agakmnisw.com |
Oleh: Bung Yaumil*
Tentang
Perempuan Itu;
Selendang panjangnya tergurai, matanya menatap
tajam ke segala penjuru laut, dialah laksamana perempuan pertama di dunia. Dari
atas haluan Galleys Al Lathiif dia
berteman dengan ombak dan angin-angin samudra yang berseru; perempuan itulah
penguasa lautan dan lelangitan biru menjadi saksi atas keganasannya menumpas
penjajah. Ya…seorang pahlawan dari Alam Dzulfikar Kerajaan Darud Donya
Darussalam—salah satu kerajaan besar di Nusantara yang terletak di Semenanjung Barat
Laut Sumatra.
Keumala berasal dari kalangan Sultan atau
bangsawan Aceh. Ayah Keumala bernama Mahmud Syah, sedangkan kakek dari garis
ayahnya bernama Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539
M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughyat
Syah (1513-1530) yang merupakan pendiri kerajaan Aceh Darussalam. (Manuskrip
M.S Universitas Malaysia dan Rusdy Sufi, 1994: 30-33)
Perempuan bersuara halus itu memilih pendidikan
laut seperti ayah dan kakeknya. Tapi sebelum itu Keumala telah melalui jenjang
pendidikan agama; di Meunasah, RanAkang dan Dayah. Karena kecerdasannya diapun
diterima menjadi taruna akademi militer tersebut, dua tahun pertama dia
lewatkan dengan prestasi yang sangat membanggakan.
Nama Keumala dalam bahasa Aceh mengandung arti
batu yang indah dan bercahaya, berkhasiat juga mengandung kesaktian
(Poerwadarminto, 1989:414). Namun sepanjang sejarah mencatat, tanggal kelahiran
dan kematian Keumala tak pernah diketahui secara pasti. Dapat ditafsirkan bahwa
masa hidup Keumala berkisar di akhir abad XV dan XVI.
Keumala bukanlah perempuan biasa, di saat remaja
banyak sekali yang telah jatuh cinta pada kecantikannya bahkan tidak sedikit
yang melamarnya, tetapi belum ada yang mampu membuat Keumala bertekuk lutut.
Bagi Keumala yang terpenting untuk saat itu adalah pendidikan. Dan Tuanku
Mahmuddin bin Said Al Latief, nama seorang pangeran muda dari daratan Meulaboh
yang menjadi suami Keumala yang juga lulusan Baitul Makdis.
Ujian
Perempuan Itu;
Untuk pertama kali ia jatuh cinta dalam hidupnya
kepada Seorang pria gagah berani nan perkasa. Untuk pertama kali pula dia
kehilangan orang yang sangat dicintainya itu. Tuanku Mahmud meninggalkan
Keumala disaat dia sedang mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak diberi
nama Cut Putroe Dek Bahari Kencana. Tuanku Mahmuddin yang memegang jabatan panglima
perang kerajaan tewas bersama ribuan prajurit lainnya di medan perang sewaktu pasukan
Darud Donyan berhasil menang dan mengusir Portugis di Teluk Haru, Selat Malaka.
Tidak hanya itu, Cut Dek—anak simata wayangnya hilang
dicuri oleh pengkhianat kerajaan untuk menghentikan garak seorang perempuan
Keumala yang dikenal sangat keras tanpa kompromi dengan kejahatan. (Keumala;
Endang Moerdopo)
Perjuangan
Perempuan Itu;
Setelah lulus dari Baitul Makdis, Keumala
mengabdikan hidupnya pada Kerajaan Darud Donya Darussalam yang dipimpin oleh
seorang raja bijak bernama Sultan Allaidin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604).
Jabatan pertamanya; Komando Protokol Istana, jabatan yang sangat penting bagi
keistanaan karena tak semua orang mampu mengisi jabatan tersebut, hanya
orang-orang terpercaya saja. Jabatan tersebut sangat besar tanggungjawabnya—
harus menguasai prihal etika dan keprotokolan sebagaimana lazimnya
kerajaan-kerajaan di dunia.
Banyak orang istana yang membenci Keumala karena
kejujurannya dan tulusnya pengabdian yang dia berikan kepada rakyat dan
kerajaan. Karena jabatannya tersebut Keumala harus kehilangan putranya.
Tuanku Mahmuddin dan Cut Dek menjadi motivasi
utamanya dalam menegakkan kebenaran, langkah kecil telah banyak bertebar dan
kini saatnya langkah yang besar untuk membuktikan bahwa seorang perempuan tidak
hanya soal menagis dan mengeluh saja, tapi lebih dari itu.
Strategi awal dirumuskannya, dimintanya izin
kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada pasukan laut Aceh yang
prajurit-prajuritnya semua adalah wanita-wanita janda yang suami mereka gugur
dalam peperangan di Teluk Haru. Pasukan tersebut diberi
nama Armada Inong Bale (Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng
Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk
Lamreh Krueng Raya dan dia pun mendirikan benteng yang masih ada hingga saat
ini.
Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya
berkekuatan sekitar seribuan orang janda muda, berjalannya waktu banyak gadis
remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee hingga pasukannya
berjumlah sekitar 2000an perempuan. (A. Hasjmy, 1980: 3).
Laksamana
Keumala bertugas mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar (Van
Zeggelen, 1894 : 88-89) dan juga kapal-kapal jenis Galleys milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 149). John
Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal
Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh menyebutkan; “Kerajaan Aceh pada masa
itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah Galleys, di antaranya berkapasitas muatan
sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang
wanita berpangkat laksamana.”(Davis dalam Yacobs, 1894).
Pada
tanggal 21 Juni 1599 dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de
Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-masing
dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan
Frederick de Houtman. Pada awalnya kedua kapal Belanda tersebut mendapat sambutan
baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan
yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan
dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda.
Sultan Al
Mukammil menjadi berang kepada Belanda yang menjalin hubungan dagang. Setelah
beberapa waktu orang-orang Belanda semakin menunjukkan sifat aslinya. Memperkosa
perempuan-perempuan, mabuk-mabukan dan merampas juga membentuk harga pasar baru
sesuai harga mereka. Penyerangan terhadap kapal belanda pun telah diputuskan.
Laksama Keumala mendapat amanah untuk menyelesaikan tugas beratnya.
Dalam penyerangan tersebut, Cornelis
de Houtman terbunuh oleh pedang Keumala sedangkan Frederick de Houtman
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. (Van Zeggelen; Oude Glorie, Davis dalam Yacobs, 1984 : 180;
Tiele, 1881 : 146-152). Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan
Aceh selama 2 tahun. Keumala
layak di sandingkan dengan Srikandi yang berhasil membunuh Maharsi Bisma.
Tidak
hanya jago dalam berperang dan mengorganisir, Keumala juga menguasai ilmu
diplomasi. Di dalam perjalanan Belanda untuk membebaskan Frederick de Houtman,
kapal belanda mencuri dan menengglamkan kapal dagang aceh. Keumala turun tangan
menjadi diplomat ulung yang berakibat Belanda harus membayar denda sebesar
50.000 gulden kepada pihak Aceh dan uang sejumlah tersebut benar-benar dibayarkan
kepada Aceh. (de Jonge, 1862 : 234).
Salam
Kebebasan Berfikir
Surabaya , Malam 15 Agustus 2011
*Yaumil F Gayo-KAM ITS
Diterbitkan
dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!