lubang-kecil.blogspot.com |
Oleh: Bung Rafli*
Pada kesempatan diskusi minggu lalu
(16/9), Bung Ucup sebagai pengantar materi menghadirkan sekilas sejarah
persepakbolaan Indonesia. Dengan raut muka serius dan gaya bertutur yang asyik,
ia menyampaikan wawasannya kepada peserta diskusi:
“Belum ada literatur dan bukti sejarah
yang kuat untuk menunjukkan asal mula olahraga sepakbola hadir di Indonesia.
Hingga saat ini, ada dua dugaan kuat yang menunjukkan asal muasal olahraga
tersebut. Pertama, sepak bola di Indonesia berawal saat para pedangang dari
Tiongkok sekitar abad 7 M yang berlabuh di wilayah kerajaan Sriwijaya, dan
mengenalkan permainan sepakbola. Kedua, sepak
bola dibawa masuk ke Indonesia oleh pedagang Belanda yang masuk ke
wilayah nusantara sekitar abad 16 M.
Namun pada tahun 1930, sejarah
mencatat pertama kali berdirinya organisasi yang menaungi kegiatan
persepakbolaan Indonesia. Soeratin Sosrosoegondo adalah pribumi pertama yang
menggagas berdirinya Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI), yang
sekarang kita mengenal akrab kepanjangan PSSI dengan Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia. Soeratin adalah seorang Insiyur lulusan Sekolah Teknik
Tinggi di Heckelenburgn, Jerman. Ia lulus dari almamaternya pada tahun 1927 dan
kembali ke Indonesia satu tahun kemudian.
Pada awalnya Soeratin adalah seorang
aktivis pergerakan di Indonesia. Pasca sumpah pemuda yang dicetuskan pada tahun
1928, Soeratin melihat bahwa sepakbola dapat dijadikan sarana untuk menyemai
semangat nasionalisme ke seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, acapkali
Soeratin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepakbola dan pergerakan
Indonesia di berbagai kota. Seperti Daslam Hadiwisato, Amir Notopratomo,
Soekarno (bukan Bung Karno), dan ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta).
Hal ini akhirnya berujung dengan berdirinya PSSI pada tanggal 19 April 1930.
Soeratin mengadakan pertemuan tersembut secara sembunyi-sembunyi, hal ini
dilakukan untuk menghindari sergapan dari polisi Belanda (PID). Dan sejak saat
itu olahraga sepakbola menjadi jenis perlawanan baru rakyat Indonesia terhadap
kolonial Belanda.”
Bung Doni, salah seorang peserta
diskusi melontarkan pertanyaan kritis, “bagaimana mungkin sepakbola dijadikan
alat perlawanan terhadap penjajah?” Lantas Bung Arif menjawab pertanyaan
tersebut dengan mengambil salah satu kisah dari novel Andrea Hirata Sebelas Patriot, bahwa masyarakat
Belitong yang bertanding sepakbola dengan Belanda memiliki semangat tersendiri
untuk bisa menang melawan Belanda. Dan ketika kemenangan itu benar-benar diraih
oleh tim Indonesia, secara tidak langsung rakyat Belitong mengatakan, “Belanda
tidak berkutik dengan Indonesia.”
Diskusi berjalan langgeng, beberapa
analisa dikemukakan oleh peserta diskusi. Dari kondisi persepakbolaan masa
penjajah hingga era pasca kemerdekaan, kekurangan dan kelemahan persepakbolaan
Indonesia, potensi masyarakat Indonesia dalam bersepakbola, hingga kondisi
ideal yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia dalam persepakbolaan dunia.
Kehadiran peserta diskusi yang datang beberapa menit kemudian, Bung Frans dan
Bung Imot, menambah warna pemikiran yang
beragam dan dinamis.
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Bung
Amirul tentang fenomena jual beli (transfer) pemain, apakah termasuk dalam
katagori human trafficking, membuat
dahi peserta dikusi berkerenyit. Bung Frans menjawabnya dengan pernyataan: “Kalau
di Indonesia transfer pemain bisa dikatakan human
trafficking, bisa juga tidak. Karena undang-undang transfer pemain belum
sepenuhnya menjamin kebebasan hak individu pemain itu sendiri. Lain halnya
dengan di luar negeri, FIFA jelas membuat peraturan bahwa keputusan sepenuhnya
diserahkan ke individu pemain bola masing-masing. Walaupun club yang menaungi setuju untuk menjual pemainnya, tapi jika yang
bersangkutan tidak berkehendak. Maka transfer pemain itu tidak akan terjadi.”
Bung Frans menambahkan, “justru pelegalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah
kasus human trafficking yang disahkan
secara terang-terangan oleh pemerintah.”
Malam semakin larut, diskusi sudah
berjalan 2 jam lebih 16 menit. Seperti biasa, di akhir diskusi setiap peserta
memberikan pemikirannya tentang topik diskusi yang dibahas. Seperti yang
diucapkan oleh Bung Imot, “melihat Indonesia ini lucu, kalau di negara lain
prestasi sepak bola dunia didapatkan dari jerih payah pemainnya meraih
kemenangan di setiap pertandingan. Sedangkan Indonesia, ingin diperhitungkan di
kancah dunia dengan menjadi tuan rumah piala dunia. Seperti yang diungkapkan
oleh mantan wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu.”
Berkiblat pada sejarah masa lalu,
Indonesia sebenarnya pernah meraih prestasi dunia. Pada piala dunia 1938, tim
Indonesia (saat itu Hindia Belanda) menjadi peserta pertama dari Asia yang
lolos ke putaran piala dunia di bawah bendera Nederlandsche Indische Voetbal
Unie (NIVU). Saat itu PSSI belum diakui oleh FIFA sebagai organisasi, sehingga
tidak ada satupun pemain PSSI yang dikirimkan menjadi wakil Indonesia.
Sepakbola Indonesia masa lalu hadir dengan semangat nasionalisme yang begitu
besar. Belum tercampuri dengan kepentingan politik penguasa. Tidak seperti saat
ini, kasus Nurdin Halid dan pemecatan pelatih Alfred Riedl yang sarat dengan
kepentingan politik rasanya cukup sebagai bahan pembelajaran yang berharga bagi
masa depan sepakbola Indonesia. Semoga kita bisa lebih banyak belajar dari
sejarah.
“Bagaimana
masa depan persepakbolaan Indonesia?
Kelak
jawaban itu ada di pundak para pemuda bangsa.”
Salam Kebebasan Berpikir!
*R Arif F L – Matematika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!