Sebagaimana
lazimnya sebuah institusi, ITS punya undang-undang dasar, namanya Statuta ITS. Kalau
dibandingkan dengan sebuah negara, fungsi statuta ialah sebagai norma dasar
yang dijadikan acuan bagi aturan-aturan di bawahnya.
Dalam Statuta
ITS—yang disahkan Mendikbud tahun 1992—tercantum segala macam aturan, dari
peran-fungsi senat hingga ukuran pataka ITS. Meski ada juga kelemahannya
misalnya ketidaktegasan mendefinisikan suatu pasal. Ambil contoh Pasal 59 yang
menyebutkan mahasiswa ITS harus “berdisiplin, bersikap jujur,
bersemangat, bertanggung jawab, dan menghindari perbuatan yang tercela, antara
lain plagiat”.
Kalau membaca pasal tersebut orang akan bingung termasuk plagiatkah apabila manyontek tugas dan lembar ujian. Tapi saya tidak akan membahas topik yang sudah sering saya ungkit tersebut. Bukan karena saya sudah putus asa karena toh mahasiswa ITS tidak peduli mau nyontek atau tidak. Lagipula mahasiswa ITS pasti berkeyakinan Idul Fitri dan ibadah puasa telah menyucikan diri mereka dari dosa itu—bagi mereka yang percaya bahwa perbuatan tak jujur seperti nyontek sebagai suatu dosa. Namun ada sesuatu di ITS yang menggelitik saya untuk membahasnya.
Wakil Rektor
Tersebutlah
kabar beberapa hari lalu bahwa Rektor ITS telah mengamandemen Statuta ITS—namun
belum disahkan oleh Mendiknas—dan mengganti beberapa pasal dan istilah. Yang
paling kentara adalah perubahan dari pemakaian “pembantu rektor” menjadi “wakil
rektor”.
Sebagai sebuah
institusi pendidikan patut jadi pertanyaan mengapa ITS dan kampus lain
menggunakan kata “pembantu rektor” ketimbang, katakanlah, “wakil rektor”. Penjelasan
paling logis adalah menuruti Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1990 yang mencantumkan kata “pembantu rektor”. Fungsi
pembantu rektor dalam pelaksanaan tugas sehari-hari adalah menangani bidang-bidang
tertentu seperti kemahasiswaan, akademik, keuangan, dll.
ITS dan
kampus-kampus lain bisa jadi terlalu jujur dan patuh. Karena memang tugasnya
adalah membantu, maka secara lugas dan tanpa perlu mancari padanan kata yang
lebih “sopan” digunakanlah “pembantu rektor”. Tidak seperti pembantu presiden
misalnya yang disebut menteri. Bayangkan kalau nama jabatan terhormat tersebut “pembantu
presiden bidang pendidikan”, barangkali orang jadi emoh memperebutkan jabatan menteri karena menenteng status pembantu,
meski bukan pembantu biasa.
Inilah yang
mungkin pantas disebut psikologi kata; sebuah kata yang dapat mempengaruhi
kejiwaan manusia karena faktor-faktor pengalaman sang manusia itu sendiri. Sederhananya,
seorang dosen yang biasa mendengar kata pembantu dalam makna negatif, akan
merasa ogah disematkan kata itu meski
sebetulnya terhormat.
Di Indonesia, semua
orang tahu seperti apa pekerjaan pembantu rumah tangga. Pekerjaan mereka biasa
dipandang rendah karena melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh kebanyakan
orang. Pembantu acapkali dimarahi, dicaci-maki, dan dizalimi. Mereka menjadi
budak zaman modern dan dapat diusir sewaktu-waktu. Di negara lain, pembantu
rumah tangga bahkan diperlakukan sebagai pelampiasan nafsu bejat majikan.
Kebetulan, kebanyakan
tenaga kerja wanita (TKW) kita berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Kisah
pilu mereka sering kita dengar. Puncaknya di bulan-bulan belakangan ini yang
mana salah seorang TKW di Arab Saudi, Ruyati, harus menjemput ajal di negeri
orang. Ia dipancung karena dituduh membunuh majikannya. Tak mungkin seorang
perempuan renta sampai harus menghilangkan nyawa orang lain kalau bukan untuk
membela diri dari penganiayaan. Banyak lagi kisah kelam pembantu rumah tangga kita
yang tersebar di Taiwan, Malaysia, Siangapura.
Dengan
konsumsi berita yang jelek-jelek itu, barangkali rektor pun ingin mengenyahkan kata
“pembantu” dari ITS untuk selama-lamanya. Pikir rektor, lebih baik menggunakan
kata “wakil” meski pada hakikatnya adalah pembantu jua. Tapi rektor bisa
mencari pembenaran secara normatif karena RUU Perguruan Tinggi tidak lagi
menyebutkan “pembantu rektor” namun “wakil rektor”. ITS bukan yang pertama.
Kampus-kampus BHMN seperti ITB, UGM, UI, Unair telah terlebih dahulu mengganti
walaupun masih menggunakan statuta lama seperti halnya ITS—belum disahkan
menteri. ITS pun meniru mereka karena tampaknya tidak ada implikasi kena
hukuman.
Kalau
dipikir-pikir ada tepatnya juga bila digunakan frasa “wakil rektor”. Seorang
pembantu biasanya adalah wanita, tidak punya skil memadai, tidak intelek, serta
bisa dipilih sesuka hati—kalau perlu seperti Inem, si pembantu seksi itu. Saya
yakin para pembantu rektor tahun-tahun sebelumnya tidak memenuhi semua kriteria
tersebut. Apalagi merujuk pada kriteria terakhir, para wakil rektor bukan
dilihat dari kemampuan tapi boleh jadi lantaran mantan tim sukses atawa orang-orang yang mendukung rektor
pada pemilihan tahun 2010 lalu.
Kalau yang
seperti ini, agak mirip dengan yang terjadi di arena politik. Padahal, kalau
kita gunakan kejujuran akademik, istilah pembantu sudah tepat. Secara hakikat
memang tugasnya membantu. Dan para pembantu rektor adalah orang-orang pintar
yang tidak bekerja dengan baik—atau buruk—karena “terhormat” tidaknya nama
sebuah jabatan. Ada sebuah pepatah di Eropa, nobles oblige: Dalam kedudukan yang mulia terdapat tanggung jawab
yang besar. Jabatan tinggi di kampus meski dengan nama “rendah” adalah mulia
karena tanggung jawabnya yang besar bukan karena wakil dari orang besar.
Kini kita harus
membiasakan diri dengan istilah baru. Kalau sebelumnya sering kita gunakan “pak
PR”, “bertemu PR”, ada baiknya melatih dengan istilah baru, WR atau Warek. Jangan
nanti kalau ditanya mau bertandang ke kantor wakil rektor masih ada yang tak
paham. Bisa jadi dikira ke tempat WR yang lain seperti WR Supratman, sang
pencipta lagu kebangsaan kita yang makamnya di Kenjeran sana. Jelas bukan, atuh!
*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS
Diterbitkan dalam buletin Langkah Awal edisi 14,
5-18 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!