperti lampu lentera dengan tulisan “Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku”. Masjid dan musholla Kauman pun tidak tertinggal buat aku nikmati dan kembali menostalgiakan perjuangan KH Ahmad Dahlan.
Sebuah fenomena yang membuatku “mati gaya”: murid SD Muhammadiyah 4 Yogyakarta sedang melakukan diskusi kecil-kecilan. Bocah-bocah kelas 5 SD tersebut terbagi atas 4 kelompok. Mereka sedang mendiskusikan tentang sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa. Buku yang tak tanggung. Acuannya adalah Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-Amongraga. Yang lebih membuatku kagum adalah guru mereka tidak mengharuskan memilih tema tersebut namun tema dipilih oleh kelompok masing-masing.
Bahkan kelompok lainnya membahas tentang Sejarah Jalur Sutra dengan refrensi Jalur Sutra dari Frances Wood dan sejarah terbentuknya Bahasa Indonesia dengan refrensi Culturele Aspecten in de Verhouding Nederland – IndonesiĆ« oleh D. de Vries yang telah diterjemahkan. Menakjubkan!
Kali ini aku mendapatkan gambaran berbeda di daerah Kali Code. Slum area atau kawasan kumuh di bantaran Kali Code. Mungkin sama mirisnya dengan keadaan di kereta api, sekitar sepuluh bocah sedang mencoba mengais rezeki dari Kali Code. Bukan mengais ilmu di sekolah. Mereka mencoba merebut barang-barang yang hanyut untuk dijual, ada juga yang menggali pasir untuk dijual sebagai dasar bahan bangunan.
Bukan hanya itu, ternyata Arman dan teman-temannya tidak sekolah. Mereka dididik oleh Sekolah Rakyat yang di bentuk oleh LSM-LSM Yogya. Namun sangat aneh ketika aku juga mengetahui bahwa ternyata mereka tak mau sekolah sama sekali. “Enak di SR mas, kakak-kakaknya baik-baik. Kita tidak pernah dimarahi tapi kita dibimbing,” jelas Arman. Sistem SR yang ditawari sangat menarik bagiku. Kecanduan sekolah mereka hapuskan. Dan prestasinya pun tak tanggung-tanggung, ternyata Arman dan dua orang temannya pernah juara debat dalam bahasa Inggris tahun 2009 dan menjuarai festival patung di Solo pada tahun 2010.
Begitulah perjalananku ke Yogya, tidak ada yang kebetulan apalagi kesia-siaan. Bahkan mimpiku sebelum berangkat ke Yogya adalah bocah-bocah yang demo turun ke jalan tentang isu kenaikan BBM. Harapanku: bahwa bocah-bocah atau anak-anak Indonesia generasi 2011-lah yang akan membuat suatu dobrakan paradigma dalam medium peradapan Dwipantara. Mereka takkan menjadi generasi yang pongah seperti generasi-generasi sebelumnya.
Surabaya, Senja 5 July 2011
*Yaumil F Gayo-KAM ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!