faizal.web.id |
Oleh: Bung Donny*
“Manusia,
agung bukan karena kekuasaan ataupun harta benda, tapi lebih pada banyaknya
beban derita yang ditanggung dan jerih payahnya”
Pagi buta, seperti pagi yang telah lalu, hawa
dingin menyergap kedamaian tidurku. Seolah sinar mentari yang masih mengintip
malu-malu belum cukup untuk menebar kehangatannya. Kusingkap selimutku,
kupaksakan kaki melangkah menapaki lantai rumah yang hanya berupa alas tanah.
Aku mengambil air untuk segera dimasak. Sebelumnya kunyalakan kompor, bukan,
bukan kompor! Itu tak lebih dari tumpukan kayu yang dilalap api. Rutinitas atau
kewajiban, atau mungkin keduanya, aku belum tahu. Beginilah yang dilakukan
wanita-wanita di desaku tiap paginya. Wanita? Tampaknya aku belum cocok disebut
wanita, aku masih seorang gadis. Ibuku, aku tak pernah melihatnya. Hanya ayah. Hampir
lupa aku perkenalkan diriku. Namaku,
“Ada apa ayah?” Tanyaku sopan pada ayah. ”Ayah tidak
pergi mencari makan ternak?” Tanyaku beruntun.
“Iya, setelah ini, bikinkan ayah kopi nak.” Pintanya
tanpa memandangku sebentar pun.
Aku kembali ke belakang untuk melihat air yang
kumasak. Sudah mendidih rupanya. Aku ambil gelas, kumasukkan bubuk kopi ke
gelas tersebut, dan kutuangkan air yang telah masak. Gula? Sudah tiga bulan ini
aku tak melihat ada gula. Kami tak mampu membelinya.
“Untuk makan saja uangnya.” Terang ayah waktu itu.
Kopi pahit, tiga bulan. Kubawakan kopi panas itu ke depan. Kulihat ayah masih
duduk, termenung. Entah melamun atau memang ada hal yang sedang dipikirkannya.
“Ayah, ini kopi, ayah.” Pecahku dalam pagi yang
masih hening, “masih pahit seperti kemarin-kemarin.” Kini suaraku sangat pelan
bahkan tak terdengar mungkin.
“Nak, duduklah, ada yang ingin ayah bicarakan
denganmu.” Nadanya terdengar serius. Tak pernah aku lihat ayah seserius ini.
Aku mulai mengira-ngira hal apa yang ingin dibicarakan ayah. Tampaknya hal itu
yang mengganggu pikirannya sehingga dia termenung.
“Kau ingin melanjutkan pendidikanmu nak?” Tanya
ayah setelah aku duduk di sampingnya. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba bagiku.
Sudah dua tahun ini aku berhenti sekolah.
“Ayah, sudah kubilang aku tidak mau sekolah lagi,
untuk makan saja uangnya.” Kulihat ayah menyeruput kopinya sedikit-sedikit.
“Aku tidak mau membebani ayah lebih berat lagi. Lagi pula untuk apa seorang
gadis mengecap pendidikan yang tinggi, setelah menikah nanti tetap akan kembali
ke dapur rumah.” Mendengar ucapanku yang terakhir air muka ayah berubah. Ayah
nampak murung.
“Itulah mengapa ayah ingin kau melanjutkan
pendidikanmu.” Aku tak dapat menangkap maksudnya, bagian perkataanku yang mana
yang membuat ayah ingin aku melanjutkan pendidikanku. “Ayah telah gagal
mendidikmu nak, sehingga kau bisa berkata seperti itu.” Aku masih takzim
mendengarkan ayah, meski aku belum bisa menangkap maksud perkataan ayah.
“Apa kelak saat kau punya anak gadis, kau ingin
dia berkata seperti yang kau katakan Kirana?” Aku terkesiap mendengarnya, aku
tahu pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban. “Tidak akan pernah rela aku, anak
cucuku menjadi orang sepertiku. Anak cucuku harus menjadi orang terpelajar.”
Semakin terkesiap aku mendengarnya.
“Kau tahu Juragan Kobir nak?”
Juragan Kobir, siapa yang tidak mengenalnya, nama
itu begitu mahsyur di desa kami. Satu-satunya orang berada di desa ini.
Tanahnya luas. Kebun, peternakan, semua dia miliki. Semua hal yang dapat
menggemukkan pundi-pundi emasnya. Bahkan ayah pun bekerja padanya. Yang
kudengar dia orang yang sangat dermawan. Dia sering membantu penduduk di
desaku. Yang kutahu juga, juragan Kobir punya tiga istri muda. Entahlah,
mungkin para gadis itu terpikat dengan kedermawanannya. Kata orang, dia bisa
dapatkan semua yang dia inginkan.
“Iya ayah, aku tahu.”
“Tidak kah kau ingin menjadi sepertinya Kirana?
Berkuasa dan kaya raya. Tidak kah kau bahagia hidup seperti itu Kirana?” Aku
tetap terdiam, mendengarkan. “Kemarin dia menemui ayah saat sedang bekerja. Dia
menanyakanmu Kirana. Dia menanyakan sekolahmu, pendidikanmu. Ayah pun heran
kenapa tiba-tiba juragan Kobir menanyakanmu nak, lebih-lebih masalah
pendidikanmu.
Tapi ayah jawab saja seadanya. Ayah utarakan mengapa
kau tidak sekolah lagi, dan kau tahu nak apa yang membuat ayah tercengang?
Setelah ayah jelaskan semua kondisi, dia mengatakan kalau dia bersedia
menanggung semua biaya pendidikanmu nak. Dia juga berjanji pada ayah akan
menjadikan ayah pengawas di peternakannya nak.” Sejenak aku gembira mendengar
semua itu, sampai, “jika kau mau diperistrinya, dan dia akan datang besok.”
Kegembiraan sesaat, dalam sekejap musnah tak
bersisa. Telingaku panas mendengarnya, lebih-lebih hatiku. Tak bisa kubendung
rasanya amarah ini. Harus kutumpahkan. Ya, harus kutumpahkan, saat ini juga.
“Kau ingin menjualku ayah! Sudah tak tahan kau
rupanya hidup miskin begini. Sampai hati kau korbankan putrimu untuk menukar
kesusahan dengan kesenangan hidup. Orang tua macam apa kau ini. Bahkan anjing
pun akan membela anaknya yang terancam, bahkan anjing pun akan pasang badan
membela anaknya, tidak lari! Kau bukan manusia ayah, kau bukan manusia!” Hilang
semua rasa hormatku padanya.
Tak bisa kubendung air mataku. Deras mengalir
begitu saja membasahi pipiku. Kutinggalkan ayah, aku lari menuju kamar. Tak
ingin aku melihat wajah ayah lebih lama lagi. Jijik rasanya. Tak selang berapa
lama ternyata ayah menyusulku ke kamar. Dan kini lelaki itu duduk di kasur,
mendekatiku. Sementara aku masih tidur tertelungkup, menangis. Masih enggan
menolehkan wajah padanya.
“Kirana,” ayah memulai pembicaraan kembali, “kau
benar nak, bahkan anjing pun akan pasang badan membela anaknya.” Aku masih tak
menggubrisnya, hatiku masih terasa pedih.
“Tenangkanlah sebentar dirimu nak. Tak sedikit pun
ayah mengharapkan harta dari juragan Kobir. Jangan kau salah paham nak. Ayah
tidak meng-iya-kan tawarannya. Kau akan menikah dengan orang yang kau cintai.”
Mendengar perkataan ayah barusan, aku langsung berusaha mengendalikan diriku.
“Ayah pun merasa terhina dengan tawarannya. Itu sebabnya juga mengapa ayah
ingin kau lanjutkan pendidikanmu. Jadilah seorang wanita terpelajar. Jadilah
seorang yang berguna. Sehingga anak cucumu tidak perlu merasakan kehinaan
seperti ini, nak. Ayah akan usahakan, dengan jalan yang baik tentunya. Tapi sebelum
itu, besok, mari kita hadapi bersama juragan Kobir. Akan ayah tunjukkan bahwa
ayah masih berguna untukmu, nak. Ayah akan tunjukkan bahwa ayah bukan seorang
kriminil. Sekaligus kita beri pelajaran juragan Kobir. Tidak semua bisa dia
dapatkan. Manusia, agung bukan karena kekuasaan ataupun harta benda, tapi lebih
pada banyaknya derita yang ditanggung dan jerih payahnya. Kita akan lawan dia,
nak.”
Untuk kedua kalinya tangisku pecah, dan semakin
deras. Aku telah salah menilai ayah. Aku bangkit dan langsung sujud
dihadapannya, kucium kakinya. Orang yang selama ini telah membesarkanku. Aku
mohon maaf atas semua kata-kataku yang terlalu hina untuk dirinya yang mulia.
“Ayah,” dengan sekuat tenaga menahan tangis haru.
“Jika rasa syukur itu lebih baik dari rasa sayang, aku ingin kau tahu, sungguh aku
bersyukur menjadi putri ayah. Terima kasih ayah, telah kau bela putrimu, sebaik-baik
dan sehormat-hormatnya.”
Dalam
himpitan senja-Surabaya, 17 September 2011
*Donny M V-Matematika
ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!