Selasa, 26 Juli 2011

Wanita Telanjang



Oleh: R. Arif Firdaus Lazuardi
“Mau apa kau setelah ini, membajak sawah, bercocok kebun, dan memasrahkan kulitmu yang langsat itu untuk disengat terik mentari? Cobalah kau ke kota, kau akan dapatkan semua yang kau inginkan,” ujar Slamet, teman sepermainan waktu kecil, yang menyuruhku untuk mengadu nasib di kota.
“Dia dulu itu preman desa ndhuk, jangan mudah percaya dengan yang dikatakannya, hidup di kota itu penuh bahaya. Kejam. Nanti kau lupa dirimu, bahwa kau adalah gadis desa!” sergah Bapakku, agar aku tak pergi dari desa. Tapi aku bergeming, aku tetap bersikeras pergi ke kota, aku ingin segala harapan yang sudah kupendam lama-lama menjadi kenyataan. Aku, Anita, akan menjadi wanita yang sempurna dan membuat orang lain terpana melihatku. 
**** 
Sinar mentari masih malu tersipu menunjukkan keelokannya, tapi waktu tak mau kompromi. Dengan sedikit paksaan embun yang mencair, dan kicauan burung pipit di rimbun dedaunan. Sinar itu pun muncul juga, membawa kebahagiaan dan harapan bagi setiap orang.  
Di atas buaian kasur yang menemaniku semalaman kemarin, aku ragu untuk membuka kelopak mata. Kalau bukan karena belaian lembut sinar mentari yang memaksa menerobos masuk lewat celah tirai jendela. Aku pasti masih terlelap, hingga tak sempat merasakan desiran angin pagi.
Tapi di hari itu, segalanya akan berubah. Aku tak lagi ragu untuk segera berjaga, karena hari itu adalah awal dari segala harapan yang selama ini kupendam dalam-dalam. Kalau saja masih bermalas-malasan, pupus sudah segala harapan, aku tak kan pernah mewujudkanya. 
“Jadi anak itu, harus terus bersemangat dalam mengejar harapan. Dengan bangun tidur sepagi mungkin, impian itu semakin dekat, semakin nyata di depanmu ndhuk,” begitulah nasihat Bapakku beberapa tahun silam, sebelum aku meninggalkan desa.
Hidup di tengah kota metropolitan tak seindah yang kubayangkan, apalagi bagi seorang gadis desa yang hanya memegang ijazah SMU. Untung saja, aku bertemu dengan orang baik di kota, Pak Bejo, begitu aku memanggilnya. Meskipun tidak separlente yang kubayangkan ketika di desa. Paling tidak, aku aman dari dinginnnya angin malam dan perihnya lambung yang seperti ditusuk pisau dari delapan penjuru mata angin. 
Di kota, aku memulainya dari bawah, dengan hanya berbekal ijazah SMU dan parasku yang ayu. Aku bekerja di salah satu toko di tengah metropolitan sebagai sales promotion girl. Dan nasib baik sudi bertamu, tak lebih dari 8 bulan bekerja, Aku sudah dipromosikan oleh bos sebagai sekretaris di perusahaan yang menaungi toko tersebut. Sekretaris pribadi si bos tentunya. 
“Anita, kamu memiliki bakat yang luar biasa. Tinggal dipoles sedikit saja. Kamu akan menjadi wanita yang sempurna,” begitu kiranya pujian si bos padaku. Kurang lebih empat bulan aku banyak menerima ilmu dari si bos. Dari kursus kecantikan, perawatan tubuh, perawatan wajah, hingga bagaimana menjadi sekretaris yang dapat menyenangkan si bos.
Aku memandang kalender yang tertempel di samping meja rias kamarku -oh tidak- lebih tepat disebut kamar Pak Bejo, yang saat ini aku tempati. Di kalender tersebut tertera tanggal 28 Pebruari yang dilingkari dengan coretan tinta merah, tanggal di mana, 20 tahun silam aku hadir di dunia, menambah corak warna di desa terpencil. 
“Aku harus tampil beda hari ini. Sudah waktunya untuk membuat orang lain terpana melihat penampilanku,” ujarku dalam hati ketika berkaca sembari merapikan rambut yang acak-acakan akibat buaian kasur semalam. 
Aku memutuskan untuk membuat kejutan pertama kali ini pada si bos. Karena aku merasa berhutang budi padanya. Kalaulah bukan karena si bos, maka aku tak akan menjadi Anita yang seperti sekarang ini.
Pak Bejo, yang usianya separuh usiaku lebih 5 tahun. Kaget bukan kepalang, melihat dandananku yang menor itu. Darah mudanya pun berdesir, seraya berdecak dan menelan ludah pelan-pelan ia bertanya padaku. 
“Dik, ngapain kamu berdandan seperti itu?” Dengan senyum simpul aku menjawab. “Bos sudah terlalu baik sama Anita. Sudah saatnya sekarang Anita membuat dia bahagia, paling tidak dia senang melihat dandananku.” 
Sesuai prediksi. Di kantor si bos tersenyum-senyum sambil matanya jelalatan melihat dandananku. Tak sesenti pun ia lewatkan dari tubuhku, ia sisirkan pandangan dari atas ke bawah, hingga ia terhentak kaget ketika aku menyapanya. 
“Pagi bos, kaget ya ngelihat Anita seperti ini. Sengaja saya berdandan seperti ini, biar si bos senang. Bos sudah terlalu banyak memberi perubahan pada Anita,” ujarku. 
Tapi, niat baik gadis lugu dari desa tak setepuk tangan. Si bos mengira bahwa sudah saatnyalah, ia memetik buah hasil tanamannya sendiri. Sore itu si bos memasuki ruanganku. Dan tanpa disangka, tangan si bos langsung menjarahi tubuhku. Tersontak, aku pun ingin melawan, tapi kuasa tak bersudi. 
“Bukankah ini yang kamu inginkan Anita, aku sudah menunggu lama saat-saat ini,” ujar si bos seraya membuka paksa satu persatu baju yang kupakai.
Akhirnya malam pun tersedu. Bulan murung ditemani gelapnya awan yang memayungi kota. Bintang enggan untuk mengintip raungan angin yang menggelayut manja di ruangan sekretaris pribadi si bos. Aku tergolek lesu dengan baju acak-acakan. Aku bingung. Tak tahu lagi mana bahagia mana petaka. Mahkota yang selama ini kurawat, koyak begitu saja. Rasa benci menyelinap di dada. Aku benci si bos, kota, kecantikan, kebahagiaan.
Tapi aku ingat Pak Bejo. Dulu di kala aku susah, pak Bejo datang menjadi dewa penyelamat. Mungkin inilah saat yang tepat untuk mengadukan nasibku. Lantas, aku mulai bangun, memupuk semangat dan motivasi untuk mencari kebahagiaan yang sejati. Dengan semangat membara aku berjalan limpung ke rumah pak Bejo.
“Kenapa kamu dik? Apa yang terjadi sama dik Anita,” tanya pak Bejo sambil tergopoh-gopoh membantuku masuk ke dalam rumah. Di rumah pak Bejo, aku merasa lebih nyaman. Pak Bejo sudah kuanggap seperti ayah sendiri, walau pak Bejo tetap bersikeras untuk dianggap sebagai seorang kakak. Tapi, pautan usia antaraku dengannya, membuatku segan untuk menganggapnya kakak. 
“Nggak ada apa-apa pak Bejo, semua baik-baik saja kok,” terangku sambil menahan isakan air mata. “Ah nggak mungkin, matamu yang merah itu, tak dapat menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Kau jangan ragu, ceritakanlah semua padaku, mungkin aku dapat membantumu.” 
Aku sangat yakin sekali pak Bejo dapat membantuku bangkit kembali dari permasalahan ini. Setelah aku berkeluh kesah panjang lebar. Dengan dengusan nafas yang melengos panjang, pak Bejo pergi ke belakang rumah dan kembali ke hadapanku dengan membawa segelas air putih. 
Sial, tak lama setelah kuminum air itu, aku merasa ditimpuk beban seberat 100 kg.
Aku pusing dan linglung, dan melihat seringai pak Bejo yang terpecah menjadi lima, tidak! enam wajah yang mengitari tubuhku. Dan aku mulai merasakan tangan pak Bejo, yang secara perlahan melucuti pakaianku, hingga pertahanan terakhir yang aku pakai. Lantas ia pun mulai menggelayuti tubuhku satu-persatu. Dari gundukkan daging yang kumiliki hingga lembah istimewa milikku. Dan aku tak mampu berbuat apa-apa, aku lemas, dan hanya mampu menangis dalam hati meratapi nasib ini. 
“Dasar wanita lugu, coba kau tak melintas di hadapanku tadi pagi. Mungkin hal ini tak kan terjadi, sudah lama memang kusimpan dalam-dalam nafsuku, tapi kau yang mengundangnya terlebih dahulu,” celoteh pak Bejo ketika melemparkanku keluar dari mobil dan menelantarkan tubuhku di jalan.
Setelah sekian lama aku terbaring di jalan itu, perlahan kesadaranku mulai pulih. Dan aku semakin bingung, tak tahu lagi makna bahagia atau petaka. Lantas aku membenci semuanya, benci si bos, kota, kecantikan, kebahagiaan, juga pak Bejo. Tapi, aku adalah gadis desa, yang tak mudah patah arang. Aku akan cari kebahagiaan itu, walau sampai ke negeri orang. Maka, aku pun meneruskan kisah hidupku ke kota lain, agar aku mampu mewujudkan harapan yang tak kudapat di kota pertama aku singgah. 
Di gerbang masuk menuju kota Tentram, aku mulai optimis, pasti setelah ini aku mendapatkan yang kuinginkan. Aku berjalan sendirian sepanjang jalan, di kanan kirinya dipagari pepohonan yang menjulang tinggi. Sesaat sebelum aku sampai di pintu gerbang kota tersebut. Lima pemuda bersepeda motor melintas di sampingku dan mengerem mendadak ketika melihat diriku berjalan sendirian dan tentu saja, aku masih berpakaian yang sama ketika tragedi si bos dan pak Bejo menimpa diriku. 
“Bisakah aku meminta tolong pada kalian untuk mengantarku sampai di kota itu,” pintaku.
Lima pemuda itu pun cengengesan bukan kepalang, gayung pun menyambut dengan baik. Aku diboncengnya masuk ke dalam kota. Dan mampir di suatu gedung kosong. Di situlah tragedi menimpaku kembali. Lima pemuda menikmati tubuhku satu persatu sehari semalam. Dan aku, lagi-lagi tak mampu berbuat apa-apa. Setelah para pemuda puas akan nafsu hewannya, mereka meninggalkanku begitu saja di gedung tersebut. 
Bukan main lemasnya aku saat itu, dan aku yakin bahwa bahagia saat ini tak ada bedanya dengan petaka. Kemudian sesosok pria berbadan tegap menghampiri dan menanyai apa yang terjadi. Ternyata dia seorang penegak hukum kota tersebut. Lantas, aku menceritakan semuanya dengan tersedu-sedu. Dalam hitungan jam, kelima pemuda tersebut ditangkap. Si polisi baik hati itu menyuruhku untuk membersihkan diri dan tinggal sementara di kantornya, sedang ia mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kelima pemuda tersebut. 
“Ternyata pemuda-pemuda itu masih anak sekolahan, kau tenangkan saja dirimu, di kota ini akan kau dapatkan kebahagiaan dan keadilan,” hibur pak polisi sambil menyerahkan baju pengganti untukku. 
Di ruang lain, tepatnya di sebelah ruangan yang kupakai untuk berbenah diri, aku mencuri dengar percakapan polisi dengan seorang yang tua. Aku intip sedikit dari celah pintu yang terbuka tak lebih dari 5 cm. Seorang laki-laki botak berjas dan berdasi putih berbicara santai dengan si polisi. Tak lama kemudian, pak tua tersebut mengeluarkan uang merah segepok dan menyerahkan pada pak polisi seraya berkata: 
“Sudahlah kau urus semua, jangan sampai kejadian anakku ini menurunkan harkat martabatku di depan masyarakat kota Tentram. Dan kalau peristiwa ini berhasil kau lenyapkan tanpa seorang pun yang mengendusnya, terutama para wartawan. Jabatanmu akan kunaikkan.”
“Siap Pak,” timbal polisi tersebut gagah dengan menghormat. 
Aku shock mendengar kalimat tersebut, aku terpaku di belakang pintu beberapa saat. Dan mulai sadar kembali ketika pak polisi masuk membuka pintu dan melihatku dalam posisi bingung. Aku terhenyak ketika melihat tatapan polisi pada diriku. 
Oh, ternyata aku lupa belum berganti busana setelah mandi. Handuk putih melilit tubuhku dari dada hingga di atas paha. Di handuk bagian atas menyembul dua buah gundukan yang sering membuat kalap pria, sedang handuk bagian bawah menyajikan paha yang mulus langsat. Pak polisi pun lupa akan seragamnya. Dan dengan gerakan yang sangat cepat, handuk yang kupakai terlempar ke belakang. Lalu, kejadian itu pun terulang kembali, bahkan yang ini lebih dahsyat. Delapan jam penuh pak polisi menggerayahi tubuhku dan berkali-kali aku terkulai lemas. Setelah kejadian itu, aku benar yakin, bahwa kini bahagia adalah petaka.
Ketika sadar, aku sudah ada di tepi jalan ramai dengan memakai busana yang sama, tapi yang ini terkesan sekedar tempel saja. Karena memang, bukan aku yang memakainya sendiri. Aku merenung dalam, di tengah keputusasaan, aku melihat toko baju yang menjual beraneka busana muslimah. Dan melihat beberapa wanita berjilbab yang dengan anggun melintas di depan toko tersebut. Terpancar aura kebahagiaan dari wanita-wanita itu, lantas aku pun berpikir, mungkin dengan berbusana seperti itu, aku akan dapatkan kebahagiaan yang selama ini kucari. Aku rogoh saku di kantong baju, dan beruntung, aku masih menyimpan beberapa uang merah. Maka ku melangkah ke toko baju tersebut dan membeli beberapa helai baju muslimah dan seketika memakainya. 
 “Allahu akbar....Allahu akbar,” adzan menggema di seantero kota. Dan lamunanku terpecah begitu saja, sudah lama hatiku tak terpanggil dengan suara ini. 
“Mohon maaf, masjid terdekat di mana mbak ya?” 
“Di ujung jalan kota ini mbak,masjidnya besar kok, jama’ahnya juga banyak, pasti gampang nyarinya,” jawab penjaga toko ramah.
Seharian penuh aku habiskan curahan air mata di masjid itu. Menyesali segala kejadian yang menimpaku. Dan kini tumbuh harapan baru dalam benakku untuk menemukan kembali kebahagiaan yang selama ini kucari. Hingga tak terasa, para jama’ah sudah meninggalkan masjid tersebut. Tinggal diriku seorang yang masih menengadah di antara hening sepi.
“Mbak, mohon maaf, hari sudah sangat larut, apa tidak berkenan untuk kembali ke rumah?” tegur penjaga masjid dengan sangat halus.
“Ah, iya, saya akan segera kembali.” 
“Kenapa mbak, kok tampaknya bingung?” Tampaknya, penjaga masjid yang masih muda itu membaca keraguan dalam diriku.
“Oh tidak, sebenarnya saya datang dari luar kota, dan belum memiliki tempat tinggal di kota ini. Bolehkah saya menghabiskan malam di masjid ini semalam saja?” pintaku mengharap.
 “Oooh, kalau untuk urusan yang seperti ini, kami sudah antisipasi. Pengelola masjid sudah menyediakan ruangan untuk musafir seperti mbak. Mari, ikuti saya, mbak bisa berisitirahat di sana.”
Di tengah perjalanan menuju ruang para musafir. Aku menceritakan semua kejadian yang terjadi pada diriku. Aku yakin, bahwa pemuda yang ditemuinya saat ini, pastilah pemuda yang baik. Dan aku berharap, dari pemuda tersebut, aku mampu menemukan kebahagiaan yang kucari. Si pemuda pun mendengarkan dengan penuh haru, ketika sampai di depan pintu ruang musafir, ia berpesan padaku, “memang orang secantik mbak pasti banyak godaan, mungkin lain kali mbak yang harus berhati-hati dalam menjaga diri.”
Tengah malam, pemuda menghampiri lagi ruang musafir, yang kutempati beristirahat saat ini. Ia bermaksud untuk memberikan selimut, agar aku terhindar dari perihnya angin malam. Ketika sampai di depan pintu, pemuda tersebut mengetuk beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Tak sabar ia pun membuka pintu itu sendiri yang kebetulan tidak terkunci. Betapa kagetnya sang pemuda, ketika melihat aku tidur hanya berpakaian dalam saja. Sedang baju muslimah yang baru kubeli tadi tergantung di dinding. Pemuda tersebut menghamparkan selimut di tubuhku. Aku sempat tersadar, tapi kubiarkan selimut tersebut melindungi tubuhku karena memang kedinginan. Tapi, aku mulai shock kembali ketika tahu bahwa ada orang lain di bawah selimut itu.
Bulan melenguh panjang, gemerlap bintang di angkasa tak lagi bercahaya. Awan mendung menggelayut di atas masjid. Aku hanya mampu membisu, membiarkan bahagia menjelma petaka.
Beberapa hari setelah tragedi di masjid itu. Aku sudah jenuh dengan kecantikan dan kebahagiaan. Maka kutinggalkan segala angan dengan menanggalkan seluruh pakaian yang membalut tubuhku. Aku tak mau lagi menjadi korban bahagia yang berbuah petaka. Aku abdikan seluruh keelokan tubuh yang kumiliki untuk orang banyak, terutama orang kota. Maka aku terus menari menelisik jejalanan kota, menawarkan keindahan tubuhku pada setiap orang yang melintas. Dan, kini aku sungguh bahagia, tanpa beban yang memasung diriku. Aku melihat banyak orang tertawa dan tersenyum melihatku menari di pelbagai trotoar jalan. Dan yang terpenting tak ada seorang pun yang menggerayahi kebebasanku. Lantas, aku mulai mengerti inilah kebahagiaan yang kucari selama ini. Yaitu membuat orang lain bahagia tanpa harus mengorbankan kebahagiaanku.
Dan aku mulai mantap dengan jalan ini, maka aku akan terus bertelanjang sepanjang hari di tengah kota. Agar mampu menjadi wanita yang sempurna dan membahagiakan orang lain. Apalagi setelah masyarakat memberiku gelar ‘mawar merekah’, lengkap sudahlah pencarian jati diri selama ini. 
Sempat beberapa jeda aku mulai memikirkan kembali perkataan bapakku beberapa tahun silam. “Dia dulu itu preman desa ndhuk, jangan mudah percaya dengan yang dikatakannya, hidup di kota itu penuh bahaya, kejam, nanti kau akan lupa dirimu, bahwa kamu adalah gadis desa!”
Kalau saja aku mau mencerna kalimat itu dalam-dalam. Mungkin saat ini aku menjadi ‘kembang desa’, bukan ‘wanita telanjang’.
Sidoarjo, 25 Januari 2010

12 komentar:

  1. Cerpen ini agak " ganggu " ya. Saya rasa untuk ukuran cewek yang ;
    1. Diperkosa sama bos nya
    2. Diperkosa sama Pak BEjo
    3. Digilir sama 5 cowok
    4. Diperkosa lagi sama polisi selama 8 jam
    5. Mesum di mesjid ( di bagian ini bisa dibilang perkosaan gak sih ? ceweknya kayak udah pasrah gitu )

    Dalam kurun waktu kurang lebih 3 atau 4 hari, cerpen ini terbilang datar, sedatar-datarnya. Gak tau penulis memang ingin menampilkan anita sebagai sosok yang pasrah, lugu, dan nerima nasib atau penulisnya memang tidak peka.


    Terus saya perhatikan, beberapa bagian ini ;


    " Aku benci si bos, kota, kecantikan, kebahagiaan. "

    "Lantas aku membenci semuanya, benci si bos, kota, kecantikan, kebahagiaan, juga pak Bejo"

    " Bukan main lemasnya aku saat itu, dan aku yakin bahwa bahagia saat ini tak ada bedanya dengan petaka "

    "Setelah kejadian itu, aku benar yakin, bahwa kini bahagia adalah petaka."

    " mungkin dengan berbusana seperti itu, aku akan dapatkan kebahagiaan yang selama ini kucari. "

    " Aku hanya mampu membisu, membiarkan bahagia menjelma petaka. "

    " Aku sudah jenuh dengan kecantikan dan kebahagiaan"

    " Lantas, aku mulai mengerti inilah kebahagiaan yang kucari selama ini. Yaitu membuat orang lain bahagia tanpa harus mengorbankan kebahagiaanku "

    sebenernya kebahagiaan yang dimaksud si tokoh apa ya ? Materi kah ? Pujian kah ? sampai akhir cerita saya gak paham, gak tau saya yang lemot atau gimana. Terus cerpen ini juga mengandung beberapa bagian yang gak logis,,

    "Tengah malam, pemuda menghampiri lagi ruang musafir, yang kutempati beristirahat saat ini. Ia bermaksud untuk memberikan selimut, agar aku terhindar dari perihnya angin malam. Ketika sampai di depan pintu, pemuda tersebut mengetuk beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Tak sabar ia pun membuka pintu itu sendiri yang kebetulan tidak terkunci. Betapa kagetnya sang pemuda, ketika melihat aku tidur hanya berpakaian dalam saja. Sedang baju muslimah yang baru kubeli tadi tergantung di dinding. Pemuda tersebut menghamparkan selimut di tubuhku. Aku sempat tersadar, tapi kubiarkan selimut tersebut melindungi tubuhku karena memang kedinginan. Tapi, aku mulai shock kembali ketika tahu bahwa ada orang lain di bawah selimut itu."

    Lah, " aku sempat tersadar " berarti sebelumnya dia tertidur kan ? Terus kalau dia tertidur kok si Anita ini bisa tau " Ia bermaksud untuk memberikan selimut, agar aku terhindar dari perihnya angin malam. Ketika sampai di depan pintu, pemuda tersebut mengetuk beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Tak sabar ia pun membuka pintu itu sendiri yang kebetulan tidak terkunci. Betapa kagetnya sang pemuda,,,, "

    Sorry panjang lebar gini, habis greget aja bacanya...

    BalasHapus
  2. waduh.....suangaar mbak ismi.....terima kasih komentar dan kritikx....saya beri tanggapan ya....satu persatu:

    1. mhon maaf mbak ya, spertix memang penulis yg krg peka menggambarkan psikologis seorang cewek, coz memang sya kurang observasi untuk kepribadian wanita (kan sya laki mbak...), sbnarx mksud saya hnya sekedar gambarin kalo sebuah 'keinginan' itu tidak sesederhana 'kenyataan', Anita memang sya tampilkan sosok yg nerima keadaan tapi tetap bersmangat.....tpi, kdg2 saya juga agak bimbang gitu (kira2 ada gak ya model orang gituan)...

    2. kebahagiaan dlam cerita ini memang dalam proses pencarian jati diri (mksudx gitu)....pada awalx sih memang mencari kebahagiaan materi, trnyata itu tidak ditemukan.....memang saya tekankan pada kalimat.... "Tak tahu lagi mana bahagia mana petaka",...." tak tahu lagi makna bahagia atau petaka",...."aku yakin bahwa bahagia saat ini tak ada bedanya dengan petaka",...."aku benar yakin, bahwa kini bahagia adalah petaka",...."Aku hanya mampu membisu, membiarkan bahagia menjelma petaka",...."Aku tak mau lagi menjadi korban bahagia yang berbuah petaka"......-> klo mbak ismi perhatikan, proses itu saya buat bertingkat.....saya pikir pembaca ga da yg perhatiin klimat ini, eh trnyata mbak ismi peka banget,.....inilah salah satu pesan yg ingin sya sampaikan mbak, proses itu kadang salah kita lakuin/persepsikan.

    3. Nah untuk paragraf yg itu memang saya kelupaan mbak, pada awal pembuatan cerpen ini subjekx saya pakai sudut pandang orang ketiga yg menceritakan Anita, trus sya ganti jadi sudut pandang orang pertama (aku)...jadi, yg paragraf itu belum saya ganti...mksh mbak jeli bacax, insya Allah sya perbaiki....

    mohon maaf ya, kalo cerpen ini menyinggung cewek,.....tapi salah satu pesan lain sbnarnya ingin menyampaikan 'kalo ga da orang baik murni di dunia ini, smua baik karena kpentingan'....tdak memandang siapa orangx, org yg nolongin kita kek, ato bos kita, ato pemuda, ato polisi, bahkan yg berlabel agama pun tdak bisa kta percaya begitu saja.....Dan yg tulus baik sbnarx satu: 'orang tua' kita....pesan itu ada di kalimat terakhir....

    mkasih, tapi gimana pun, pembaca lah juri terakhir yg menyimpulkan pesan dari cerpen ini....dan smua persepsi tdak bisa saya salahkan....justru, saya yg hrus lebih belajar lagi tuk bikin cerpen yg lebih baik.....

    terima kasih banyak!

    BalasHapus
  3. Wuihhh dibalesnya panjang juga. Hooo gitu toh maksudnya. I see. Sudah saya duga. Kalau diperhatikan kelima 'insiden' diatas selalu dipicu oleh pakaian, pertama dan kedua karena baju terbuka, ketiga karena baju yang udah gak jelas, keempat karena handuk, kelima karena pakaian dalam.Mungkin paradigma cowok memang begitu kali ya, dan soal yang ini anda peka. Hehehe....seperti kata Mas Arif " Kan saya laki mbak...". lol. Berpakaian harus hati2 kali ya...

    Saya cuma mengingatkan kok, jangan kapok nulis cerpen yo. Sama2, makasih juga sharingnya,skrg udah gak penasaran lagi :)

    BalasHapus
  4. yup.....makasih....mbak, krim tulisan ke langkah awal ya (kalo berkenan)....ditunggu

    BalasHapus
  5. Saya mencoba berpikiran sedikit berpikiran positif membaca tulisan ini.
    saya menangkap satu nilai moral yang sebenarnya bagus di dalamnya
    Seseorang tak boleh bertindak tanpa restu orang tua.
    hanya saja, sama seperti yang dikatakan mbak ismi, cara penulis menyampaikan pesan bisa dibilang merendahkan wanita sampai-sampai pembaca yang membaca sekilas pasti langsung terpaku ke nilai negatifnya. bukan nilai positifnya.
    Semoga para penulis bisa lebih menyalurkan semangat positif, menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik.

    BalasHapus
  6. trim's mbak Halimatus Sa’dyah......

    BalasHapus
  7. Iya ya.. seperti melecehkan gitu..
    tapi kenapa cuma 2 orang mbaknya yah yg merasa terlecehkan??
    jangan2 mbaknya feminisme juga??

    BalasHapus
  8. Lah? Aisyah dan yaumil,dari komentar saya sebelumnya di bagian mana saya mengatakan bahwa saya merasa direndahkan? Perasaan saya gak bilang gitu deh. Saya tidak mengomentari soal apakah cerpen ini merendahkan wanita atau tidak, cerpen ini kan fiksi, tentu akan beda pendekatannya kalau formatnya adalah opini,feature,atau reportase. Yang saya komentari disini adalah gaya penceritaan yang mengandung keganjilan,dan penulis yang kurang mendalami karakter si tokoh. Wong mas arif nya juga udah mengiyakan kok...

    Mas yaumil,apa relevansinya tiba2 tanya feminisme? Jangan2 anda yang male chauvinist,hehe

    BalasHapus
  9. hehe sorry2 mungkin saya yang salah baca mb ismi. okelah saya ralat ^^

    buat langkah awal, semoga bisa menghasilkan tulisan yang benar2 mencerahkan

    BalasHapus
  10. cs tadinya saya berpikir "ganggu" itu artinya sedikit merendahkan...

    BalasHapus
  11. sangat menyentuh ceritanya...tapi semoga cerita ini tidak akan pernah untuk menjadi kenyataan dan tidak ada perempuan yang akan mengalami seperti cerita ini

    BalasHapus
  12. haha, cerita ini cocok jadi versi ringkasnya buku ini kali ya? :D

    http://www.honeylizious.com/2011/10/book-review-tuhan-izinkan-aku-menjadi.html

    gara gara baca ini jadi ingat buku yang sudah bertahun tahun lalu kebaca :D, terus berkarya mas, walaupun komentar saya telat sebulan hehehe :D

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!