Rabu, 07 September 2011

Laksamana Itu Bernama Keumala Hayati


agakmnisw.com

Oleh: Bung Yaumil*
Tentang Perempuan Itu;
Selendang panjangnya tergurai, matanya menatap tajam ke segala penjuru laut, dialah laksamana perempuan pertama di dunia. Dari atas haluan Galleys Al Lathiif dia berteman dengan ombak dan angin-angin samudra yang berseru; perempuan itulah penguasa lautan dan lelangitan biru menjadi saksi atas keganasannya menumpas penjajah. Ya…seorang pahlawan dari Alam Dzulfikar Kerajaan Darud Donya Darussalam—salah satu kerajaan besar di Nusantara yang terletak di Semenanjung Barat Laut Sumatra.
Keumala berasal dari kalangan Sultan atau bangsawan Aceh. Ayah Keumala bernama Mahmud Syah, sedangkan kakek dari garis ayahnya bernama Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughyat Syah (1513-1530) yang merupakan pendiri kerajaan Aceh Darussalam. (Manuskrip M.S Universitas Malaysia dan Rusdy Sufi, 1994: 30-33)
Darah berani dalam jiwa bahari itulah yang diambil Keumala dari Ayah dan Kakeknya yang juga seorang laksamana tangguh. Keumala kecil telah bercita-cita; bahwasanya suatu saat nanti dia akan mengarungi samudra dan menjadi seorang laksamana berani. Tak pelak saat itu Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki akademi militer bernama Ma’had Baitul Makdis yang terdiri dari pendidikan darat dan laut. sebagian instrukturnya berasal dari Turki.
Perempuan bersuara halus itu memilih pendidikan laut seperti ayah dan kakeknya. Tapi sebelum itu Keumala telah melalui jenjang pendidikan agama; di Meunasah, RanAkang dan Dayah. Karena kecerdasannya diapun diterima menjadi taruna akademi militer tersebut, dua tahun pertama dia lewatkan dengan prestasi yang sangat membanggakan.
Nama Keumala dalam bahasa Aceh mengandung arti batu yang indah dan bercahaya, berkhasiat juga mengandung kesaktian (Poerwadarminto, 1989:414). Namun sepanjang sejarah mencatat, tanggal kelahiran dan kematian Keumala tak pernah diketahui secara pasti. Dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumala berkisar di akhir abad XV dan XVI.
Keumala bukanlah perempuan biasa, di saat remaja banyak sekali yang telah jatuh cinta pada kecantikannya bahkan tidak sedikit yang melamarnya, tetapi belum ada yang mampu membuat Keumala bertekuk lutut. Bagi Keumala yang terpenting untuk saat itu adalah pendidikan. Dan Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, nama seorang pangeran muda dari daratan Meulaboh yang menjadi suami Keumala yang juga lulusan Baitul Makdis.
Ujian Perempuan Itu;
Untuk pertama kali ia jatuh cinta dalam hidupnya kepada Seorang pria gagah berani nan perkasa. Untuk pertama kali pula dia kehilangan orang yang sangat dicintainya itu. Tuanku Mahmud meninggalkan Keumala disaat dia sedang mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak diberi nama Cut Putroe Dek Bahari Kencana. Tuanku Mahmuddin yang memegang jabatan panglima perang kerajaan tewas bersama ribuan prajurit lainnya di medan perang sewaktu pasukan Darud Donyan berhasil menang dan mengusir Portugis di Teluk Haru, Selat Malaka.
Tidak hanya itu, Cut Dek—anak simata wayangnya hilang dicuri oleh pengkhianat kerajaan untuk menghentikan garak seorang perempuan Keumala yang dikenal sangat keras tanpa kompromi dengan kejahatan. (Keumala; Endang Moerdopo)
Perjuangan Perempuan Itu;
Setelah lulus dari Baitul Makdis, Keumala mengabdikan hidupnya pada Kerajaan Darud Donya Darussalam yang dipimpin oleh seorang raja bijak bernama Sultan Allaidin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604). Jabatan pertamanya; Komando Protokol Istana, jabatan yang sangat penting bagi keistanaan karena tak semua orang mampu mengisi jabatan tersebut, hanya orang-orang terpercaya saja. Jabatan tersebut sangat besar tanggungjawabnya— harus menguasai prihal etika dan keprotokolan sebagaimana lazimnya kerajaan-kerajaan di dunia.
Banyak orang istana yang membenci Keumala karena kejujurannya dan tulusnya pengabdian yang dia berikan kepada rakyat dan kerajaan. Karena jabatannya tersebut Keumala harus kehilangan putranya.
Tuanku Mahmuddin dan Cut Dek menjadi motivasi utamanya dalam menegakkan kebenaran, langkah kecil telah banyak bertebar dan kini saatnya langkah yang besar untuk membuktikan bahwa seorang perempuan tidak hanya soal menagis dan mengeluh saja, tapi lebih dari itu.
Strategi awal dirumuskannya, dimintanya izin kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada pasukan laut Aceh yang prajurit-prajuritnya semua adalah wanita-wanita janda yang suami mereka gugur dalam peperangan di Teluk Haru. Pasukan tersebut diberi nama Armada Inong Bale (Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya dan dia pun mendirikan benteng yang masih ada hingga saat ini.
Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya berkekuatan sekitar seribuan orang janda muda, berjalannya waktu banyak gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee hingga pasukannya berjumlah sekitar 2000an perempuan. (A. Hasjmy, 1980: 3).
Laksamana Keumala bertugas mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar (Van Zeggelen, 1894 : 88-89) dan juga kapal-kapal jenis Galleys milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh menyebutkan; “Kerajaan Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah Galleys, di antaranya berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang wanita berpangkat laksamana.”(Davis dalam Yacobs, 1894).
Pada tanggal 21 Juni 1599 dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Pada awalnya kedua kapal Belanda tersebut mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda.
Sultan Al Mukammil menjadi berang kepada Belanda yang menjalin hubungan dagang. Setelah beberapa waktu orang-orang Belanda semakin menunjukkan sifat aslinya. Memperkosa perempuan-perempuan, mabuk-mabukan dan merampas juga membentuk harga pasar baru sesuai harga mereka. Penyerangan terhadap kapal belanda pun telah diputuskan. Laksama Keumala mendapat amanah untuk menyelesaikan tugas beratnya.
Dalam penyerangan tersebut, Cornelis de Houtman terbunuh oleh pedang Keumala sedangkan Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. (Van Zeggelen; Oude Glorie, Davis dalam Yacobs, 1984 : 180; Tiele, 1881 : 146-152). Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Keumala layak di sandingkan dengan Srikandi yang berhasil membunuh Maharsi Bisma.
Tidak hanya jago dalam berperang dan mengorganisir, Keumala juga menguasai ilmu diplomasi. Di dalam perjalanan Belanda untuk membebaskan Frederick de Houtman, kapal belanda mencuri dan menengglamkan kapal dagang aceh. Keumala turun tangan menjadi diplomat ulung yang berakibat Belanda harus membayar denda sebesar 50.000 gulden kepada pihak Aceh dan uang sejumlah tersebut benar-benar dibayarkan kepada Aceh. (de Jonge, 1862 : 234).
Salam Kebebasan Berfikir
Surabaya , Malam 15 Agustus 2011
*Yaumil F Gayo-KAM ITS
Diterbitkan dalam buletin Langkah Awal edisi 14, 5-18 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!