sosbud.kompasiana.com |
Oleh:
Bung Rafli*
Kehidupan
tidak pernah terlepas dari sejarah penindasan; baik berupa pembodohan, pengisapan,
pemerasan, maupun penjajahan. Selama itu pula, perlawanan terus bersemayam di
pojok ruang dan waktu; kecil, sempit, terbatasi gerak, bahkan nyaris tak
terlihat. Sejarah penindasan selalu
berbanding lurus dengan perlawanan.
Seseorang
yang berani melawan dan dapat mengapresiasikannya secara nyata dalam bentuk
perlawanan. Berarti memiliki harga diri dan harapan serta cita-cita hidup yang
menurutnya layak untuk diperjuangkan dan diraih. Sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya.
Sekecil apapun perlawanan yang dilakukan, jelas memiliki arti yang dalam.
Minimal, bisa memberikan gairah semangat dan membangkitkan
perlawanan-perlawanan lain yang serupa.
“Pergerakan
tentu lahir. Toh…diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau
tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-tiap
makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya
berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, kalau
ia sudah terlalu sekali merasakan celakanya diri teraniaya oleh suatu daya
angkara murka! Jangan lagi manusia, jangan lagi bangsa—walau
cacing pun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”
Begitulah
perlawanan dalam berbagai bentuknya; tulisan, pemikiran, fisik, dsb menjelma
menjadi kekuatan rakyat yang tak dapat dibendung, baik oleh kekuatan kolonialisme,
imperialisme, kapitalisme, bahkan oleh kekuasaan pimpinan negara sekalipun. Ia
akan terus bersemayam di celah-celah harapan rakyat yang terampas dan
tergadaikan hak-haknya. Ia akan menjadi obor penyemangat di setiap desahan
nafas rakyat yang terisap keringatnya. Ia akan menjadi embun penyejuk di kala
rakyat merintih terintimidasi oleh pengaruh kepentingan kaum-kaum elite negara.
Mahasiswa adalah agen perlawanan
Sejarah
pemuda tidak pernah terlepas dari kisah-kisah heroik tentang perlawanan. Pada
1908, tahun dimana didirikannya organisasi pemuda Boedi Oetomo merupakan bukti
nyata perlawanan pemuda akan kondisi bangsanya yang terinjak-injak oleh
kolonialisme Belanda. Jelas, perjuangan yang diinisiasi oleh Dr. Soetomo, Dr.
Wahidin Soedirohoesodo, Tjipto Mangunkusumo (Ki Hajar Dewantara), Radjiman
Wediodiningrat, dkk dalam Boedi Oetomo memantik pergerakan-pergerakan lain di
seantero nusantara, bahkan di luar negeri sekalipun.
Sebagai
contoh di tahun 1925, Mohammad Hatta memimpin sebuah perkumpulan mahasiswa di
negeri Belanda yang diberinya nama Perhimpunan Indonesia. Hal ini sangat
bernilai dan berpengaruh sekali bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih
kemerdekaannya. Karena secara politis, dengan didirikannya Perhimpunan
Indonesia hal itu berarti pemuda Indonesia menyatakan sikap kepada kolonial
Belanda bahwa mereka tidak ingin diperlakukan sebagai inlander (bumi putera dalam masyarakat kolonial) dan kedaulatan serta
kemerdekaan bangsa Indonesia harus diraih sesegera mungkin. (Petite Hisotire
Jilid 2 hal. 92; Rosihan Anwar)
Hingga
tahun 1928 bertempat di Jalan Kramat 101, Batavia, para pemuda bangsa membacakan
sumpah pemuda dalam Kongres Pemuda ke-II menjelang penutupan rapat. “Ikrar”
Pemuda tersebut diedarkan oleh Muhammad Yamin kepada pimpinan rapat dan peserta
yang lain. Dari tinta di atas secarik kertas itulah gagasan Muhammad Yamin—pada
saat itu berumur 25 tahun—diterima oleh seluruh
peserta rapat dan menjadi suatu hal yang lebih banyak dikenang pemuda saat ini
dibandingkan dengan isi Kongres Pemuda ke-II secara keseluruhan. Sumpah Pemuda
dibacakan oleh seluruh peserta yang terdiri dari mahasiswa dan perwakilan
berbagai organisasi pemuda. Sebuah sumpah yang menyatakan sikap bahwa pemuda Indonesia
berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu: Indonesia.
Di
kongres Pemuda ke-II itu pulalah pertama kali Wage Rudolft Supratman
mengenalkan lirik lagu “Indonesia Raya” dengan diiringi gesekan biola. Dan
tanpa disadari kelak lagu tersebut menjadi lagu kebangsaan Indonesia yang
merdeka.
Konsepsi perlawanan mahasiswa era
ini
Belasan
tahun pasca pergolakan mahasiswa 1998, perlawanan yang dilakukan para mahasiswa
dengan cara turun langsung ke jalan (demonstrasi) tidak memberikan efek jera
dan kontrol yang mengikat terhadap kinerja pemerintah yang melenceng dari
cita-cita rakyat Indonesia. Bahkan para penguasa dan segala tetek bengeknya berhasil merubah
paradigma masyarakat dan mahasiswa secara umum bahwa aksi demonstrasi adalah
bentuk perlawanan yang buruk dan seringkali berakhir dengan anarkisme dan
vandalisme.
Tak
ayal, hal ini kerap kali meninggalkan stempel negatif di tiap dahi para
mahasiswa yang sering berdemonstrasi. Di pandangan kawan sejawatnya sesama
mahasiswa, mereka yang memilih cara demonstrasi untuk menyuarakan perlawanan
dianggap sebagai mahasiswa yang terlalu berlebihan dan hyperaktif dalam bersikap. Seringkali pernyataan skeptis keluar
untuk mahasiswa model demikian, “Ngurus
dirinya sendiri saja belum tentu bagus. Lah kok mikirin negara.” Atau
pernyataan lain seperti ini, “mending
lulus cepat aja, kemudian kerja, mengurangi beban orang tua dan negara, kamu
kuliah kan juga pake uang rakyat!” Ditanya mengapa?
Bahkan
orang tua pun sering melarang anaknya yang berstatus mahasiswa untuk ikut serta
dalam aksi demonstrasi. Ketakutan ini wajar timbul di benak para orang tua dan
masyarakat karena—sekali lagi—para
penguasa dan tetek bengeknya berhasil
merubah paradigma masyarakat dan mahasiswa terhadap aksi demonstrasi.
Pertanyaan
yang harusnya timbul di setiap benak mahasiswa adalah: Kenapa para penguasa
selalu bertindak represif dan sangat hati-hati terhadap perlawanan yang
dilakukan mahasiswa? “Jasmerah,” begitu kiranya ungkapan Bung Karno dapat
menjawab pertanyaan tersebut.
Akan
tetapi, diakui atau tidak, pandangan buruk masyarakat dan mahasiswa terhadap
aksi demonstrasi. Serta tindakan represif dan tuduhan subversif yang selalu
dilakukan pihak penguasa ataupun birokrasi untuk meredam dan membungkam
perlawanan mahasiswa. Cukup membuat dahi mahasiswa berkerenyit. Pergerakan
mahasiswa era ini harus mampu menemukan konsepsi baru yang lebih efektif dan
bisa diterima oleh seluruh kalangan. Sebuah konsepsi yang tidak hanya sebagai
alat pengkontrol pemerintah, tapi lebih dari itu, konsepsi yang dapat
memperbaiki kondisi kebangsaan yang kian lama kian rapuh.
Diskusi-diskusi
dan pertukaran pikiran yang sering dilakukan oleh sesama organisasi pergerakan
mahasiswa tentang carut-marutnya sistem pendidikan, keadilan hukum yang selalu
menjadi mimpi rakyat kecil, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak
merata di berbagai daerah, serta ulah-ulah menggelitik yang dilakukan politikus
dengan berbagai sandiwara politiknya. Harusnya mampu membuat aktivis pergerakan
mahasiswa merumuskan gagasan baru; sebuah konsepsi kebangsaan maupun konsepsi
kenegaraan.
Harus
ada nilai tawar tinggi yang disuguhkan mahasiswa terhadap masyarakat untuk
memajukan bangsa secara bersama-sama. Hal ini tampaknya bukan sesuatu yang
mustahil untuk dilakukan. Kalaulah Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, Bung Hatta,
Bung Karno, dan tokoh-tokoh pemuda era pra-kemerdekaan dalam pelariannya dapat
membuat konsepsi kemerdekaan negara Indonesia. Kenapa mahasiswa sekarang tidak
bisa?
*R Arif Firdaus L-Matematika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!