Jumat, 23 September 2011

Putri Ayah


faizal.web.id
Oleh: Bung Donny*
“Manusia, agung bukan karena kekuasaan ataupun harta benda, tapi lebih pada banyaknya beban derita yang ditanggung dan jerih payahnya”
Pagi buta, seperti pagi yang telah lalu, hawa dingin menyergap kedamaian tidurku. Seolah sinar mentari yang masih mengintip malu-malu belum cukup untuk menebar kehangatannya. Kusingkap selimutku, kupaksakan kaki melangkah menapaki lantai rumah yang hanya berupa alas tanah. Aku mengambil air untuk segera dimasak. Sebelumnya kunyalakan kompor, bukan, bukan kompor! Itu tak lebih dari tumpukan kayu yang dilalap api. Rutinitas atau kewajiban, atau mungkin keduanya, aku belum tahu. Beginilah yang dilakukan wanita-wanita di desaku tiap paginya. Wanita? Tampaknya aku belum cocok disebut wanita, aku masih seorang gadis. Ibuku, aku tak pernah melihatnya. Hanya ayah. Hampir lupa aku perkenalkan diriku. Namaku,
“Kiranaaa…” Ayah, dengan langkah sedikit gontai kudekati sumber suara itu.
“Ada apa ayah?” Tanyaku sopan pada ayah. ”Ayah tidak pergi mencari makan ternak?” Tanyaku beruntun.
“Iya, setelah ini, bikinkan ayah kopi nak.” Pintanya tanpa memandangku sebentar pun.
Aku kembali ke belakang untuk melihat air yang kumasak. Sudah mendidih rupanya. Aku ambil gelas, kumasukkan bubuk kopi ke gelas tersebut, dan kutuangkan air yang telah masak. Gula? Sudah tiga bulan ini aku tak melihat ada gula. Kami tak mampu membelinya.
“Untuk makan saja uangnya.” Terang ayah waktu itu. Kopi pahit, tiga bulan. Kubawakan kopi panas itu ke depan. Kulihat ayah masih duduk, termenung. Entah melamun atau memang ada hal yang sedang dipikirkannya.
“Ayah, ini kopi, ayah.” Pecahku dalam pagi yang masih hening, “masih pahit seperti kemarin-kemarin.” Kini suaraku sangat pelan bahkan tak terdengar mungkin.
“Nak, duduklah, ada yang ingin ayah bicarakan denganmu.” Nadanya terdengar serius. Tak pernah aku lihat ayah seserius ini. Aku mulai mengira-ngira hal apa yang ingin dibicarakan ayah. Tampaknya hal itu yang mengganggu pikirannya sehingga dia termenung.
“Kau ingin melanjutkan pendidikanmu nak?” Tanya ayah setelah aku duduk di sampingnya. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba bagiku. Sudah dua tahun ini aku berhenti sekolah.
“Ayah, sudah kubilang aku tidak mau sekolah lagi, untuk makan saja uangnya.” Kulihat ayah menyeruput kopinya sedikit-sedikit. “Aku tidak mau membebani ayah lebih berat lagi. Lagi pula untuk apa seorang gadis mengecap pendidikan yang tinggi, setelah menikah nanti tetap akan kembali ke dapur rumah.” Mendengar ucapanku yang terakhir air muka ayah berubah. Ayah nampak murung.
“Itulah mengapa ayah ingin kau melanjutkan pendidikanmu.” Aku tak dapat menangkap maksudnya, bagian perkataanku yang mana yang membuat ayah ingin aku melanjutkan pendidikanku. “Ayah telah gagal mendidikmu nak, sehingga kau bisa berkata seperti itu.” Aku masih takzim mendengarkan ayah, meski aku belum bisa menangkap maksud perkataan ayah.
“Apa kelak saat kau punya anak gadis, kau ingin dia berkata seperti yang kau katakan Kirana?” Aku terkesiap mendengarnya, aku tahu pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban. “Tidak akan pernah rela aku, anak cucuku menjadi orang sepertiku. Anak cucuku harus menjadi orang terpelajar.” Semakin terkesiap aku mendengarnya.
“Kau tahu Juragan Kobir nak?”
Juragan Kobir, siapa yang tidak mengenalnya, nama itu begitu mahsyur di desa kami. Satu-satunya orang berada di desa ini. Tanahnya luas. Kebun, peternakan, semua dia miliki. Semua hal yang dapat menggemukkan pundi-pundi emasnya. Bahkan ayah pun bekerja padanya. Yang kudengar dia orang yang sangat dermawan. Dia sering membantu penduduk di desaku. Yang kutahu juga, juragan Kobir punya tiga istri muda. Entahlah, mungkin para gadis itu terpikat dengan kedermawanannya. Kata orang, dia bisa dapatkan semua yang dia inginkan.
“Iya ayah, aku tahu.”
“Tidak kah kau ingin menjadi sepertinya Kirana? Berkuasa dan kaya raya. Tidak kah kau bahagia hidup seperti itu Kirana?” Aku tetap terdiam, mendengarkan. “Kemarin dia menemui ayah saat sedang bekerja. Dia menanyakanmu Kirana. Dia menanyakan sekolahmu, pendidikanmu. Ayah pun heran kenapa tiba-tiba juragan Kobir menanyakanmu nak, lebih-lebih masalah pendidikanmu.
Tapi ayah jawab saja seadanya. Ayah utarakan mengapa kau tidak sekolah lagi, dan kau tahu nak apa yang membuat ayah tercengang? Setelah ayah jelaskan semua kondisi, dia mengatakan kalau dia bersedia menanggung semua biaya pendidikanmu nak. Dia juga berjanji pada ayah akan menjadikan ayah pengawas di peternakannya nak.” Sejenak aku gembira mendengar semua itu, sampai, “jika kau mau diperistrinya, dan dia akan datang besok.”
Kegembiraan sesaat, dalam sekejap musnah tak bersisa. Telingaku panas mendengarnya, lebih-lebih hatiku. Tak bisa kubendung rasanya amarah ini. Harus kutumpahkan. Ya, harus kutumpahkan, saat ini juga.
“Kau ingin menjualku ayah! Sudah tak tahan kau rupanya hidup miskin begini. Sampai hati kau korbankan putrimu untuk menukar kesusahan dengan kesenangan hidup. Orang tua macam apa kau ini. Bahkan anjing pun akan membela anaknya yang terancam, bahkan anjing pun akan pasang badan membela anaknya, tidak lari! Kau bukan manusia ayah, kau bukan manusia!” Hilang semua rasa hormatku padanya.
Tak bisa kubendung air mataku. Deras mengalir begitu saja membasahi pipiku. Kutinggalkan ayah, aku lari menuju kamar. Tak ingin aku melihat wajah ayah lebih lama lagi. Jijik rasanya. Tak selang berapa lama ternyata ayah menyusulku ke kamar. Dan kini lelaki itu duduk di kasur, mendekatiku. Sementara aku masih tidur tertelungkup, menangis. Masih enggan menolehkan wajah padanya.
“Kirana,” ayah memulai pembicaraan kembali, “kau benar nak, bahkan anjing pun akan pasang badan membela anaknya.” Aku masih tak menggubrisnya, hatiku masih terasa pedih.
“Tenangkanlah sebentar dirimu nak. Tak sedikit pun ayah mengharapkan harta dari juragan Kobir. Jangan kau salah paham nak. Ayah tidak meng-iya-kan tawarannya. Kau akan menikah dengan orang yang kau cintai.” Mendengar perkataan ayah barusan, aku langsung berusaha mengendalikan diriku. “Ayah pun merasa terhina dengan tawarannya. Itu sebabnya juga mengapa ayah ingin kau lanjutkan pendidikanmu. Jadilah seorang wanita terpelajar. Jadilah seorang yang berguna. Sehingga anak cucumu tidak perlu merasakan kehinaan seperti ini, nak. Ayah akan usahakan, dengan jalan yang baik tentunya. Tapi sebelum itu, besok, mari kita hadapi bersama juragan Kobir. Akan ayah tunjukkan bahwa ayah masih berguna untukmu, nak. Ayah akan tunjukkan bahwa ayah bukan seorang kriminil. Sekaligus kita beri pelajaran juragan Kobir. Tidak semua bisa dia dapatkan. Manusia, agung bukan karena kekuasaan ataupun harta benda, tapi lebih pada banyaknya derita yang ditanggung dan jerih payahnya. Kita akan lawan dia, nak.”
Untuk kedua kalinya tangisku pecah, dan semakin deras. Aku telah salah menilai ayah. Aku bangkit dan langsung sujud dihadapannya, kucium kakinya. Orang yang selama ini telah membesarkanku. Aku mohon maaf atas semua kata-kataku yang terlalu hina untuk dirinya yang mulia.
“Ayah,” dengan sekuat tenaga menahan tangis haru. “Jika rasa syukur itu lebih baik dari rasa sayang, aku ingin kau tahu, sungguh aku bersyukur menjadi putri ayah. Terima kasih ayah, telah kau bela putrimu, sebaik-baik dan sehormat-hormatnya.”
Dalam himpitan senja-Surabaya, 17 September 2011
*Donny M V-Matematika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!