putramalaka.wordpress.com |
Oleh: Bung Ucup*
Dua puluh delapan
Maret 1963, Presiden Soekarno menandatangani keputusan presiden RI No.
53 yang menetapkan seseorang sebagai pahlawan kemerdekaan nasional. Seseorang
itu bernama Ibrahim Datoek, sedangkan gelar Tan Malaka atau lebih sering
dikenal dengan nama Tan Malaka. Kalau dibandingkan dengan soekarno, syahrir
ataupun hatta memang Tan Malaka tidaklah terlalu terdengar namanya seperti
mereka bertiga. Akan tetapi perjuangan dan pemikiran-pemikirannya berandil
sangat besar bagi negara dalam mencapai kemerdekaan pada masa pemerintahan
kolonial belanda. Tan malaka Lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat
pada tanggal 19 Februari 1896. Seorang aktivis pejuang yang nasionalis di
bidang pergerakan juga menjadi seorang pemimpin sosialis. Selain itu dia juga
merupakan seorang politisi yang mendirikan partai Musyawarah Rakyat Banyak
(Murba) pada tanggal 7 Nopember 1948 – Bertepatan dengan hari revolusi rusia-.
Partai Murba muncul setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) tersingkir pasca Peristiwa
Madiun September 1948. Partai Murba pada mulanya berasal dari Sarekat Islam
(SI) Jakarta dan Semarang.
Bertemu dengan seseorang yang bernama Semaun saat
berusia 25 tahun membuat Tan Malaka mulai terjun ke dunia politik. Seringkali
mereka berdua berdiskusi mengenai pergerakan-pergerakan revolusioner dalam
menentang pemerintahan Belanda dan merencanakan suatu pengorganisasian dalam
bentuk pendidikan bagi anggota-anggota SI dan PKI. Namun pemerintah kolonial Belanda
melarangnya dengan mengambil tindakan secara tegas bagi pesertanya. Akan tetapi
hal tersebut tak pernah sedikitpun bisa membuat niat dan semangat Tan Malaka
mengendur dalam upayanya mencerdaskan rakyat. Selain itu Tan Malaka juga sering
menentang pemerintah kolonial belanda seperti yang dilakukannya bersama kaum
buruh lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan disertai selebaran-selebaran sebagai
alat propaganda yang ditujukan agar rakyat dapat melihat secara jelas adanya
ketidakadilan yang terjadi pada kaum buruh. Kalau dilihat dan dicermati dari
berbagai sumber cerita dan sejarah, memang terlihat begitu jelas pergulatan Tan
Malaka dengan partai komunis meskipun dia sendiri berpandangan sosialis. Hal
ini tidak juga menjadi penghalang bahwa Tan Malaka juga tidak jarang terlibat
konflik dengan PKI. Tan malaka juga mendapatkan tanggung sebagai wakil komunis
internasional (komintern) selain terdaftar dalam keanggotaan PKI. Pada tanggal
24 Desember 1921, Tan Malaka diundang dalam acara kongres PKI yang berjalan
selama 2 hari tersebut.
Sebulan kemudian Tan Malaka ditangkap dan dibuang
ke Kupang, Nusa Tenggara. Sepanjang hidup secara tak henti-hentinya Tan Malaka
terancam dengan penahanan oleh penguasa kolonial belanda dan sekutu-sekutunya.
Meski secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual
yang penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis internasional untuk
gerakan anti penjajahan di asia tenggara. Dua bulan setelah di buang ke Kupang,
Tan Malaka di usir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.
Perjalanan hidupnya jika di total hampir kurang lebih sepanjang dua kali
keliling dunia, dua benua dan sebelas negara. Hidup sebagai seorang pengembara
menjadikan Tan Malaka dapat menguasai banyak bahasa mulai dari Minang, Indonesia,
Inggris, Jerman, Rusia, Mandarin, Belanda, hingga Tagalog. Buronan merupakan
seseorang yang selalu diburu, ditahan bahkan diancam, memberikan Tan Malaka
berbagai nama samaran yang digunakan untuk mengelabuhi atau mengamankan dirinya
dari kejaran. Ong Song Lee (nama samarannya ketika di hongkong), terhitung nama
samaran Tan Malaka ada sekitar dua belas buah, yang sering digunakannya secara
bergantian sesuai dengan tempat kediamannya saat mengembara. Hidup dalam
penjara juga sudah tak asing lagi bagi Tan Malaka, pahlawan yang menghasilkan
karya berjudul Patjar Merah Indonesia
ini telah menyatu dan menikmati alam penjara sebanyak 11 kali di tanah jawa dan
beberapa kali di hongkong dan filippina.
Tahun 1925, Tan malaka telah menulis sebuah karya
pentingnya “Naar de Republiek Indonesia”
Menuju Republik Indonesia, yang
ditujukan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan negeri Belanda.
Pemberontakan sempat terjadi lagi pada tahun 1926 berakibat ribuan pejuang
politik bangsa ditangkap dan ditahan. Banyak sekali yang disiksa dan dibunuh
bahkan sampai di buang ke Irian Jaya. Meski pada waktu pemberontakan Tan Malaka
berada di luar negeri tepatnya di Bangkok, Thailand, bersama Soebakat dan Djamaluddin
yang merupakan dua sahabat karib seperjuangannya. Bersama mereka berdua Tan
Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI) tepatnya Juni
1927.
Sebagai seorang pahlawan revolusioner yang
hidupnya selalu penuh kejaran dan ancaman, Tan Malaka seringkali menyempatkan
dirinya untuk menghasilkan karya. Banyak sekali karya yang di hasilkannya mulai
dari Parlemen atau Soviet (1920), Semangat Muda (1925), Dari Pendjara ke
Pendjara, Aslia Bergabung (1943), Manifesto Jakarta (1945), hingga karya – karya pentingnya
seperti Madilog (1948), dan Gerpolek (1948) dan masih banyak karya
lainnya yang begitu penting meliputi bidang kemasyarakatan, politik, ekonomi,
soaial, kebudayaan, sampai kemiliteran.
Salah satu
karyanya yang begitu fenomenal adalah Madilog.
Madilog merupakan karya terkenal Tan
Malaka yang mendapatkan banyak pengakuan dari filsuf dunia., karena mampu
menggabungkan tiga aliran filsafat yakni Materialisme, Dialektika dan Logika
menjadi sebuah konsep berpikir. Dalam karya Madilog
ini apabila dibaca memang sangat terasa Materialisme Dialektik – aliran
filsafat yang diusung Friedrich Engels – yang menyempurnakan filsafat sosial Karl
Marx dan kemudian menjadi dasar filosofis Marxisme-Leninisme. Akan tetapi Tan
Malaka mampu melepaskan Marxisme-Leninisme dalam Madilog. Tan Malaka mengatakan bahwa pemikiran logis, dengan paham
dasar dialektis, membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang
sebenarnya. Latar belakang Tan Malaka menuliskan karyanya yang berjudul Madilog ini adalah kegelisahan dan
kerisauannya akan keterbelakangan pola berpikir masyarakat Indonesia saat itu
oleh logika mistika yang merupakan cara berpikir gaib dengan mempercayai adanya
kekuatan-kekuatan gaib dan benda-benda keramat, animisme dan dinamisme.
Dalam karyanya Madilog, Tan Malaka mampu
membenturkan logika mistika dengan pola pikir logikanya. Barangkali Tan Malaka
menyimpan harapan besar lewat Madilog-nya
kepada generasi penerus bangsanya untuk berpikir secara logis dan rasional. Madilog juga merupakan bentuk perlawanan
atas cara berpikir mistik bangsa timur saat itu.
“Sesuatu tidak berubah dengan sendirinya, harus
ada usaha untuk merubahnya.”
Begitulah
kata Tan Malaka, Seorang pahlawan bangsa yang meski dalam hidupnya sebagai
seorang buronan pemerintahan kolonial belanda mampu menghasilkan banyak karya
yang luar biasa, mengabdikan ilmunya sebagai seorang guru dan mendapatkan
pengakuan besar oleh dunia barat.
*Mausuf-Matematika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!