Rabu, 07 September 2011

Kaderisasi

Krishna Leo Parista-alumni arsitektur '05

Oleh: Bung Henry*
“Vivat!!! Hidup Sipil, hidup sipil, hidup ITS!”
“Hidup mahasiswa!”
Hal-hal yang diucapkan seperti di atas telah mengawali perjalanan mahasiswa ITS dalam mengarungi lautan kaderisasi di jenjang perguruan tinggi. Dengan latar belakang yang beragam, mahasiswa seolah berbicara dalam frekuensi yang sama, bahasa yang sama, yakni bahasa mahasiswa. Pendidikan dan wawasan kebangsaan yang luas, menjadi modal wajib mahasiswa untuk memulai perjalanannya menyusuri lembah-lembah kehidupan. Menyusuri satu persatu kondisi-kondisi sosial yang beragam. Bermodalkan ketulusan mencoba menganalisa beban yang dipikul oleh bangsa ini. Dan berusaha mewujudkan suatu tatanan kehidupan ideal yang tentunya berada dalam haluan UUD’45 dan Pancasila.
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”
Kita, mahasiswa harus kembali memahami dan menyelami UUD’45 yang menjadi haluan dasar bangsa kita. Ya, UUD’45 menjamin kita mahasiswa untuk bebas berkumpul (berdiskusi) tanpa harus dihantui oleh peraturan jam malam. Bahkan ketika tempat-tempat umum di ITS seperti kantin pusat dan SCC (student community centre) dikerangkeng pada pukul empat sore, kita mahasiswa seharusnya tidak lantas pasrah dengan keadaan seperti ini. Apa yang terjadi dengan budaya diskusi mahasiswa ITS saat ini? Apa diskusi tidak lagi menjadi sarana bagi kita untuk mengkonfrontasi pemikiran kita satu dengan yang lainnya? Atau bahkan kita tidak lagi sempat untuk memiliki pemikiran yang bebas karena keterkungkungan oleh kebijakan-kebijakan akademis yang menyita waktu?
Kebijakan jam malam pada akhirnya hanya membuat mahasiswa dan pihak keamanan kampus bermain “kucing-kucingan”. Pertanyaan harusnya muncul dibenak kita mahasiswa: Apakah untuk berkumpul dan berdiskusi (“cangkruk” dikampus) harus mengurus surat ijin terlebih dahulu? Apa alasan ITS menerapkan kebijakan jam malam? Apakah mahasiswa memang sudah sedemikian manja dan nakal sehingga birokrasi ITS merasa perlu membimbing mahasiswa dengan kebijakan-kebijakan seperti jam malam?
“Organisasi kemahasiswaan di Perguruan Tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mehasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.” (Kepmendikbud No. 155 /U/1998)
Prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa seolah telah mendarah daging bagi mahasiswa. Kita mempunyai pemikiran, kita mempunyai kemampuan untuk melakukan dan kita memiliki kesadaran untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah kita lakukan.
Lantas, mengapa pengkaderan yang seharusnya menjadi kegiatan inti dalam berorganisasi semakin terkikis? Semakin terkekang oleh kebijakan-kebijakan birokrasi? Bahkan waktu/durasi pengkaderan yang seharusnya didapat dari konsep yang telah susah payah dibuat oleh konseptor, sama sekali tidak dihiraukan oleh “bidang tiga”? Setiap tahunnya, mahasiswa hanya tinggal menunggu “perintah dan aturan” dari “pak rektor” tentang kaderisasi. Bahkan ditataran teknis seperti metoda yang digunakan dalam pengkaderanpun, mahasiswa didikte!
Ada baiknya jika kita mahasiswa kembali melirik sejarah. Bahkan bung Hatta pun menganggap penting kaderisasi. Gagasan kaderisasinya berkaitan erat dengan visinya tentang pentingnya menyiapkan pemimpin bangsa dimasa depan. Hatta tidak suka bila rakyat dikondisikan membeo kepada pemimpin, apalagi menjadi obyek tipu daya (dan pembodohan diam-diam) demi kepentingan pemimpin sehingga segala sesuatu keputusan pemimpin harus diterima dengan sukarela.
“Negeri yang rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan atau mengatur pemerintahan negerinya,” tulis Hatta, “tidak memiliki kemauan dan tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh.” Jika demikian, rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja.
Kita mahasiswa, bergerak dan sadar melawan penindasan. Katakan benar jika benar dan salah jika salah! Karena diplomasi dan lobi-lobi hanya akan melunturkan nilai-nilai kebenaran. Dengan ilmu pengetahuan seharusnya kita membawa manusia pada kehidupan yang adil dan sejahtera. Jangan jadikan ilmu pengetahuan hanya untuk mencari nafkah dan jabatan.
“Hai mahasiswa ITS, untuk apa kau buat robot yang bisa bermain bola atau meniup lilin, dikala rakyat hanya membutuhkan beras, pakaian dan atap untuk berteduh?!“
Sumber: Dikti.go.id, KBBI, maulanusantara.wordpress.com
*Henry Palmer S-Teknik Sipil ITS
Diterbitkan dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!