Selasa, 23 Agustus 2011

Selamat Ultah Bung (2): Hatta Bukan Manusia Indonesia


kolom-biografi.blogspot.com
Oleh: Bung Samdy*
Selamat Ultah Bung” dibuat untuk mengenang 4 pemimpin awal Republik ini yaitu Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Amir di hari ulang tahun mereka.
Tatkala memikirkan nasib suram bangsa, saya selalu mengenang sosok satu ini. Saya pun bertanya-tanya dalam hati mengapa seorang Mohammad Hatta tidak dilahirkan untuk masa kini saja.
Mungkin keprihatinan itu wajar dalam keadaan yang tanpa harapan. Kita akan terus terkenang orang-orang terdahulu sembari berandai agar mereka datang kembali. Dalam angan-angan itu kita terkadang terlalu latah mengandaikan zaman dulu sama dengan sekarang. Bisa jadi, mereka pun tidak bisa berbuat banyak jika masih hidup.
Bung Hatta tampaknya sebuah kekecualian. Saya mengira manusia ini telah “salah zaman”—yang lain mengatakan “melampaui zaman”. Membaca riwayatnya, saya yakin manusia Hatta  lahir terlalu cepat. Di Bukittinggi 12 Agustus 1902 adalah sama saja dengan daerah jajahan lain tatkala bayi Hatta mulai meraung-raung. Tapi dari tanah Minang itu, dua puluh tahun kemudian Bung Hatta telah sama dengan penjajahnya.
Tentu bukan untuk menjadi penjajah atau kaki tangannya, melainkan dirinya telah melihat dari perspektif si penjajah bahwa kolonialisme sendiri adalah salah. Bukan semata-mata faktor sentimentil bahwa penjajah itu berambut pirang-berkulit merah dan datang dari negeri asing nun jauh ke bumi Indonesia; namun berdasarkan nilai-nilai yang dilahirkan peradaban Barat sendiri.
Seorang Hatta di tahun-tahun awal ia menginjakkan kaki di Belanda telah lebih maju ketimbang tokoh pergerakan di Indonesia. Bung Hatta berargumen menentang penjajahan dari sudut ilmu ekonomi sebagaimana Van Deventer pada akhir abad ke-19 melakukan perhitungan kekayaan yang dikeruk Belanda dari Indonesia—yang kemudian melahirkan Politik Etis.  
Sepanjang hidupnya kemudian, Bung Hatta selalu bersandar pada ilmu untuk mengungkapkan keyakinannya. Justru di sinilah yang membuat ia beda dengan pemimpin pergerakan lain. Dalam memilih metode perjuangan nonkeperasi, Bung Hatta berbeda 180 derajat dengan Bung Karno. Jika Bung Karno lebih suka mengagitasi massa, Bung Hatta menggunakan pendidikan kader. Tapi kita tahu, apapun perbedaannya, bagi penjajah keduanya harus dibuang: Bung Hatta ke Digul dan Banda; Bung Karno di Ende dan Bengkulu.
Perbedaan itu sempat hilang tatkala keduanya menjadi pemimpin di masa pendudukan Jepang yang lalu memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebelas tahun kemudian, dwitunggal itu pecah kongsi ketika Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno mengatakan bahwa orang seperti Hatta, “cara berpikirnya menurut buku-buku” dan “hanya bisa bersoal-jawab”. Bisa dimengerti mengapa sampai muncul kata-kata itu. Itulah perwujudan dari perselisihan yang timbul sejak zaman pergerakan.
Bung Karno benar. Di sinilah yang membedakan keduanya. Kritik Bung Hatta dalam Demokrasi Kita tahun 1960 terhadap Bung Karno mengatakan bahwa rezim diktator akan jatuh dan demokrasi akan kembali. Sejarah membuktikan pada kita bahwa apa yang ada di buku justru menjadi “alat ramal” yang sahih. Apa yang dikatakan Bung Hatta menjadi kenyataan tujuh tahun kemudian.
Bung Hatta adalah seorang pemikir yang dalam. Sebuah frasa yang tepat untuk menggambarkannya: “pemikir yang bertanggung jawab”, yakni seorang pemikir sekaligus pelaksana dari apa yang dipikirkannya. Tatkala Bung Hatta melempar buah pikiran, ia menyadari harus melaksanakannya. Berbeda misalnya dengan Bung Karno. Presiden pertama ini mungkin punya gagasan-gagasan besar yang kalau kita gunakan metafora: berpikir hingga menyentuh bintang di langit. Bung Karno sering tidak konsisten dengan apa yang dikatakannya sendiri. Ketika kesempatan ada, justru menjadi lupa diri.
Tidak demikian dengan Hatta. Kita mungkin ingat pelajaran ekonomi di SMP yang menyebut Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Itulah perwujudan dari sosialisme-nya Bung Hatta. Bahwa ekonomi disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting dikuasai negara; bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—bunyi Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945 yang merupakan gagasannya. Dalam koperasi yang mana setiap anggota adalah pemilik saham; tak lain intisari dari prinsip persamaan derajat dalam sosialisme.
Bung Hatta bukanlah orang pertama yang melahirkan koperasi di negeri ini. Tapi tak dapat disanggah bahwa menjamurnya koperasi berkat andil Bung Hatta khususnya semasa ia menjadi pemimpin. Alangkah sayangnya, ia tidak lama memimpin karena sejak tahun 1956 praktis tidak memegang jabatan kenegaraan.
Namun hingga wafatnya pada 1980, ia barangkali—meminjam istilah bekas menteri luar negeri Ruslan Abdulgani—menjadi “pengawal hati nurani rakyat”. Bung Hatta-lah yang terus-menerus mengawal hati nurani rakyat Indonesia berhadapan dengan penguasa yang meninggalkan amanat rakyat. Rakyat mendamba pemimpin yang bersih, dan Bung Hatta tampil untuk mengingatkan.
Rakyat tahu, seberapa bersih dan sederhananya Bung Hatta. Bahkan ada cerita bahwa membayar rekening listrik dan air pun ia tak mampu. Bagi Bung Hatta—dan teman-teman seperjuangannya—memimpin bukan untuk mencari kekayaan. Tahun 1969 Soeharto membentuk Komisi 4 yang mencari fakta korupsi dan Bung Hatta duduk sebagai penasehat. Apa daya, ternyata itu hanya cara Soeharto mengibuli rakyat karena selama 30 tahun ia menumpuk-numpuk triliunan uang.
Dari semua apa yang saya tuliskan di atas, saya jadi berpikir, apakah benar Hatta orang Indonesia? Mengapa dari bangsa ini bisa lahir manusia setengah dewa? Atau jangan-jangan bangsa ini yang justru telah keluar dari apa yang ideal. Kita terlalu sering kompromi pada kecurangan-kecurangan kecil. Dari yang kecil ini, kemudian terakumulasi menjadi besar hingga kita terperangkap di luar dari apa yang ideal.
Hidup Bung Hatta adalah hampir ideal karena—seperti saya katakan sebelumnya—ia sebagai pemikir sekaligus pelaksana dari apa yang dipikirkannya. Karena tanggung jawab itu, maka apa yang dipikirkan (ideal) harus dilaksanakan (untuk mendekati ideal). Banyak orang hanya suka melempar wacana-wacana tapi tampak dari apa yang diperbuat bukan cerminan mendekati yang ideal itu. Apa yang merupakan cita-cita mulia, tapi dalam praktek skala kecil justru sering melanggar—dengan mencari-cari pembenaran tentunya.
Dari masyarakat seperti ini nyatanya pernah lahir seorang Hatta. Meski sudah lebih 31 tahun semenjak kepergiannya, kerinduan pada manusia yang “terpaksa” lahir di Indonesia itu tetaplah tinggi di hati rakyat kecil. Hingga ia memilih berbaring dengan tenang bersama mereka yang bukan siapa-siapa, bukan pahlawan, di “pemakaman sosialis” Tanah Kusir. “Selamat ultah Bung!” semoga ia mendengarnya…
 *Samdysara Saragih-Mahasiswa T Fisika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!