Jumat, 23 September 2011

Tidak Tahu atau Tidak Mau Tahu!


eko shikamaru-TC '10
Perundangan Dibuat Untuk Dilanggar
Menjadi mahasiswa merupakan anugerah tertinggi yang didapatkan seorang pemuda bangsa. Apalagi menetapkan pilihan untuk aktif dan berkegiatan dalam Organisasi Mahasiswa (Ormawa), tentulah sebuah kesadaran yang tinggi untuk dapat memberikan manfaat yang berarti ke orang lain. Ironisnya, kemampuan yang kita miliki dalam bidang akademis, belum tentu mampu menghadirkan kesadaran yang tinggi tersebut. Sangatlah paradoks. Tidak menutup kemungkinan, banyak dari mahasiswa tidak paham perundang-undangan yang mengatur dunia kemahasiswaan atau Ormawanya sendiri. Dan tidak menutup kemungkinan pula jika mahasiswa dapat dengan mudah ditunggangi. Akar permasalahannya terletak pada ketidakpahaman mengenai UU dan aturan yang berlaku dan mengikat.
Atas dasar inilah, Tim Langkah Awal melakukan analisa mendalam terhadap perundang-undangan yang ada, juga melakukan wawancara ke beberapa mahasiswa, baik aktivis Ormawa maupun tidak, untuk menggali sekilas kondisi yang terjadi di lingkup Ormawa.
Dalam prinsip atau hirarki peraturan perundang-undangan bahwa undang-undang yang memiliki prinsip lebih tinggi mengesampingkan undang-undang yang lebih rendah. Contohnya Statuta yang membahas Ormawa harus mengacu pada Undang-Undang Pendidikan tinggi (UU DIKTI) dan berpayung hukum pada Putusan Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud). Namun pada prinsip UU, haruslah bersifat abstrak. Disanalah letak pengecohan implikasi atau pembentukan UU dibawahnya.
Kami sangat tidak berharap bahwa argumen, “Peraturan dibuat untuk di langgar” atau “kalau tidak melanggar, tidak asik”, terjadi pada kampus perjuangan ini. Berikut hasil reportase dan analisa Tim Langkah Awal:
Ternyata Kita Saling Melanggar
Peraturan, UU dan hukum, tidak akan pernah lepas dari pasal, ayat, dan butir-butir. Di negara demokrasi seperti Indonesia; peraturan, UU dan hukum merupakan suatu produk hukum yang harus dibuat dan di taati. Dapat kita bayangkan bila negara tidak mempunyai ketiga hal tersebut. Kacau-balau yang terjadi. Jelasnya negara tercinta ini tidak akan dapat bertahan lama.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) adalah miniatur sebuah negara, pun ada peraturan-peraturan yang harus ditaati. Pastilah mengikat semua orang yang mempunyai hubungan dengan ITS, tidak terkecuali mahasiswa. Baru-baru ini Kelurga Mahasiswa (KM) ITS telah melahirkan UU yang baru hasil Musyawarah Besar IV (Mubes IV). Perundangan di Mubes III sudah tidak “relevan”. Dan sekarang KM ITS pasti berharap banyak dari Mubes IV yang menjadi dasar kestabilitasan KM ITS. Semoga saja.
Cukup banyak sebenarnya UU yang mengatur mahasiswa. Tapi, apakah mahasiswa sudah sadar aturan? Agar kita mampu mengenal aturan main yang dibuat untuk dunia kemahasiswaan. Sehingga kita tahu batasannya.
“Ternyata kita sama-sama melanggar.” Kalimat itu keluar begitu saja saat tim Langkah Awal mencoba menggali dan mendiskusikan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan mahasiswa. Salah satu pasal yang sering digunakan mahasiswa untuk membela dirinya adalah Kemendikbud RI Nomer 155/U/1998 Pasal 2 yang berbunyi: “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.”
Pasal ini dapat dijadikan pedang dan tameng saat berurusan dengan birokrasi. Pasal 6 memperjelas pasal 2 yang berbunyi, “Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan perguruan tinggi merupakan penanggungjawab segala kegiatan di perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan tinggi.” Intinya, keleluasaan yang diberikan mahasiswa seperti termaktub dalam pasal 2, masih harus melalui kesepakatan dengan pimpinan perguruan tinggi. Tentunya tidak melanggar Statuta perguruan tinggi. Bagaimana dengan implikasinya?
Coba kita tafsirkan lebih jelas lagi, bahwa kata ‘tanggung jawab’ dan ‘kesepakatan oleh kedua belah pihak’—mahasiswa dan birokrasi menjadi pokok utama pada pasal 2, Kebmendikbud 1998. Namun jika salah satu pihak mulai mengintervensi tanpa adanya negoisasi, maka undang-undang tersebut telah dilanggar dan pihak yang bersalah bersiaplah mendapatkan ganjarannya. Aplikasinya sangat paradoks, pengkaderan dan perencanaan kegiatan masih dibatas-batasi oleh birokrasi kampus.
Bahkan Pasal 3 pada kemendikbud 1998 yang berbunyi bentuk organisasi disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan Statuta perguruan tinggi. Bagaimana jika birokrasi malah menafsirkan hal yang berbeda yaitu tidak memberikan kewenangan pada mahasiswa untuk bebas memilih karakter dalam berorganisasinya. Tentunya dengan membatasi pergerakan mahasiswa itu sendiri, seperti pasal 1 ayat 2 dan pasal 4 pada Peraturan Rektor 2009 mengenai AD/ART dan bentuk organisasi harus seizin rektor. Ribet?
Bagaimana dengan sebaliknya, apakah mahasiswa sudah menuntut haknya untuk menjalankan kesepakatan tersebut dengan baik dan benar? Karena selama rektor yang membatasi ruang gerak dan mahasiswa hanya bisa diam saja. Berarti mahasiswa tersebut tidaklah paham hukum.
Dalam hal ini, rektor sebagai pimpinan tertinggi, seharusnya melibatkan mahasiswa dalam melahirkan kebijakan yang berkaitan dengan organisasi kemahasiswaan sehingga ada kesepakatan disana. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan Statuta ITS dan Tata Kehidupan Kampus terkesan lebih pada “mematikan” karakter berorganisasi setiap mahasiswa. Dengan begini, produk hukum atau kebijakan yang dibuat oleh birorasi ITS sudah melanggar ketentuan yang ada dalam peraturan menteri.
Sebagai contoh pada Pasal 3 ayat 2 Peraturan Rektor ITS 2009 bahwa; Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) harus disahkan oleh rektor, tentunya tidak ada yang salah pada pada peraturan tersebut, namun tidak ada pasal penegas bahwa dibalik persetujuan AD/ART harus ada kata sepakat antara mahasiswa dan birokrasi. Namun pada implikasinya bahwa pasal tersebut dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan yang tak dapat di tawar. Sebaik apapun AD/ART himpunan, jika birokrasi berkehendak lain maka birokrasilah yang menang. Lagi-lagi kita hanya bisa terdiam dan skeptis menghadapi permasalahan yang terjadi.
Lalu, apa yang dilanggar oleh mahasiswa? Ada beberapa peraturan yang di langgar oleh mahasiswa pada Keputusan Rektor (Keprek) tahun 2009 seperti pasal 7, 8 dan 11 mengenai masa jabatan maksimal pengurus ormawa adalah satu tahun. BEM dan HIMA di ITS telah melanggarnya. Bahkan melanggar pasal 9 Kemendikbud 1998. Sungguh mengharukan.
Tidak hanya itu, yang lebih menarik lagi mengenai pasal Pasal 24 ayat 6 pada mengenai tindakan pemalsuan (surat, stempel, kuitansi bahkan dana proposal). Semua mahasiswa “nakal” pasti paham tentang kasus ini. Bahkan tanpa ada peraturan pun semua orang juga tahu hal tesebut tidak layak dilakukan seorang yang terdidik. Namun demi perjuangan, nakal pun harus dilakukan.
Sekarang kita akan beralih ke Kemendikbud 1998 pada 5 ayat 7 tentang fungsi Ormawa yang berbunyi “untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang di landasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral dan wawasan kebangsaan.” Coba kita ambil salah satu contoh wawasan kebangsaan, apakah setiap kegiatan Ormawa di ITS telah menggunakan aturan tersebut? Teman-teman yang berkutat pada struktural pasti lebih paham telah mentaatinya atau malah melangkahinya.
Lagi-lagi yang lebih menarik bagi tim Langkah Awal adalah kemendikbud 1998 pasal 8 mengenai keanggotaan organisasi. Bahwa “keanggotaan organisasi kemahasiswaan adalah seluruh mahasiswa yang masih terdaftar dan aktif pada kegiatan akademik.” Tentunya semua mahasiswa yang masih aktif dan terdaftar mempunya hak yang sama. Lalu apa dasar kita membelah mahasiswa menjadi warga dan non-warga? Kemudian, apakah landasan dari aturan AD/ART himpunan mengenai “pengurus himpunan adalah mahasiswa yang telah melewati masa pengkaderan, dll.” Mahasiswa yang dicap non-warga atau tidak lulus tes masuk organisasi pun divonis tidak boleh berorganisasi dalam himpunan dan struktur lainnya. Sungguh kejam.
Lebih lucunya lagi, birokrasi  sama sekali tidak memandang pasal 8 tersebut. Birokrasi tidak akan menurunkan dana kepada mahasiswa ITS yang tidak terdaftar pada struktural hingga tidak bisa melakukan haknya untuk berkegiatan di kampus. Jelasnya! mahasiswa non-warga dan yang tidak termasuk struktural bersiaplah gigit jari untuk diasingkan.
Bagaimana Dengan Tujuan Pendidikan Tinggi?
Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menjalaskan bahwa tujuan pendidikan tinggi salah satunya; “Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Dapat diperhatikan pada kalimat “mengupayakan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.” Berbanding terbalik dengan kenyataan dari data Surabaya Dalam Angka tahun 2008 bahwa angka putus sekolah pada masyarakat Keputih dan Sukolilo sebesar 73,4 persen dan meningkat pada tahun 2009 dalam Tugas Akhir tahun mahasiswa Unair sebesar 74,9 persen.
Dimana aplikasi dari tujuan pendidikan tinggi pada Dikti tersebut?
Kata Mahasiswa
Tim redaksi mewawancarai empat orang mahasiswa yang menjadi narasumber, yang dibagi menjadi dua orang dari kalangan ormawa dan dua orang lagi dari kalangan non-ormawa. Bertujuan untuk menggambarkan sedikit kondisi mahasiswa ITS.
Bachtiar Riyanto, seorang mahasiswa Teknik Sipil ditemui di kantin Teknik Sipil. Mahasiswa non-ormawa ini sama sekali tidak paham mengenai perundang-undangan yang mengatur ormawa, “Saya tahunya perundang-undangan tentang teknis akademik.” Akunya.
Mahasiswa angkatan 2009 tersebut juga tidak berminat untuk mengetahui perundang-undangan yang mengatur dunia kemahasiswaan. “Saya kurang tertarik tentang apa yang tidak menguntungkan buat saya.” Bachtiar menambahkan, “pada dasarnya biasa-biasa saja, semua tergantung orangnya, dia ingin tahu atau tidak.” Bachtiar bahkan berkomentar kalau mahasiswa berhak untuk tidak tahu undang-undang.
Ketika ditanya pada tempat yang berbeda, salah satu mantan aktivis ormawa, Denny Maruli Silaen mengaku pernah tahu perundang-undangan yang mengatur ormawa seperti DIKTI dan Peraturan Mendikbud, namun Bung Denny tidak ingat pasti pasal-pasalnya.
Pemuda angkatan 2006 Teknik Kelautan ini mengatakan bahwa, "penyebab utama mahasiswa luput dari pemahaman tentang perundang-undangan adalah tidak adanya pembahasan atau pendiskusian mengenai penyebaran isu strategis perudang-undangan yang mengatur ormawa." Tambahnya lagi, "pihak yang berkewajiban tidak menjalankan tugasnya dengan baik." Pemuda kelahiran Sumatra Utara ini sangat menyayangkan sebagian teman-teman yang paham UU, malah tidak menjalankannya.
Mantan aktivis BEM Fakultas tersebut mencoba menganalisa: "Permasalahan utama mahasiswa yang tidak mau tahu perundang-undangan yang mengatur ormawa terletak pada permasalahan pribadi yang mulai mengarah kepada acuh tak acuh atau sifat apatis yang mulai mengakar."
Untuk sementara, motif pelanggaran pada perundang-undangan ialah tidak tahu perundang-undangan dan melanggarnya dengan ketidaktahuan. Apa itu salah?
Lain Bung Bactiar dengan Bung Denny, lain pula Vincent Kusuma. Mahasiswa jurusan matematika ini tidak mengetahui adanya undang-undang yang mengatur ormawa, “Lagian tidak penting, karena saya tidak ikut ormawa.” Bung Vincent menambahkan, “tahu poin pentingnya saja sudah cukup. Namun jika mahasiswa yang ikut dalam ormawa sampai tidak tahu, itu yang tidak benar.” Mahasiswa angkatan 2010 ini menegaskan jikalau mahasiswa non-ormawa tidak perlu tahu isi perundang-undangan, karena tidak masalah menurutnya.
Sedangkan Nuraini, mahasiswa jurusan matematika, tidak terlalu tahu mengenai UU ormawa. Aktivis HIMATIKA angkatan 2010 tersebut beralasan karena: “Tidak pernah melihat adanya sosialisasi tentang perundang-undangan ormawa.” Jeng Nuraini berpendapat. “Seharusnya mahasiswa yang aktif dalam ormawa harus mengerti UU Ormawa, agar tidak kalah dalam berargumen dengan birokrasi.”
Bagi Nuraini, akan sangat memalukan jika mahasiswa yang aktif di ormawa sama sekali tidak paham tentang undang-undang yang mengatur ormawa. “Mahasiswa yang tidak aktif di ormawa juga berhak tahu tentang perundang-undangan ormawa.” Jeng Nuraini menegaskan, “sebagai seorang mahasiswa yang seharusnya juga tahu tentang kegiatan kemahasiswaan yang dananya diambil dari SPP yang dibayar oleh semua mahasiswa ITS.
Sekilas mengenai dunia perundang-undangan yang ada di kampus kita. Pemerintah pusat selalu beralibi bahwa undang-undang mengenai pendidikan tinggi sudah tepat namun pihak kampus masih bisa mencari celah untuk melebarkan jalannya dalam membungkam mahasiswa. Sedangkan mahasiswanya, tahu tidak tahu, ya tidak mau tahu! Padahal sudah diatur mengenai Pendidikan Luar Sekolah atau berorganisasi adalah wajib bagi pelajar atau mahasiswa yang tertera pada PP No. 73, 1999 dan Kepmendikbud No.188 tahun 2000, pasal 49. Sehingga mau tidak mau kita harus paham UU yang berhubungan dengan kemahasiswaan dan mau tidak mau kita harus berorganisasi.
Salam Kebebasan Berfikir.

3 komentar:

  1. menarik !!

    seharusnya ada kajian mengenai undang-undang bagi aktivis ormawa. Bukan hanya ngerjain proker aja....
    miris...

    BalasHapus
  2. kadang ironis banget.... antara milih jadi aktivis atau bukan aktivis...
    mank kata terspecial ya kalo pengen fokus kuliah wajib dan fardu ain IP harus cumlaude, dr pada g cumlaude mending belajar hal lain (ormawa atau pun or2 yg lain)...cos malu brow mahasiswa kampus negeri dg dana pinjaman dr rakyat miskin hasil pemerasan pajak ..eeee di kampus cuma buat main2.....contohnya:
    1) kuliah asal2 an
    2) kegiatan ormawa asal2 an
    3) dan saya komen asal2 an hahahah mantap pertamax gan!!!!!!

    BalasHapus
  3. lebih baik lagi....
    ip cumlaude...aktivis pula...
    jangan sampai idealisme mahasiswa membunuh kewajiban akademik...
    kesenangan membicarakan perubahan sesuatu yang besar tapi kewajiban "berantakan"... malu dong...
    hahaha

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!