Selasa, 23 Agustus 2011

Siluet '45


dakwah-muda.blogspot.com
Oleh: Bung Malik*
“Tak bisakah kau menundanya, walau hanya sejenak?”
“Tidak.”
“Bukankah sebelumnya kau selalu memberi keteduhan kepada mereka dan tanah itu?”
Terdiam.
“Maka Berikanlah secuil harapan dan kesempatanmu sekali lagi.”
Namun rintihku lagi-lagi disambar dengan kata ‘TIDAK’ secara lantang dan tanpa pikir panjang.
“Aku sudah muak dengan kekonyolan itu.”
“Perjanjian sudah jelas dan inilah waktunya.”
“Pergilah!”
Menggelegar suaranya memenuhi segala penjuru sekaligus menutup perbincangan panjang dan lebar diantara kami yang tak membuahkan hasil apapun bagiku. Perdebatan yang nampak berjalan satu arah tanpa toleransi sedikit pun tanpa celah pengharapan atas permohonanku untuk mengurungkan niatnya yang sudah bulat sempurna.
Sebelum semuanya bertambah rumit dengan berat hati, aku putuskan untuk bergegas segera pergi. Walau kusadari bahwa keputusasaan telah sigap membuntuti dari belakang dan sewaktu-waktu sanggup menyergapku tanpa belas kasihan.
Sepanjang perjalanan aku merenung. Mengulang-ulang perbincangan sengit yang lalu dalam benakku. Membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Menerawang apapun  yang bakal menimpa tanpa belas kasihan.
Selintas dalam khayal bergumam; “bagaimana jadinya kalau hal itu benar-benar terjadi?”
. . . . . . . . . . . . . . . .
“Ah…tak sanggup lagi aku, tak sanggup. Tak sanggup aku menyaksikannya kelak.”
Dengan carut-marut hati dan pikiran, sampailah aku di tanah ini tanpa membawa seberkas harapan. Aku hinggap di salah satu sudut, di tempatku biasanya bertengger untuk melepaskan pandangan kepada mereka. Setelah segala kesia-siaan kucurahkan, setelah seluruh usaha kukerahkan.
“Apa lagi yang dapat ku berbuat untuk mereka dan tanah ini?” Aku berfikir keras, memeras otak dan sisa-sisa kekuatanku demi mencari jalan keluar terbaik atas semua ini. Aku masih terus menerka dan menerka.
“Masihkah ada harapan?”

*

Tanpa sadar, pelan-pelan butiran kristal lembut berlinangan dari pojokan netra, tatkala kutatap tanah ini. Tanah yang telah sekian waktu lamanya menjadi tempat mereka menghimpun barisan mimpi yang menjembul dari hati. Bagaikan semburat mata air, berdesak mencoba keluar dari sumbernya serta riang gembira menyerobot dan mendahului satu sama lainnya untuk memancar.
Ya….disini, kala itu, tak jarang mereka bergerombol seperti layaknya kawanan lebah yang bercengkerama mengumpulkan nektar untuk disulapnya menjadi madu.
Ada yang sekedar duduk-duduk santai melepas penat dan lelah setelah sekian waktu mencurahkan pikiran dan energinya untuk merampungkan rutinitas yang mereka geluti sambil menikmati secangkir kopi favorit, diselingi canda tawa ringan yang mewarnai di sela-sela waktu mereka meneguk kopi hitam dan kental yang telah terseduh di depannya.
Ada juga yang berniat untuk menghilangkan rasa lapar. Mengganjal dengan santapan yang tersedia di tanah ini. Disini , kurasa, selalu sanggup memenuhi segala hal yang mereka inginkan.
Dan apapun yang dilakukan, yang jelas tanah ini telah menjelma sebagai tempat yang cocok untuk segala urusan.
Terlebih, wujud tempat ini nampak begitu istimewa, bagi mereka dan menyejukkan pandanganku seperti obrolan renyah mereka tentang nasib suatu kaum yang luput dari perhatian kebanyakan orang. Tentang perjalanan hidup seseorang yang mampu menancapkan inspirasi dalam dada. Dongeng-dongeng yang menceritakan berbagai kisah di waktu lampau atau khayalan yang terekam kuat dalam imajinasi. Atau hanya sekedar curhat tentang segala keluh kesah yang sesak di hati.
“Duka lara, gelak tawa, bercampur aduk menjadi satu membentuk jalinan indah yang tak terukur.”
**
Jalinan keindahan yang telah terukir, sebenarnya tak luput dari campur tanganku dan dia—sang mega yang mengintai apapun yang berada di bawah. Sosok yang memberi keteduhan bagi siapapun.
Dia yang saat itu melintas, merasa bahwa tanah ini merupakan serpihan kecil dari tanah yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Merupakan sekelumit dari nusantara yang diperebutkan sekian abad lamanya. Tempat yang dirasa kelak ada orang yang mampu mengisi hari-hari terbebasnya, dari penindasan tiada henti. Akhirnya, dia putuskan untuk memberi kasihnya kepada tanah ini, menjadi tempat yang begitu menyenangkan sekaligus hadiah atas kelahiranku di tanah ini.
“Kelak...
jika keindahan tanah ini mulai memudar,
jika mereka sudah tak sudi lagi menginjakkan kakinya,
Jika mereka sudah enggan menjaga apa yang kuberikan,
Jika mereka sudah lupa akan tanggung jawabnya,
Jika mereka telah terlena,
maka, aku tak kan segan-segan meluluh lantahkan tanah ini dengan murkaku,” Tegurnya padaku. Lalu disambung:
”Dan kau, wahai kupu-kupu kecil.
Kau tak perlu lah ikut campur dalam urusan mereka, cukup nikmati saja keindahan yang muncul disini. Sementara aku akan selalu mengawasi dari tempatku.”
Benar….tanah ini berubah menjadi tempat seperti yang dia harapkan. Keindahan pun bermunculan dari tanah ini. Waktu terus berlalu, keindahan kesejukan bermunculan, saling susul bagai sungai yang mengalir takzdim dari hulu ke hilir. Dan aku menyukainya. Mereka pun menikmati sampai waktu kini tiba.
Gumpalan mendung mulai menyelimuti, menggelapnya pandangan, mengecilkan jarak pandang dan disambut sambaran petir yang membuyarkan lamunanku akan masa lalu yang indah di tempat yang keindahannya mulai berangsur-angsur pudar.
Aku tak mampu menyaksikannya, aku tak kuasa. Lebih baik aku terbang sejauh mungkin dari sini. Aku kan pergi ke suatu tempat sehingga aku tak menyaksikan kemungkinan yang melintas di benakku ini.
Selamat tinggal kenangan….

***
Aku pun terbang ke suatu daerah yang terasa asing bagiku. Lalu hinggap sejenak untuk menghimpun nafas yang mulai tak karuan di daerah dataran tinggi ini yang hanya dipenuhi pohon menjulang tinggi dan dingin yang menerkam dari berbagai arah. Yang terpenting bagiku adalah menjauh dari kenangan yang berusaha ku hilangkan. Kenangan indah yang masih nampak jelas dalam memori, dan seketika mampu melemparku kembali ke masa kelam itu. Masa yang menjadikan redupnya rona keindahan tanah itu.

“Tanah ini harus tetap ada, tak ada yang boleh dirubah. Kami akan tetap mempertahankannya,” ujar seseorang yang menyemangati kawanannya dalam suatu kericuhan.
“Tapi, Tanah ini perlu adanya pembaharuan. Jangan sampai tertinggal oleh zaman yang semakin maju.”
“Siapa yang butuh pembaharuan? Lagipula, siapa yang berani menjamin, pembaharuan akan membawa ke sesuatu yang lebih baik?”
Ketegangan terus menguat hari demi hari antara mereka dan kelompok yang bersikeras merobek keindahan tanah tersebut dengan sesuatu yang masih ambigu ujungnya. Tidak siang, tidak malam, perseteruan tetap membekap tanah itu. Menyesakkan tiap nyawa yang berada disana.
Dalam keadaan segenting ini, mereka tak ingin kecolongan langkah dengan kelompok itu seperti di suatu waktu, disaat mereka lengah dalam perhatian yang mengakibatkan beberapa bagian dari tanah itu tercuil dari tempatnya. Tapi dengan sigap, mereka merebut kembali cuilan itu dan meletakkannya ke tempat semula.
Melihat kejadian itu, mereka merapatkan barisan sekuat-kuatnya. Seluruh tenaga dicurahkan, semua usaha dilancarkan. Tak kenal waktu, mereka berjaga bergiliran seperti mentari yang saling estafet dengan rembulan dan para bintang-gemintang untuk menyelimuti hamparan bumi.
“Akan berujung seperti apa nasib tanah ini?”
Pikiran seperti itu terus berkecamuk di setiap kepala yang memacu andrenalin ke titik puncak paling tinggi, tak terkecuali aku. Aku hanya mampu menatap kericuhan itu dari tempat biasanya kubertengger setiap waktu menikmati keindahan-keindahan yang muncul dari tanah itu. Di salah satu pohon dimana aku dilahirkan. Aku sadar bahwa dia—sang mega juga memperhatikan semua kejadian itu dari tempatnya berada.
“Baiklah. Keinginan kalian akan kami penuhi. Tapi, kami tetap merubah beberapa diantaranya. Yang ini dan yang itu,” terdiam sejenak.
“Kalau memang begitu keputusannya, kami akan terima. Dan ingat, janji ini akan selalu kami pegang.”
Akhirnya kesepakatan terbentuk. Tanah ini akan dirubah sebagian yang menurut kelompok itu memang perlu sentuhan pembaharuan.

****
Waktu terus bergulir menjadi hari, minggu pun berlalu, bulan-bintang dan matahari silih berganti di siang dan malam.
Selama itu, ternyata kelompok tersebut membelokkan kesepakatan ke jalur yang tak semestinya. Semua sudut di-ringsek menjadi seperti yang kelompok itu mau, tapi mereka tak mau. Tak hanya itu, bahkan tanah itu dibelenggu dengan jalinan tembaga sehingga kebebasan sujud pada waktu yang tergenggam oleh tangan kelompok itu. Kelicikan menjadi-jadi. Mereka pun tak mampu berkutik, walau sejengkal. Pasrah.
Lambat laun, rona keindahan tanah mulai pudar perlahan-lahan. Meranggas bagai pohon yang dihantam kekeringan sepanjang tahun sehingga kekurangan air dan nutrisi. Daun berguguran disana-sini, rontok tak karuan. Seperti mereka yang berangsur-angsur meninggalkan tanah ini. Tak tahu apa penyebabnya. Tak jelas duduk perkaranya. Mungkin sangkaku; karena perubahan tanah itu.
Hari demi hari, tanah itu menjelma sepi. Keceriaan, canda tawa yang biasanya menghiasi disela-sela menikmati kopi hitam dan kental. Gerombolan yang dulu lebih pantas seperti lebah, membias entah kemana. Dan obrolan hangat pun ikut-ikutan tak terdengar lagi.
Aku mulai khawatir akan janji sang mega yang dulu telah terucap. Mulai meraba akan hari depan tanah ini. Serta merta, kekhawatiran merangkak naik sampai ke ubun-ubun.
Sebelum pecah di kepala, aku melesat menemui sang mega.
“Engaku tahu tentang apa yang telah terjadi. Apakah kau akan tetap penuhi janjimu dulu?”
“Ya,” jawaban tegas darinya, tak terbantahkan. Aku dibuat membisu tanpa kata seperti yang telah kualami saat itu.
Tak terasa, udara dingin tempat ini menyadarkanku akan kisah pilu itu. Tapi, ku rasa, aku kan tinggal di tempat ini beberapa waktu lagi sambil menenangkan hatiku yang remuk. Mungkin tempat ini akan mengobati luka di dalam hati. Mungkin seminggu, sebulan, atau selamanya sampai lukaku terobati.
****
Waktu berjalan cepat, secepat kilatan petir. Namun luka ini bukan menjadi terobati, tapi malah menjadi-jadi. Seperti mau pecah rasanya dadaku. Aku gusar, aku lunglai. Bayangan itu masih saja menggerogoti sistem kerja otak dan syaraf.
“Aku ingin mengintip kembali tanah itu untuk terakhir kali. Aku ingin menyaksikan apapun yang telah terjadi disana. Meski akan lebih menyayat, aku akan terima. Aku akan lapang dada dengan janji yang terpenuhi,” bisik di dalam hati yang menggerakkan sayapku untuk terbang ke tanah yang kucintai itu.
“Aku akan kembali.”
Aku terbang dijalur sesuai yang ada diingatanku ketika beranjak pergi dulu. Semakin dekat aku dengan tanah itu, kukuatkan sekuat-kuatnya hati ini untuk siap menyaksikan kehancurannya.
Tapi,..
Selintas, aku tak menangkap mendung yang menyelimuti seperti dulu dari kejauhan. Aku mulai penasaran, “apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Aku terus mendekati tanah itu, terus mendekat. Tapi dimana petir saling sahut menyahut, tak terdengar. Aku mulai heran sejadi-jadinya.
Akhirnya aku tiba di pohon yang biasanya aku bertengger.
Tak terjadi apa-apa.
Bayanganku untuk tanah ini, tak seperti yang kusaksikan sekarang. “Tak ada kehancuran sama sekali, tak ada pemusnahan, tak ada semuanya.” Aku mulai tak percaya. Aku terjebak antara haru melihat kenyataan bahwa tak ada kehancuran di tanah ini dengan tanda tanya besar akan sesuatu yang membuat sang mega mengurungkan niat untuk memenuhi janjinya.
Segeralah aku meluncur menemui sang mega untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku tak menjumpainya. Bertanya tentang kejadian yang telah kulewatkan. Tentang sesuatu itu.
“Wahai, sang mega! Apa yang telah terjadi di tanah itu yang membuat kau mengurungkan niatmu?”
“Beruntunglah kau dan mereka yang mencintai tanah itu.” Sang menga menjawab.
“Apa yang kau maksudkan?” Aku bingung. Aku tak menangkap maksud dari pernyataan itu.
“Ya. Tatkala aku akan meluluh lantahkan tanah itu, aku melihat beberapa orang disana sedang memperbincangkan tentang sesuatu yang bukan hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Melainkan untuk orang-orang yang akan datang setelah mereka. Untuk kepentingan suatu kaum yang tersisihkan dari golongan yang seharusnya mengayominya. Demi tanah yang telah diperjuangkan dengan darah dan airmata dari kebengisan kaum penjajah,” Sang mega menjelaskan dengan panjang lebar dan juga bijak.
“Perbincangan yang kusuka itu, tak hanya sebatas omongan. Mereka melanjutkannya dengan mata pena yang mengujam lembaran kertas demi kertas untuk disebarkan di semua penjuru. Meski mereka harus merogoh beberapa receh dari kantong tipisnya untuk mencetaknya. Meski mereka sadar akan bayang-bayang licik mengintainya setiap waktu.” Tambahnya.
“Tak mengapa lah, meski tanah itu sudah tak mampu menampung impian yang melambung tinggi mereka. Sejengkal tanah ini, yang dulu menciptakan bulir-bulir keindahan, kupersembahkan untukmu dan mereka yang benar-benar berjuang demi mereka dan para pendahulu. Kurela tanah itu seperti adanya sekarang. Aku yakin, kelak, mereka akan menjadikan tanah itu cerah merekah lagi dan meneruskan pesan suci yang dulu diukir melalui bambu-bambu usang dengan mata pena yang mereka genggam.”
“Benarkah demikian adanya?”
“Sekarang kembalilah ke Tanah tersebut, dan buktikan sendiri kata-kataku ini!”
Akupun bergegas kembali secepat angin menerbangkan debu di padang pasir dengan hati yang bangga tak terbayang.
Aku segera kembali melintasi senja yang menjingga, menyelimuti pandangan.
Dan benar, apa yang telah ia katakan padaku. Sesuatu telah lahir disni, yang sanggup mengurungkan niat sang mega akan janjinya. Sesuatu yang lebih indah, member kebanggaan bagiku dan orang-orang telah berjuang dimasa lalu.
Malam telah larut.
Esok pagi tatkala mentari menyapa bumi, Tatkala ikrar janji suci kembali diucapkan, membahana disegala penjuru untuk kesekian kalinya. Tatkala secarik kain dua warna terkibar, menghiasi angkasa. Ku kan kabarkan tentang sesuatu yang telah terlahir.
“Disini, siluet kemerdekaan telah terbit kembali setelah sekian lama meredup. Siluet ’45.”

1 komentar:

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!