carikampus.com |
Oleh: Bung Bara*
“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya” —Soe Hok Gie – Sekali Lagi―
Dimasa rezim Soekarno hingga sekarang, mahasiswa dianggap sebagai status sosial yang dipandang eksklusif dalam segi positif oleh masyarakat. Terlepas dari baik maupun buruknya, mulai dari sebelum era kemerdekaan hingga sekarang banyak sekali karya mahasiswa berupa penyikapan terhadap praktek-praktek ketidakadilan dan pembodohan terhadap rakyat. Hal tersebut merupakan salah satu yang membuat masyarakat beranggapan bahwa mahasiswa adalah status sosial yang eksklusif dalam segi positif.
Bahkan bisa dikatakan mahasiswa tidak pernah absen dalam menanggapi adanya praktek-praktek ketidakadilan dan pembodohan terhadap rakyat. Kehadiran mahasiswa sebagai sebuah status sosial yang eksklusif juga sangat dinantikan oleh rakyat kita sebagai perpanjangan aspirasi. Berbagai macam tokoh-tokoh besar lahir dari tataran kampus, yang dulunya juga seorang mahasiswa, terlepas dari baik atau buruknya sebut saja The Founding Father kita Soekarno.
Sudut-sudut kampus yang dulunya dipenuhi oleh diskusi ilmiah dan diskusi masalah bangsa kini sudah sangat jarang sekali ditemui. Berbagai aspek melatar belakangi terjadinya hal ini, mulai dari perkembangan gadget yang semakin cepat, fashion terbaru, pusat perbelanjaan yang merayu-rayu anak muda hingga sikap represif pihak kampus terhadap segala bentuk organisasi yang dianggap sebagai radikalisme dalam area kampus.
Kampus yang merupakan tempat mencetak kader bangsa sesuai tridarma perguruan tinggi kini sudah sangat susah ditemui bentuknya, karena kampus hanya digunakan sebagai tempat belajar “mencari pekerjaan” dan nongkrong saja. Mahasiswa yang seharusnya berkarakter, haus akan ilmu dan penuh dengan idealisme sangat jarang sekali ditemui. Hedonisme telah membeli semua slogan yang harusnya dipegang teguh oleh mahasiswa.
Budaya diskusi kerakyatan, membaca, dan menulis kini telah jarang sekali ditemui. Sedikit sekali mahasiswa yang masih melakukanya. Dan yang sedikit inilah yang semakin tersingkir karena dianggap terlalu vokal dan radikal dalam menghadapi ketidakadilan yang terjadi. Mari kita tengok berapa proposal kegiatan yang lolos melewati meja birokrasi dan dana yang dikucurkan oleh birokrasi kepada mahasiswa untuk mendanai kegiatan yang berfungsi untuk pengembangan diri dan karakter mahasiswa dibanding kegiatan euphoria dan hura-hura.
Harapan yang begitu besar dari berbagai pihak diberikan kepada mahasiswa untuk meneruskan perjuangan bangsanya. Mulai dari perusahaan-perusahaan yang memberikan beasiswa untuk mahasiswa hingga para tukang becak dan penjual telor asin yang menyisihkan sebagian hasil keringatnya untuk membayar pajak dimana uangnya digunakan untuk membiayai anggaran pendidikan.
Akankah selamanya seperti ini? Yang terbelenggu oleh manisnya status mahasiswa bisa memanfaatkan kampus sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau segera sadar untuk mengambil sikap bagi kehidupan kampus yang notabene kawah candradimuka pembentukan karakter.
*Bara Yohantomo – Mahasiswa PENS 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!