jimmintarja.com |
Oleh: Bung Rafli*
Kelahiran tiap manusia di dunia ini tentulah bukan
kehendak pribadi masing-masing. Tidak ada yang mengira ataupun memprediksikan
bahwa si A akan lahir di sini, dalam keadaan yang seperti ini, dan akan
memiliki jalan hidup yang begini.
Tak ayal hal seperti inilah yang membuat para
filsuf terus bertanya dan mencari tentang hakikat hidup seorang manusia di
dunia. Seperti pertanyaan yang diajukan Socrates, “Kenalilah dirimu sendiri.
Siapakah kita ini, manusia, makhluk kecil yang nampak tiada bermakna di tengah
alam raya yang maha luas?”
Tapi tentunya kita sepakat, bahwa setiap yang
hidup pasti mati. Dan manusia adalah makhluk yang hidup, dan pastinya ia juga
akan mati kelak. Dan pertanyaan terbesar yang selalu hadir dalam benak manusia
adalah, “kita harus mati dalam keadaan yang bagaimana?”
Seseorang yang memiliki jiwa religiusitas yang
tinggi tentu menjadikan kematian sebagai babak awal kehidupan di alam yang
lebih abadi-akhirat. Sehingga kehidupan di alam fana adalah ajang untuk
menabung dan mempersiapkan diri di kehidupan akhirat kelak. Layaknya seorang
yang menabung hartanya, semakin banyak tabungannya semakin tenanglah dirinya
dalam mengarungi kehidupan. Atau seperti para petani yang menyebar benih di
ladang, semakin banyak benih yang ditaburnya, semakin terbuka pula kesempatan
untuk memanen hasil yang berlimpah. Dan kehidupan adalah tempat untuk
mempersiapkan bekal yang cukup untuk kematian.
Pada umumnya, manusia ingin mati di usia tua.
Setelah ia melewati masa muda, membangun sebuah keluarga, memiliki keturunan,
bekerja keras puluhan tahun, dan beribadah tekun. Dan memang paradigma seperti inilah
yang berlaku di dunia saat ini.
Mayoritas manusia ingin melewati masa mudanya
dengan kenangan, simfoni, dan memori yang indah. Berhasil lulus di setiap
jenjang sekolah, dari SD hingga universitas, bercanda dengan teman sebaya dan
meninggalkan pengalaman semasa muda dengan berkegiatan sebanyak mungkin.
Kemudian ia akan mengarungi kehidupan bersama orang lain, berkeluarga dan
memiliki keturunan. Hal itu menjadikannya memiliki tanggung jawab penuh untuk
bisa menghidupi keluarganya. Lantas ia bekerja keras; menjadi tukang sampah,
tukang becak, pemulung, berdagang, berjualan, dsb. Atau cukup dengan bekerja
cerdas; menjadi manager perusahaan, politikus, menteri, presiden, dsb.
Apakah cukup seperti itu saja? “Tentu tidak”, ia
juga akan beribadah segiat mungkin; bersembahyang, bersedekah, baik terhadap
orang lain-dengan berbagai motif yang ada. Bisa murni untuk bekalnya di
kehidupan abadi atau hanya sebagai pelicin pekerjaannya di dunia. Apapun itu,
yang jelas adalah bahwa segala hal yang dilakukan manusia di dunia, kelak akan
berakhir di satu titik: Kematian.
Lantas timbul pertanyaan-pertanyaan lain di benak
manusia. Tentang usahanya untuk mendapatkan nilai tinggi ketika menempuh
pendidikan formal—apapun caranya, apakah memiliki dampak bagi kematiannya. Atau
tentang sikapnya terhadap kondisi sosial di sekitarnya, juga memiliki dampak
bagi kematiannya. Atau tentang pekerjaan yang dilakukannya dalam mencari harta,
juga memiliki dampak bagi kematiannya. Atau pun tentang ibadahnya selama ini,
apa dampak bagi kematiannya? Tentu manusia tidak mampu menjawab sebelum ia
benar-benar mati. Lantas mengetahui dengan pasti bahwa segala sesuatu yang
dilakukannya di dunia ternyata benar memiliki dampak baginya di alam kematian.
Pertanyaan Socrates cukup menjadi bahan renungan
yang dalam bagi manusia; “Apakah manusia itu? Dan apakah yang merupakan
kebaikan tertinggi bagi manusia?” Mungkin dengan pertanyaan yang demikianlah,
manusia mampu menemukan jawaban untuk kematian yang kelak wajib dihadapinya.
Mati
Muda
Berbeda dari paradigma umum, Soe Hok Gie, seorang
aktivis pergerakan mahasiswa di tahun ’66, memiliki pandangan filosofi yang beda
tentang kehidupan. Dalam sajaknya ia mengatakan, “Nasib terbaik adalah tidak
pernah dilahirkan/Yang kedua dilahirkan
tapi mati muda/Dan yang tersial adalah berumur tua/Berbahagialah mereka yang mati muda/Makhluk kecil kembalilah dari
tiada ke tiada/Berbahagialah dalam ketiadaanmu.” Soe Hok Gie meninggal di
usianya yang ke-26, tepat sehari sebelum hari kelahirannya, pada tanggal
16 Desember 1969 di puncak gunung Semeru. Harusnya ia berulang tahun ke-27 pada
tanggal 17 Desember 1969. Puluhan tahun pasca tragedi tersebut, karyanya banyak
dipublikasikan dan dikenal masyarakat Indonesia, salah satunya adalah Catatan Seorang Demonstran.
Ada pula tokoh Indonesia lainnya yang mati di usia
muda, Chairil Anwar, penyair yang membawa warna baru dalam kesusasteraan
Indonesia menutup mata di usia 26 pada tanggal 28 April 1949. Dalam sajaknya
yang berjudul Maju ia menulis, “Ini
barisan tak bergenderang-berpalu/Kepercayaan tanda menyerbu/Sekali Berarti/Sudah itu mati/Maju.”
Ratusan karyanya menjadi catatan sejarah tentang perjuangan Indonesia dan memiliki
manfaat yang tiada arti bagi masyarakat. Hingga saat ini, banyak masyarakat
yang mengenalnya, walau beda generasi dan tidak pernah bertatap muka. Hal ini
sesuai dengan apa yang ditulisnya dalam sajak yang sangat fenomenal berjudul Aku, “Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Charil Anwar tetap hidup dalam karyanya.
Tokoh yang lain lagi adalah Panglima Soedirman,
jenderal besar pertama milik bangsa ini meninggal di usianya yang ke 35, masih
tergolong muda. Ia terkenal dengan taktik perang gerilya dan semesta semangat ‘merdeka atau mati’. Saat Belanda
melancarkan agresi militernya yang ke dua. Panglima Soedirman tidak tinggal
diam, ia turut berperang bersama para prajuritnya di lapangan, walaupun saat
itu Panglima Soedirman tidak dalam kondisi yang sehat, tapi dengan pengorbanan
yang tiada tara bagi bangsa Indonesia, ia mampu menyalurkan semangat
kemerdekaan bagi para prajurit yang berperang saat itu. Kata-katanya yang tak
mungkin terlupakan dalam sejarah ialah, “Lebih baik di-(bom)-atom dari pada tidak merdeka 100% !”
Dan masih ada beberapa manusia lainnya yang
meninggal dunia di usia muda. Nama mereka akan tertulis abadi dalam sejarah,
bukan karena perbuatan keluarga, saudara, ataupun temannya. Melainkan sesuatu
yang telah diperbuat semasa hidupnya.
Setiap manusia pasti meninggalkan kisah
tersendiri; bagi dirinya, orang tua, keluarga, saudara, teman, dan lingkungan.
Setiap manusia telah menggoreskan sejarahnya dalam kanvas kehidupan tanpa
seorang pun perlu mengetahuinya. Sejarah tersebut akan tetap hidup di sekitar
orang-orang yang mengasihinya. Orang-orang yang selalu merindukannya dan
mendoakannya sepanjang masa.
“Siap(a)kah
manusia dengan kematiannya?”
**Tulisan
ini aku dedikasikan untuk Ika Farizta-kakak sependidikan di Matematika ITS
angkatan 2006, yang menutup mata di usia 23 tahun pada tanggal 2 September 2011.
Aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi aku yakin keputusannya untuk mencari
ilmu hingga jenjang perguruan tinggi adalah bernilai syahid baginya. Amin.
*R. Arif
Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS
Diterbitkan
dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011
Cuma secuap dua cuap komen ga penting;
BalasHapusgambarnya agak ga sinkron dgn judul.
Gambarnya itu banyak dipakai untuk menyiratkan berdiri di persimpangan; bingung memilih langkah mana yang diambil untuk sebuah masa depan (kehidupan nyata).
Sedangkan judulnya adalah; "matimuda" (kematian).
Sekali lg, ini Komen ga penting,soalnya yang lebih penting adalah isinya bukan gambarnya =P
ttg isinya;
menurut saya berbahagialah orang yang mati muda dengan meninggalkan kenangan baik buat sesamanya, yang bahkan jadi inspirasi untuk generasi selanjutnya, seperti yang disebutkan Soe Hok Gie,Chairil Anwar, dll..
Ada pepatah yang sangat baik dari anonymous "live like you are going to die tommorow"
memanfaatkan waktu sebaik2nya seolah2 hari ini adalah hari terakhir kita hidup di bumi. =)
yup.....bener mas.....gambarx memang agak gak nyambung dengan isinya.....cuman memang sengaja mas, sya milih gambar itu.....kalo diposting gambar ttg kematian, agak serem 'gimana gitu',...sbnrnya kan mksud sya, bagaimana kita bersikap dan berbuat selama hidup yg nantix berujung di satu ketetapan yg gak bisa dihindari.....nah dg gambar ilustrasi di atas, mengajak kita untuk memilih jalan hidup yg bagaimana untuk sesuatu yg pasti kelak.....terima kasih
BalasHapusmaaf, saya salah sebut panggilan......mbak krishna Leo Parista.....salam kenal
BalasHapus