Rabu, 07 September 2011

Tiadanya lagi Pembantu di ITS


flickr.com
Oleh: Bung Samdy*

Sebagaimana lazimnya sebuah institusi, ITS punya undang-undang dasar, namanya Statuta ITS. Kalau dibandingkan dengan sebuah negara, fungsi statuta ialah sebagai norma dasar yang dijadikan acuan bagi aturan-aturan di bawahnya.  

Dalam Statuta ITS—yang disahkan Mendikbud tahun 1992—tercantum segala macam aturan, dari peran-fungsi senat hingga ukuran pataka ITS. Meski ada juga kelemahannya misalnya ketidaktegasan mendefinisikan suatu pasal. Ambil contoh Pasal 59 yang menyebutkan mahasiswa ITS harus “berdisiplin, bersikap jujur, bersemangat, bertanggung jawab, dan menghindari perbuatan yang tercela, antara lain plagiat”.

Kalau membaca pasal tersebut orang akan bingung termasuk plagiatkah apabila manyontek tugas dan lembar ujian. Tapi saya tidak akan membahas topik yang sudah sering saya ungkit tersebut. Bukan karena saya sudah putus asa karena toh mahasiswa ITS tidak peduli mau nyontek atau tidak. Lagipula mahasiswa ITS pasti berkeyakinan Idul Fitri dan ibadah puasa telah menyucikan diri mereka dari dosa itu—bagi mereka yang percaya bahwa perbuatan tak jujur seperti nyontek sebagai suatu dosa. Namun ada sesuatu di ITS yang menggelitik saya untuk membahasnya.  
Wakil Rektor
Tersebutlah kabar beberapa hari lalu bahwa Rektor ITS telah mengamandemen Statuta ITS—namun belum disahkan oleh Mendiknas—dan mengganti beberapa pasal dan istilah. Yang paling kentara adalah perubahan dari pemakaian “pembantu rektor” menjadi “wakil rektor”.
Sebagai sebuah institusi pendidikan patut jadi pertanyaan mengapa ITS dan kampus lain menggunakan kata “pembantu rektor” ketimbang, katakanlah, “wakil rektor”. Penjelasan paling logis adalah menuruti Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 yang mencantumkan kata “pembantu rektor”. Fungsi pembantu rektor dalam pelaksanaan tugas sehari-hari adalah menangani bidang-bidang tertentu seperti kemahasiswaan, akademik, keuangan, dll.
ITS dan kampus-kampus lain bisa jadi terlalu jujur dan patuh. Karena memang tugasnya adalah membantu, maka secara lugas dan tanpa perlu mancari padanan kata yang lebih “sopan” digunakanlah “pembantu rektor”. Tidak seperti pembantu presiden misalnya yang disebut menteri. Bayangkan kalau nama jabatan terhormat tersebut “pembantu presiden bidang pendidikan”, barangkali orang jadi emoh memperebutkan jabatan menteri karena menenteng status pembantu, meski bukan pembantu biasa.
Inilah yang mungkin pantas disebut psikologi kata; sebuah kata yang dapat mempengaruhi kejiwaan manusia karena faktor-faktor pengalaman sang manusia itu sendiri. Sederhananya, seorang dosen yang biasa mendengar kata pembantu dalam makna negatif, akan merasa ogah disematkan kata itu meski sebetulnya terhormat.
Di Indonesia, semua orang tahu seperti apa pekerjaan pembantu rumah tangga. Pekerjaan mereka biasa dipandang rendah karena melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh kebanyakan orang. Pembantu acapkali dimarahi, dicaci-maki, dan dizalimi. Mereka menjadi budak zaman modern dan dapat diusir sewaktu-waktu. Di negara lain, pembantu rumah tangga bahkan diperlakukan sebagai pelampiasan nafsu bejat majikan.  
Kebetulan, kebanyakan tenaga kerja wanita (TKW) kita berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Kisah pilu mereka sering kita dengar. Puncaknya di bulan-bulan belakangan ini yang mana salah seorang TKW di Arab Saudi, Ruyati, harus menjemput ajal di negeri orang. Ia dipancung karena dituduh membunuh majikannya. Tak mungkin seorang perempuan renta sampai harus menghilangkan nyawa orang lain kalau bukan untuk membela diri dari penganiayaan. Banyak lagi kisah kelam pembantu rumah tangga kita yang tersebar di Taiwan, Malaysia, Siangapura.
Dengan konsumsi berita yang jelek-jelek itu, barangkali rektor pun ingin mengenyahkan kata “pembantu” dari ITS untuk selama-lamanya. Pikir rektor, lebih baik menggunakan kata “wakil” meski pada hakikatnya adalah pembantu jua. Tapi rektor bisa mencari pembenaran secara normatif karena RUU Perguruan Tinggi tidak lagi menyebutkan “pembantu rektor” namun “wakil rektor”. ITS bukan yang pertama. Kampus-kampus BHMN seperti ITB, UGM, UI, Unair telah terlebih dahulu mengganti walaupun masih menggunakan statuta lama seperti halnya ITS—belum disahkan menteri. ITS pun meniru mereka karena tampaknya tidak ada implikasi kena hukuman.
Kalau dipikir-pikir ada tepatnya juga bila digunakan frasa “wakil rektor”. Seorang pembantu biasanya adalah wanita, tidak punya skil memadai, tidak intelek, serta bisa dipilih sesuka hati—kalau perlu seperti Inem, si pembantu seksi itu. Saya yakin para pembantu rektor tahun-tahun sebelumnya tidak memenuhi semua kriteria tersebut. Apalagi merujuk pada kriteria terakhir, para wakil rektor bukan dilihat dari kemampuan tapi boleh jadi lantaran mantan tim sukses atawa orang-orang yang mendukung rektor pada pemilihan tahun 2010 lalu.
Kalau yang seperti ini, agak mirip dengan yang terjadi di arena politik. Padahal, kalau kita gunakan kejujuran akademik, istilah pembantu sudah tepat. Secara hakikat memang tugasnya membantu. Dan para pembantu rektor adalah orang-orang pintar yang tidak bekerja dengan baik—atau buruk—karena “terhormat” tidaknya nama sebuah jabatan. Ada sebuah pepatah di Eropa, nobles oblige: Dalam kedudukan yang mulia terdapat tanggung jawab yang besar. Jabatan tinggi di kampus meski dengan nama “rendah” adalah mulia karena tanggung jawabnya yang besar bukan karena wakil dari orang besar.
Kini kita harus membiasakan diri dengan istilah baru. Kalau sebelumnya sering kita gunakan “pak PR”, “bertemu PR”, ada baiknya melatih dengan istilah baru, WR atau Warek. Jangan nanti kalau ditanya mau bertandang ke kantor wakil rektor masih ada yang tak paham. Bisa jadi dikira ke tempat WR yang lain seperti WR Supratman, sang pencipta lagu kebangsaan kita yang makamnya di Kenjeran sana. Jelas bukan, atuh!
*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS
Diterbitkan dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!