Selasa, 23 Agustus 2011

“Sebilah Lalu……”


Oleh: Bung Yaumil*
“Bathori! Bathori!” seseorang berteriak.
Belasan ibu-ibu masuk kembali kedalam rumah gubuk yang cukup besar, seperti aula yang tertutup. Riuh di dalamnya. Disisi lain kampung tak ada kunampak anak-anak kecil dan kaum lelaki. “Kemana mereka semua?” Bisik batinku.
Perkiraanku saat ini telah memasuki sore hari. Matahari tak lagi garang dalam pandangan. Tidak banyak rumah yang terjebak dalam lembah ini. Kaki gunung yang indah. Karena semua gundukan tinggi ini kelihatan berbaris gagah menantang. Tak ada satupun aku lihat penduduk kampung ini bersifat primitif namun tidak ada pula kulihat tiyang listrik.
Kampung itu kelihatan sudah lama di tempati orang-orang berkulit kuning berbintik pada kulitnya, khas manusia gunung. Mereka tidak nomaden dan tak ada bekas dibukanya hutan. Tak ada pula aku lihat kehadiran pertanian.
Aku masih haus untuk bertanya. Sayang seribu sayang, kau tak ada disampingku.
Kunikmati senikmat-nikamatnya pemandangan ini. Walau tanpa bahasa dan kata. Aku tenggelam dalam keindahan ini.
“Luruih! Luruih!” seseorang berteriak, aku tak tahu dari mana asal suara itu dan apa artinya.
Seperti diperintah oleh mandor, perempuan-perempuan baya itu kembali keluar dari gubuk besar, dan berpencar menuju kediamannya masing-masing. Tertangkap olehku setiap rumah di masuki 2 hingga 3 wanita baya. Aku semakin tak yakin ada agama disini. Namun mereka tidak keterbelakangan juga tidak modern. Mereka mengenakan pakaian yang cukup sopan. Kampung ini sangat damai, damai sedamai-damainya. gubuk mereka sama semua kecuali gubuk besar itu, berada tepat di pusat perkampungan.
Aku semakin haus. Aku turuni gundukan tinggi tempat aku memandang kampung yang terperangkap ini.
“Senang namun tak tenang, rindu namun pilu, gusar namun segar.” Itu yang aku rasakan menemukan kampung asing ini. Tak menentu rasanya hati yang berdendang riuh dan ricuh tak acuh.
Alam kampung yang ramah menyambut, sukar aku menjelaskan, aku sayang pada pandangan pertama. Tapi apakah orang-orang disini juga ramah menyambutku? “Belum tentu barangkali.” Aku masuki kampung dan belum ada yang menyapa jua. Nun sepi lalu senyap dan kembali sepi lalu-berlalu.
Pikiranku memberikan masukan bahwa tidak lama lagi akan ada perayaan besar di desa ini. Pesta. “Hmm…tapi malah hatiku mengatakan pesta baru saja berlalu.”
Aku coba bermain dengan alam khayal, karena tak seorang pun dapat aku ajak berkomunikasi, tak seorang jua aku temukan berkeliaran paling tidak mencoba mencari tahu siapa orang asing yang baru datang ini. Dan akupun tak mengerti bahasa yang mereka gunakan.
Kampung dengan gubuk panggung itu memiliki jarak 6 meter dari satu gubuk ke gubuk lainnya. Rapi. Buat apa gubuk panggung di pegunungan seperti ini, tak ada banjir bahkan tak ada ternak. Tapi pasti ada maksud lain dari panggung yang ada dibawah gubuk-gubuk sana.
Sadar bahwa jaket belakangku sedang ditarik-tarik halus. Aku menoleh. Seorang anak kecil berumur sekitar 10 tahun. Kupandangi matanya dalam-dalam. Bak jendela tangisan yang ditahan-tahan. Kulitnya kuning dengan bintik hitam di wajah. Memakai kaus oblong hitam dan celana panjang tebal berwarna hitam. Pun lusuh aku melihat pakaiannya yang aku yakini bocah lelaki itu hanya memiliki 2 pasang pakaian, jika satu dipakai dan satunya lagi berarti sedang di cuci.
Aku coba berkomunikasi, tak ketemu. Aku coba memakai bahasa tubuh, tak ketemu. Aku coba dengan ekspresi juga tak ketemu. Aku pandang matanya dengan memberikan pesan yang kuucapkan dalam hati.
“Siapa namamu kawan kecil?” Berulang aku bisikkan agar energi itu sampai pada frequensi cerebrum-nya.
Akhirnya dia merespon, ditariknya tangan kiriku ke sebuah gubuk sederhana, paling ujung yang telah aku lalui tadi. Seperti bangunan selamat datang yang menyambut, karena gubuk itu terletak paling pojok dari jalan setapak. Langit gelap dan udara semakin dingin, mulutku mengeluarkan asap yang mengepul-ngepul.
Ketika masuk, petongan kayu yang di posisikan telah dilahap si jago merah. “Terima kasih”, sungguh hangat ruangan ini. Tak ada siapa-siapa di dalam gubuk petak ini. Lebarnya hanya 3×5 dan tinggi gubuk ini 170 cm pas seperti tinggiku. Aku harus sedikit membungkuk karena persilangan kayu untuk menahan atap tepas diatasnya. Ruangan yang ciptakan semata hanya untuk kehangatan. Sebuah perhitungan yang luar biasa. Tak banyak pula aku lihat properti diruangan ini, kosong. Tak ada kecurigaan sedikitpun karena aku merasa nyaman dengan kampung ini walau untuk pertama kali aku menyetubuhinya.
Dihidangkannya aku semangkok sop namun bukan sop, makanan khas kampung ini barang kali. Cair dan sangat hangat yang dimasaknya dari atas perapian. Apakah dia tinggal sendiri? Dimana orang tuanya? Tak adakah saudaranya? Bodohnya aku tak melihat apakah rumah ini dimasuki oleh perempuan-perempuan baya itu atau tidak…..sudahlah.
Diberikannya aku selimut tebal. Langsung aku baringkan tubuhku, terasa lepas semua penat. Dan bocah itu tidur juga disampingku, dengan selimut yang sama. Berbaring ke kiri aku tidur membelakanginya. Tak lama dipeluknya aku. Aku rasakan kerinduan yang amat dalam terpancar dari rangkulannya, aku tahu dia sedang sangat bersedih.
Jingga dan memerah berebut perhatian langit pagi. Awan tak beriak bahkan aku masih didampingi gunung gagah yang begitu sombong. Aku sambut dengan senyum simpul tapi hatiku sangat puas dengan segalanya yang disekitarku saat ini. Aku lihat pertarungan klasik antara warna dari depan gubuk yang aku tinggali. Akulah manusia pertama yang bangun di pagi ini.
“Ah, tidak juga ternyata, kemana bocah itu?”
Suara teriakan memenuhi kampung. Aku kaget, ada apa ini? Kucoba menenangkan pikiranku, ini dia pesta yang aku perkirakan. Suara itu menggama oleh lembah yang memantulkan suara mistis yang kental. Aku harus apa, bingung sekali. Menunggu yang bisa aku lakukan.
Sayup-sayup aku melihat dari balik belukar, beberapa pria kampung menggiring seorang pria seperti binatang buruannya, kampung ini memiliki perempuan yang lebih dominan. Mereka pun ada disana, bahkan perempuan baya yang aku perhatikan kemarin juga ada disana. Tangis anak kecil semakin mengentalkan suasana bahwa ini bukan suatu pesta.
“Atau sebuah pembantaian?” Tidak mungkinlah.
Begitu ramainya, tegangnya dan riuhnya teriakan dan hentakan kaki. Lelaki itu digotong ketengah perkampungan.
“Dia akan diadili!”
Namun dia seperti setengah mati menahan sakit. Tubuh kekarnya dipenuhi sayatan, tak dalam beks bacokan itu tapi sangat banyak menghiasi tubuhnya. Semua melingkarinya. Darahnya menggila.
Aku tak tahu apa yang aku rasakan saat-saat menegangkan ini, aku merasa mereka tak adil. Menghardik lelaki itu. Terus menghardik bahkan ada yang meludahi dan mengencinginya, alangkah tidak sopan dan beradabnya. Namun mereka begitu menikmati dengan dendam yang membabi buta.
Air mataku mengalir. Aku takut melihat kejadian itu.
Aku kelilingi lingkaran yang dibentuk oleh tubuh-tubuh orang kampung, berusaha untuk lebih dekat dengan lelaki yang terus dihardik seperti hewan itu. Aku sangat yakin lelaki itu tidak bersalah. Tak ada dasar, dia orang hebat dan besar di kampung ini. Aku yakin dia bukan orang sembarang. Tapi kenapa sekejam itu, kenapa harus disiksa. Dia tidak bersalah. Aku sangat yakin.
Bagaimana caraku mengkomunikasikannya kepada orang-orang kampung ini. Bagaimana caraku untuk menolongnya.
“Tuhan telah mati disini, yang berkuasa adalah yang buas.”
Aku harus menolongnya, sebelum dia disiksa tanpa ada pembelaan. Aku yakin dia tak tahu duduk perakaranya. Dan orang-orang itu tak mau tahu, terus saja menyiksa dan memaki. Terus-terus saja. Tak rela aku melihatnya, tak kuat aku mendengarnya. Lelaki baya yang tersiksa itu hanya bisa meraung lemah. Tenaganya telah musnah. Tak ada lagi perlawanan darinya.
Pandangan kami bertemu, dilihatnya aku dan akupun melihatnya. Aku mengeluarkan air mata tanpa teriakan. Pasrah. Sedangkan dia masih sempat melemparkan senyum kepadaku. Senyum ketir yang iklas. Senyum yang membuatku tak rela aku melepas kepergiannya.
“Aku harus menolong dia, tak bisa aku melihatnya diperlakukan seperti itu.”
Kucari akal, kulihat ada sebilah parang disamping gubuk. Kuperhatikan mata parang, sungguh tajam. Aku harus akhiri semua ini. Aku harus menyelesaikannya, tak kuat aku lagi melihat adegan yang sangat meremukkan hati, begitu menghancurkan.
Dengan air mata aku bersumpah bahwa kau adalah yang kucinta hidup mati. “Kematian ibu bukanlah kesalahmu ayah.” Kutembus barisan manusia itu. Kutikam tepat pada jantungnya.
Mati dia/ dan semua terasa senyap/ kampung tak bersuara dan tak ada satu desahan nafas berkelana/ seorang anak membunuh ayahnya/ kini lebih deras airmata itu jatuh/ kampung ini sungguh ingin membunuhku dengan segala kerinduan dan masa lalu/ aku pulang ayah/ tapi tak ada yang menyambut/ kampung ini yang mati ayah/ maafkanlah/ matilah kampung ini, ayahku sayang yang kurindu dan kupuja hidup matiku..
*Yaumil F Gayo – KAM ITS
Surabaya, Pagi 16 agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!