Rabu, 26 Oktober 2011

Perlawanan Tidak Pernah Padam


sosbud.kompasiana.com
Oleh: Bung Rafli*
Kehidupan tidak pernah terlepas dari sejarah penindasan; baik berupa pembodohan, pengisapan, pemerasan, maupun penjajahan. Selama itu pula, perlawanan terus bersemayam di pojok ruang dan waktu; kecil, sempit, terbatasi gerak, bahkan nyaris tak terlihat.  Sejarah penindasan selalu berbanding lurus dengan perlawanan.
Seseorang yang berani melawan dan dapat mengapresiasikannya secara nyata dalam bentuk perlawanan. Berarti memiliki harga diri dan harapan serta cita-cita hidup yang menurutnya layak untuk diperjuangkan dan diraih. Sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya. Sekecil apapun perlawanan yang dilakukan, jelas memiliki arti yang dalam. Minimal, bisa memberikan gairah semangat dan membangkitkan perlawanan-perlawanan lain yang serupa.
Pledoi Bung Karno dalam Indonesia Menggugat adalah salah satu contoh perlawanan kecil bagi bangsa. Yang akhirnya bermuara pada kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam pidatonya beliau berkata:
 Pergerakan tentu lahir. Toh…diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguattiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsawalau cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”
Begitulah perlawanan dalam berbagai bentuknya; tulisan, pemikiran, fisik, dsb menjelma menjadi kekuatan rakyat yang tak dapat dibendung, baik oleh kekuatan kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, bahkan oleh kekuasaan pimpinan negara sekalipun. Ia akan terus bersemayam di celah-celah harapan rakyat yang terampas dan tergadaikan hak-haknya. Ia akan menjadi obor penyemangat di setiap desahan nafas rakyat yang terisap keringatnya. Ia akan menjadi embun penyejuk di kala rakyat merintih terintimidasi oleh pengaruh kepentingan kaum-kaum elite negara.
Mahasiswa adalah agen perlawanan
Sejarah pemuda tidak pernah terlepas dari kisah-kisah heroik tentang perlawanan. Pada 1908, tahun dimana didirikannya organisasi pemuda Boedi Oetomo merupakan bukti nyata perlawanan pemuda akan kondisi bangsanya yang terinjak-injak oleh kolonialisme Belanda. Jelas, perjuangan yang diinisiasi oleh Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Tjipto Mangunkusumo (Ki Hajar Dewantara), Radjiman Wediodiningrat, dkk dalam Boedi Oetomo memantik pergerakan-pergerakan lain di seantero nusantara, bahkan di luar negeri sekalipun.
Sebagai contoh di tahun 1925, Mohammad Hatta memimpin sebuah perkumpulan mahasiswa di negeri Belanda yang diberinya nama Perhimpunan Indonesia. Hal ini sangat bernilai dan berpengaruh sekali bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaannya. Karena secara politis, dengan didirikannya Perhimpunan Indonesia hal itu berarti pemuda Indonesia menyatakan sikap kepada kolonial Belanda bahwa mereka tidak ingin diperlakukan sebagai inlander (bumi putera dalam masyarakat kolonial) dan kedaulatan serta kemerdekaan bangsa Indonesia harus diraih sesegera mungkin. (Petite Hisotire Jilid 2 hal. 92; Rosihan Anwar)
Hingga tahun 1928 bertempat di Jalan Kramat 101, Batavia, para pemuda bangsa membacakan sumpah pemuda dalam Kongres Pemuda ke-II menjelang penutupan rapat. “Ikrar” Pemuda tersebut diedarkan oleh Muhammad Yamin kepada pimpinan rapat dan peserta yang lain. Dari tinta di atas secarik kertas itulah gagasan Muhammad Yaminpada saat itu berumur 25 tahunditerima oleh seluruh peserta rapat dan menjadi suatu hal yang lebih banyak dikenang pemuda saat ini dibandingkan dengan isi Kongres Pemuda ke-II secara keseluruhan. Sumpah Pemuda dibacakan oleh seluruh peserta yang terdiri dari mahasiswa dan perwakilan berbagai organisasi pemuda. Sebuah sumpah yang menyatakan sikap bahwa pemuda Indonesia berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu: Indonesia.
Di kongres Pemuda ke-II itu pulalah pertama kali Wage Rudolft Supratman mengenalkan lirik lagu “Indonesia Raya” dengan diiringi gesekan biola. Dan tanpa disadari kelak lagu tersebut menjadi lagu kebangsaan Indonesia yang merdeka.
Konsepsi perlawanan mahasiswa era ini
Belasan tahun pasca pergolakan mahasiswa 1998, perlawanan yang dilakukan para mahasiswa dengan cara turun langsung ke jalan (demonstrasi) tidak memberikan efek jera dan kontrol yang mengikat terhadap kinerja pemerintah yang melenceng dari cita-cita rakyat Indonesia. Bahkan para penguasa dan segala tetek bengeknya berhasil merubah paradigma masyarakat dan mahasiswa secara umum bahwa aksi demonstrasi adalah bentuk perlawanan yang buruk dan seringkali berakhir dengan anarkisme dan vandalisme.
Tak ayal, hal ini kerap kali meninggalkan stempel negatif di tiap dahi para mahasiswa yang sering berdemonstrasi. Di pandangan kawan sejawatnya sesama mahasiswa, mereka yang memilih cara demonstrasi untuk menyuarakan perlawanan dianggap sebagai mahasiswa yang terlalu berlebihan dan hyperaktif dalam bersikap. Seringkali pernyataan skeptis keluar untuk mahasiswa model demikian, “Ngurus dirinya sendiri saja belum tentu bagus. Lah kok mikirin negara.” Atau pernyataan lain seperti ini, “mending lulus cepat aja, kemudian kerja, mengurangi beban orang tua dan negara, kamu kuliah kan juga pake uang rakyat!” Ditanya mengapa?
Bahkan orang tua pun sering melarang anaknya yang berstatus mahasiswa untuk ikut serta dalam aksi demonstrasi. Ketakutan ini wajar timbul di benak para orang tua dan masyarakat karenasekali lagipara penguasa dan tetek bengeknya berhasil merubah paradigma masyarakat dan mahasiswa terhadap aksi demonstrasi.
Pertanyaan yang harusnya timbul di setiap benak mahasiswa adalah: Kenapa para penguasa selalu bertindak represif dan sangat hati-hati terhadap perlawanan yang dilakukan mahasiswa? “Jasmerah,” begitu kiranya ungkapan Bung Karno dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Akan tetapi, diakui atau tidak, pandangan buruk masyarakat dan mahasiswa terhadap aksi demonstrasi. Serta tindakan represif dan tuduhan subversif yang selalu dilakukan pihak penguasa ataupun birokrasi untuk meredam dan membungkam perlawanan mahasiswa. Cukup membuat dahi mahasiswa berkerenyit. Pergerakan mahasiswa era ini harus mampu menemukan konsepsi baru yang lebih efektif dan bisa diterima oleh seluruh kalangan. Sebuah konsepsi yang tidak hanya sebagai alat pengkontrol pemerintah, tapi lebih dari itu, konsepsi yang dapat memperbaiki kondisi kebangsaan yang kian lama kian rapuh.
Diskusi-diskusi dan pertukaran pikiran yang sering dilakukan oleh sesama organisasi pergerakan mahasiswa tentang carut-marutnya sistem pendidikan, keadilan hukum yang selalu menjadi mimpi rakyat kecil, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak merata di berbagai daerah, serta ulah-ulah menggelitik yang dilakukan politikus dengan berbagai sandiwara politiknya. Harusnya mampu membuat aktivis pergerakan mahasiswa merumuskan gagasan baru; sebuah konsepsi kebangsaan maupun konsepsi kenegaraan.
Harus ada nilai tawar tinggi yang disuguhkan mahasiswa terhadap masyarakat untuk memajukan bangsa secara bersama-sama. Hal ini tampaknya bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Kalaulah Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, Bung Hatta, Bung Karno, dan tokoh-tokoh pemuda era pra-kemerdekaan dalam pelariannya dapat membuat konsepsi kemerdekaan negara Indonesia. Kenapa mahasiswa sekarang tidak bisa?
*R Arif Firdaus L-Matematika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!