Krishna Leo Parista-alumni arsitektur '05 |
Oleh: Bung
Henry*
“Vivat!!! Hidup Sipil, hidup
sipil, hidup ITS!”
“Hidup mahasiswa!”
Hal-hal yang
diucapkan seperti di atas telah mengawali perjalanan mahasiswa ITS dalam
mengarungi lautan kaderisasi di jenjang perguruan tinggi. Dengan latar belakang
yang beragam, mahasiswa seolah berbicara dalam frekuensi yang sama, bahasa yang
sama, yakni bahasa mahasiswa. Pendidikan dan wawasan kebangsaan yang luas,
menjadi modal wajib mahasiswa untuk memulai perjalanannya menyusuri
lembah-lembah kehidupan. Menyusuri satu persatu kondisi-kondisi sosial yang
beragam. Bermodalkan ketulusan mencoba menganalisa beban yang dipikul oleh bangsa
ini. Dan berusaha mewujudkan suatu tatanan kehidupan ideal yang tentunya berada
dalam haluan UUD’45 dan Pancasila.
“Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”
Kebijakan jam
malam pada akhirnya hanya membuat mahasiswa dan pihak keamanan kampus bermain
“kucing-kucingan”. Pertanyaan harusnya muncul dibenak kita mahasiswa: Apakah
untuk berkumpul dan berdiskusi (“cangkruk” dikampus) harus mengurus surat ijin
terlebih dahulu? Apa alasan ITS menerapkan kebijakan jam malam? Apakah
mahasiswa memang sudah sedemikian manja dan nakal sehingga birokrasi ITS merasa
perlu membimbing mahasiswa dengan kebijakan-kebijakan seperti jam malam?
“Organisasi kemahasiswaan di
Perguruan Tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk
mehasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada
mahasiswa.” (Kepmendikbud No. 155 /U/1998)
Prinsip dari,
oleh dan untuk mahasiswa seolah telah mendarah daging bagi mahasiswa. Kita
mempunyai pemikiran, kita mempunyai kemampuan untuk melakukan dan kita memiliki
kesadaran untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah kita lakukan.
Lantas,
mengapa pengkaderan yang seharusnya menjadi kegiatan inti dalam berorganisasi
semakin terkikis? Semakin terkekang oleh kebijakan-kebijakan birokrasi? Bahkan
waktu/durasi pengkaderan yang seharusnya didapat dari konsep yang telah susah
payah dibuat oleh konseptor, sama sekali tidak dihiraukan oleh “bidang tiga”?
Setiap tahunnya, mahasiswa hanya tinggal menunggu “perintah dan aturan” dari
“pak rektor” tentang kaderisasi. Bahkan ditataran teknis seperti metoda yang
digunakan dalam pengkaderanpun, mahasiswa didikte!
Ada baiknya
jika kita mahasiswa kembali melirik sejarah. Bahkan bung Hatta pun menganggap
penting kaderisasi. Gagasan kaderisasinya berkaitan erat dengan visinya tentang
pentingnya menyiapkan pemimpin bangsa dimasa depan. Hatta tidak suka bila
rakyat dikondisikan membeo kepada pemimpin, apalagi menjadi obyek tipu daya
(dan pembodohan diam-diam) demi kepentingan pemimpin sehingga segala sesuatu
keputusan pemimpin harus diterima dengan sukarela.
“Negeri yang
rakyatnya hanya tahu menerima perintah dan tidak pernah turut memperhatikan
atau mengatur pemerintahan negerinya,” tulis Hatta, “tidak memiliki kemauan dan
tidak melakukan kemauan itu dengan rasa tanggung jawab penuh.” Jika demikian,
rakyat tidak akan pernah insyaf akan harga diri dan kedaulatannya sehingga ia
mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa saja.
Kita
mahasiswa, bergerak dan sadar melawan penindasan. Katakan benar jika benar dan
salah jika salah! Karena diplomasi dan lobi-lobi hanya akan melunturkan
nilai-nilai kebenaran. Dengan ilmu pengetahuan seharusnya kita membawa manusia
pada kehidupan yang adil dan sejahtera. Jangan jadikan ilmu pengetahuan hanya
untuk mencari nafkah dan jabatan.
“Hai mahasiswa ITS, untuk apa
kau buat robot yang bisa bermain bola atau meniup lilin, dikala rakyat hanya
membutuhkan beras, pakaian dan atap untuk berteduh?!“
Sumber: Dikti.go.id, KBBI, maulanusantara.wordpress.com
*Henry Palmer S-Teknik Sipil
ITS
Diterbitkan
dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!