kfk.kompas.com |
Oleh: Bung Yaumil*
Fajar masih enggan meninggalkan pagi, disudut kiblat timur, Surabaya,
masih ditemani dingin. Gedung-gedung tetap terpaku diam sejak 51 tahun yang
lalu. Waktu menunjukkan pukul 05.00, setelah bersiap dan shalat, pandangan
mengalih ke seorang bocah yang akan berangkat ke sekolah. Pagi sekali! bisik
batinku.
Teringat sebuah fenomena yang mengerikan tadi malam saat mencoba mencari
kabar asia tengah di e-akhbar.co.id. Sebuah
iklan mobil, Subaru, mempromosikan aksi tabrak lari terhadap dua bocah. Iklan
komersial tersebut menampilkan adegan foto ketika direktur yayasan Al ‘Ad,
David Bari, menabrak
dengan mobilnya dua bocah berumur 10 tahun, Imran Manshur dan Iyyad Ghaits
di kawasan pemukiman Silwan, Yerusalem Timur. Luka
dan patah kaki dialami kedua bocah tersebut. Na’as.
“Mari! Mulai Perjalanan.”
Tidak hanya itu, bocah-bocah terjepit tak bisa
bernafas, bahkan ada yang pingsan. Rengekan balita kepanasan sahut-menyahut dan
yang berdiri tak menyisakan ruang sedikit pun buat pedagang berjalan. Nikmatilah,
kataku.
Ternyata kata “nikmatilah” benar-benar terjadi. Aku
bertemu dengan dua bocah. Aldy (14) dan Faris (12) dari Surabaya—Brief Encounter kata Rosihan Anwar. Aldy
menuju Yogya untuk menghabiskan masa libur bersama ibu dan kakeknya. Sedangkan
Faris menuju Bandung untuk bertemu orang tuanya—Faris melakukan perjalanan
seorang diri. Luar Biasa!
Perbincangan tidak hanya di sekitar perkenalan
namun tentang latar belakang kehidupan. Aldy lebih banyak menjawab sekenanya.
Matanya menyimpan kepedihan, aku penasaran untuk terus menyelaminya. Namun
ibunyalah yang menjawab kegelisahanku. Ternyata Aldy tidak naik kelas hanya
gara-gara kasus melawan gurunya yang tidak bisa membedakan ejaan “SOEKARNO” atau
“SUKARNO”.
Berbeda dengan cerita Faris, bocah Bandung ini
tidak pernah lepas dari juara kelas. Namun memiki masalah keuangan yang akut.
Permasalah lawas yang tak pernah bisa diselesaikan wakil rakyat “konyol” dari bangsa
ini.
Perjalanan Surabaya-Yogya kulewati dengan berdiri
di kereta ekonomi. Begitupun Faris dan Aldy. Bukan hanya aku, masih banyak
lagi. Namun sebuah pertanyaan hadir lagi dikepalaku. Apa rakyat kecil layak
mendapatkan perlakuan tak adil hanya gara-gara tidak memiliki uang? Apa tak ada
jalan keluar dari pemerintah untuk menciptakan kondisi transportasi yang nyaman
dan murah bagi seluruh rakyat tanpa harus membeda-bedakannya. Seperti
Kazakhstan misalkan?
Yogya; dengan bocah-bocahnya
Sesampai di Yogya, aku dijemput oleh teman lama,
Lely, yang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Gajah Mada. Lely
banyak bercerita tentang kehebatan UGM dan secara otomatis membandingkan dengan
ITS—kampusku.
“UGM dosennya tidak matre dan gila duit seperti
ITS,” kata Lely. Proyek tidak dijadikan alasan untuk penelitian keilmuan dan
pengabdian masyarakat. Bahkan laboratorium tidak dijadikan ladang buat
memperkaya diri. Dosen-dosen UGM memiliki kesepakatan bahwa ilmu harus
dibagikan dengan cara menuliskan jurnal. “Jadi dosen yang tidak pernah
menuliskan jurnal belum dianggap dosen di UGM.”
Dosen-dosen UGM berlomba-lomba membuat jurnal
sebanyak-banyaknya dan yang lebih asik lagi jurnal tersebut tersedia disitus-situs
UGM tanpa harus membelinya—refrensi yang cukup banyak bagi mahasiswanya untuk
lebih mendalami keilmuan. Semoga saja orang-orang seperti Dr. Hadi Sabari Yunus, MA. DRS dan Sutikno, Prof., Dr., ada di ITS.
Kisah aku mulai lagi di sebuah kawasan bernama
Desa Kauman, sebuah desa yang bagiku sangat luar biasa hebatnya—dari sejarah
hingga bentuk fisik tentunya. Bahkan kultur Muhammadiyah masih terasa kental
dan simbol-simbol terlihat jelas setiap sudut mata memandang seperti lampu
lentera dengan tulisan “Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku”. Masjid dan
musholla Kauman pun tidak tertinggal buat aku nikmati dan kembali menostalgiakan
perjuangan KH Ahmad Dahlan.
Sebuah fenomena yang membuatku “mati gaya”: murid
SD Muhammadiyah 4 Yogyakarta sedang melakukan diskusi kecil-kecilan.
Bocah-bocah kelas 5 SD tersebut terbagi atas 4 kelompok. Mereka sedang
mendiskusikan tentang sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa. Buku yang tak
tanggung. Acuannya adalah Serat Centhini
atau Suluk Tambangraras-Amongraga. Yang lebih membuatku kagum
adalah guru mereka tidak mengharuskan memilih tema tersebut namun tema dipilih
oleh kelompok masing-masing.
Bahkan kelompok lainnya membahas tentang Sejarah
Jalur Sutra dengan refrensi Jalur Sutra dari Frances Wood dan sejarah terbentuknya
Bahasa Indonesia dengan refrensi Culturele Aspecten in de Verhouding Nederland –
Indonesiƫ oleh D. de Vries yang telah diterjemahkan. Menakjubkan!
Kali ini aku mendapatkan gambaran berbeda di
daerah Kali Code. Slum area atau
kawasan kumuh di bantaran Kali Code. Mungkin sama mirisnya dengan keadaan di
kereta api, sekitar sepuluh bocah sedang mencoba mengais rezeki dari Kali Code.
Bukan mengais ilmu di sekolah. Mereka mencoba merebut barang-barang yang hanyut
untuk dijual, ada juga yang menggali pasir untuk dijual sebagai dasar bahan
bangunan.
Bukan hanya itu, ternyata Arman dan teman-temannya
tidak sekolah. Mereka dididik oleh Sekolah Rakyat yang di bentuk oleh LSM-LSM
Yogya. Namun sangat aneh ketika aku juga mengetahui bahwa ternyata mereka tak
mau sekolah sama sekali. “Enak di SR mas, kakak-kakaknya baik-baik. Kita tidak
pernah dimarahi tapi kita dibimbing,” jelas Arman. Sistem SR yang ditawari
sangat menarik bagiku. Kecanduan sekolah mereka hapuskan. Dan prestasinya pun tak
tanggung-tanggung, ternyata Arman dan dua orang temannya pernah juara debat
dalam bahasa Inggris tahun 2009 dan menjuarai festival patung di Solo pada
tahun 2010.
Begitulah perjalananku ke Yogya, tidak ada yang
kebetulan apalagi kesia-siaan. Bahkan mimpiku sebelum berangkat ke Yogya adalah
bocah-bocah yang demo turun ke jalan tentang isu kenaikan BBM. Harapanku: bahwa
bocah-bocah atau anak-anak Indonesia generasi 2011-lah yang akan membuat suatu
dobrakan paradigma dalam medium peradapan Dwipantara. Mereka takkan menjadi
generasi yang pongah seperti generasi-generasi sebelumnya.
Surabaya, Senja 5 July 2011
*Yaumil F
Gayo-KAM ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!