Rabu, 07 September 2011

Mereka yang Mati Muda**


jimmintarja.com

Oleh: Bung Rafli*
Kelahiran tiap manusia di dunia ini tentulah bukan kehendak pribadi masing-masing. Tidak ada yang mengira ataupun memprediksikan bahwa si A akan lahir di sini, dalam keadaan yang seperti ini, dan akan memiliki jalan hidup yang begini.
Tak ayal hal seperti inilah yang membuat para filsuf terus bertanya dan mencari tentang hakikat hidup seorang manusia di dunia. Seperti pertanyaan yang diajukan Socrates, “Kenalilah dirimu sendiri. Siapakah kita ini, manusia, makhluk kecil yang nampak tiada bermakna di tengah alam raya yang maha luas?”
Socrates adalah seorang filsuf Yunani yang hidup sekitar abad 4 SM. Dan pertanyaan yang diajukannya itu hingga kini (abad 20) menjadi ladang pemikiran yang sangat luas bagi pemikiran kefilsafatan yang datang selanjutnya. Begitu pula tentang kematian. Tak ada seorang pun yang bisa mengetahui dan menerjemahkannya. Kenapa harus ada kematian? Kapan kematian itu datang? Dan saat yang seperti apakah kematian menghadiri manusia?
Tapi tentunya kita sepakat, bahwa setiap yang hidup pasti mati. Dan manusia adalah makhluk yang hidup, dan pastinya ia juga akan mati kelak. Dan pertanyaan terbesar yang selalu hadir dalam benak manusia adalah, “kita harus mati dalam keadaan yang bagaimana?”
Seseorang yang memiliki jiwa religiusitas yang tinggi tentu menjadikan kematian sebagai babak awal kehidupan di alam yang lebih abadi-akhirat. Sehingga kehidupan di alam fana adalah ajang untuk menabung dan mempersiapkan diri di kehidupan akhirat kelak. Layaknya seorang yang menabung hartanya, semakin banyak tabungannya semakin tenanglah dirinya dalam mengarungi kehidupan. Atau seperti para petani yang menyebar benih di ladang, semakin banyak benih yang ditaburnya, semakin terbuka pula kesempatan untuk memanen hasil yang berlimpah. Dan kehidupan adalah tempat untuk mempersiapkan bekal yang cukup untuk kematian.
Pada umumnya, manusia ingin mati di usia tua. Setelah ia melewati masa muda, membangun sebuah keluarga, memiliki keturunan, bekerja keras puluhan tahun, dan beribadah tekun. Dan memang paradigma seperti inilah yang berlaku di dunia saat ini.
Mayoritas manusia ingin melewati masa mudanya dengan kenangan, simfoni, dan memori yang indah. Berhasil lulus di setiap jenjang sekolah, dari SD hingga universitas, bercanda dengan teman sebaya dan meninggalkan pengalaman semasa muda dengan berkegiatan sebanyak mungkin. Kemudian ia akan mengarungi kehidupan bersama orang lain, berkeluarga dan memiliki keturunan. Hal itu menjadikannya memiliki tanggung jawab penuh untuk bisa menghidupi keluarganya. Lantas ia bekerja keras; menjadi tukang sampah, tukang becak, pemulung, berdagang, berjualan, dsb. Atau cukup dengan bekerja cerdas; menjadi manager perusahaan, politikus, menteri, presiden, dsb.
Apakah cukup seperti itu saja? “Tentu tidak”, ia juga akan beribadah segiat mungkin; bersembahyang, bersedekah, baik terhadap orang lain-dengan berbagai motif yang ada. Bisa murni untuk bekalnya di kehidupan abadi atau hanya sebagai pelicin pekerjaannya di dunia. Apapun itu, yang jelas adalah bahwa segala hal yang dilakukan manusia di dunia, kelak akan berakhir di satu titik: Kematian.
Lantas timbul pertanyaan-pertanyaan lain di benak manusia. Tentang usahanya untuk mendapatkan nilai tinggi ketika menempuh pendidikan formal—apapun caranya, apakah memiliki dampak bagi kematiannya. Atau tentang sikapnya terhadap kondisi sosial di sekitarnya, juga memiliki dampak bagi kematiannya. Atau tentang pekerjaan yang dilakukannya dalam mencari harta, juga memiliki dampak bagi kematiannya. Atau pun tentang ibadahnya selama ini, apa dampak bagi kematiannya? Tentu manusia tidak mampu menjawab sebelum ia benar-benar mati. Lantas mengetahui dengan pasti bahwa segala sesuatu yang dilakukannya di dunia ternyata benar memiliki dampak baginya di alam kematian.
Pertanyaan Socrates cukup menjadi bahan renungan yang dalam bagi manusia; “Apakah manusia itu? Dan apakah yang merupakan kebaikan tertinggi bagi manusia?” Mungkin dengan pertanyaan yang demikianlah, manusia mampu menemukan jawaban untuk kematian yang kelak wajib dihadapinya.
Mati Muda
Berbeda dari paradigma umum, Soe Hok Gie, seorang aktivis pergerakan mahasiswa di tahun ’66, memiliki pandangan filosofi yang beda tentang kehidupan. Dalam sajaknya ia mengatakan, “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan/Yang kedua dilahirkan tapi mati muda/Dan yang tersial adalah berumur tua/Berbahagialah mereka yang mati muda/Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada/Berbahagialah dalam ketiadaanmu.” Soe Hok Gie meninggal di usianya yang ke-26, tepat sehari sebelum hari kelahirannya, pada tanggal 16 Desember 1969 di puncak gunung Semeru. Harusnya ia berulang tahun ke-27 pada tanggal 17 Desember 1969. Puluhan tahun pasca tragedi tersebut, karyanya banyak dipublikasikan dan dikenal masyarakat Indonesia, salah satunya adalah Catatan Seorang Demonstran.
Ada pula tokoh Indonesia lainnya yang mati di usia muda, Chairil Anwar, penyair yang membawa warna baru dalam kesusasteraan Indonesia menutup mata di usia 26 pada tanggal 28 April 1949. Dalam sajaknya yang berjudul Maju ia menulis, “Ini barisan tak bergenderang-berpalu/Kepercayaan tanda menyerbu/Sekali Berarti/Sudah itu mati/Maju.” Ratusan karyanya menjadi catatan sejarah tentang perjuangan Indonesia dan memiliki manfaat yang tiada arti bagi masyarakat. Hingga saat ini, banyak masyarakat yang mengenalnya, walau beda generasi dan tidak pernah bertatap muka. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulisnya dalam sajak yang sangat fenomenal berjudul Aku, “Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Charil Anwar tetap hidup dalam karyanya.
Tokoh yang lain lagi adalah Panglima Soedirman, jenderal besar pertama milik bangsa ini meninggal di usianya yang ke 35, masih tergolong muda. Ia terkenal dengan taktik perang gerilya dan semesta semangat ‘merdeka atau mati’. Saat Belanda melancarkan agresi militernya yang ke dua. Panglima Soedirman tidak tinggal diam, ia turut berperang bersama para prajuritnya di lapangan, walaupun saat itu Panglima Soedirman tidak dalam kondisi yang sehat, tapi dengan pengorbanan yang tiada tara bagi bangsa Indonesia, ia mampu menyalurkan semangat kemerdekaan bagi para prajurit yang berperang saat itu. Kata-katanya yang tak mungkin terlupakan dalam sejarah ialah, “Lebih baik di-(bom)-atom dari pada tidak merdeka 100% !”
Dan masih ada beberapa manusia lainnya yang meninggal dunia di usia muda. Nama mereka akan tertulis abadi dalam sejarah, bukan karena perbuatan keluarga, saudara, ataupun temannya. Melainkan sesuatu yang telah diperbuat semasa hidupnya.
Setiap manusia pasti meninggalkan kisah tersendiri; bagi dirinya, orang tua, keluarga, saudara, teman, dan lingkungan. Setiap manusia telah menggoreskan sejarahnya dalam kanvas kehidupan tanpa seorang pun perlu mengetahuinya. Sejarah tersebut akan tetap hidup di sekitar orang-orang yang mengasihinya. Orang-orang yang selalu merindukannya dan mendoakannya sepanjang masa.
 “Siap(a)kah manusia dengan kematiannya?”
**Tulisan ini aku dedikasikan untuk Ika Farizta-kakak sependidikan di Matematika ITS angkatan 2006, yang menutup mata di usia 23 tahun pada tanggal 2 September 2011. Aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi aku yakin keputusannya untuk mencari ilmu hingga jenjang perguruan tinggi adalah bernilai syahid baginya. Amin.
*R. Arif Firdaus Lazuardi-Mahasiswa Matematika ITS
Diterbitkan dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011

3 komentar:

  1. Cuma secuap dua cuap komen ga penting;
    gambarnya agak ga sinkron dgn judul.

    Gambarnya itu banyak dipakai untuk menyiratkan berdiri di persimpangan; bingung memilih langkah mana yang diambil untuk sebuah masa depan (kehidupan nyata).
    Sedangkan judulnya adalah; "matimuda" (kematian).
    Sekali lg, ini Komen ga penting,soalnya yang lebih penting adalah isinya bukan gambarnya =P

    ttg isinya;
    menurut saya berbahagialah orang yang mati muda dengan meninggalkan kenangan baik buat sesamanya, yang bahkan jadi inspirasi untuk generasi selanjutnya, seperti yang disebutkan Soe Hok Gie,Chairil Anwar, dll..

    Ada pepatah yang sangat baik dari anonymous "live like you are going to die tommorow"
    memanfaatkan waktu sebaik2nya seolah2 hari ini adalah hari terakhir kita hidup di bumi. =)

    BalasHapus
  2. yup.....bener mas.....gambarx memang agak gak nyambung dengan isinya.....cuman memang sengaja mas, sya milih gambar itu.....kalo diposting gambar ttg kematian, agak serem 'gimana gitu',...sbnrnya kan mksud sya, bagaimana kita bersikap dan berbuat selama hidup yg nantix berujung di satu ketetapan yg gak bisa dihindari.....nah dg gambar ilustrasi di atas, mengajak kita untuk memilih jalan hidup yg bagaimana untuk sesuatu yg pasti kelak.....terima kasih

    BalasHapus
  3. maaf, saya salah sebut panggilan......mbak krishna Leo Parista.....salam kenal

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!