Bulan Juni dan Juli merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Bulan tersebut adalah bulan “regenerasi” di lingkup ormawa (organisasi mahasiswa). Proses regenerasi diperoleh dengan adanya tahapan “kaderisasi”.
Kekuatan ormawa sebagai organisasi mahasiswa tidak hanya dipandang dari dana pendukung setiap kegiatan yang akan dilakukan untuk pergerakan organisasi tersebut. Selain itu, juga dilihat dengan adanya ideologi dan struktur yang jelas sebagai kekuatan utama dari sebuah organisasi. Kekuatan utama tersebut dapat dipantau dan mendapatkan penilaian kinerja terbaik dengan huruf kualitas maupun angka kualitas, yang biasanya didengar dengan sebutan AKO (analisis kondisi organisasi), yang nantinya menentukan organisasi tersebut berada di kuadran I, II, III ataukah IV. Dalam hal ini, kaderisasi bisa dinilai pula.
Kaderisasi bukan hanya sekedar suatu effort dari tradisi untuk mengajak dan memasukkan orang-orang baru ke dalam lingkup organisasi, namun hal yang perlu diperhatikan adalah identitas dan jati diri organisasi tersebut, transfer ilmu, pengembangan potensi diri yang masih bisa dilihat dengan secara mata terbuka, dan pemberian kesadaran secara penuh mengenai posisi yang akan diemban nantinya. Tidak sewajarnya di dalam sebuah kaderisasi ada yang namanya doktrin dari beberapa pihak. Setiap mahasiswa pasti memiliki jalan dan tujuan hidup masing-masing sesuai dengan visi, misi dan motto hidup yang dijalankannya. Dengan adanya doktrinisasi, secara tidak sadar ada “penjerumusan karakter” terhadap apa yang telah dipilihnya. Selain beberapa hal tersebut di atas, setidaknya juga diperlihatkan mengenai perlakuan secara manusiawi yang juga memperlihatkan mengenai perasaan, perbedaan suku, agama, ras dan kebudayaan. Yang tak kalah untuk dipertimbangkan dalam hal kaderisasi adalah adanya potensi dasar/bawaan sang kader. Potensi ini bisa dilihat dari perjalanan hidup kader, terlepas saat itu ia telah mengalami penanaman kaderisasi.
Kaderisasi memang merupakan tolok ukur dari persiapan dan pelatihan dari para calon penerus organisasi. Seperti penjelasan di awal, di bulan Juni dan Juli, beberapa mahasiswa ITS yang ingin menjadi kader pasti merasa bingung sebelumnya dalam menentukan arah mereka selanjutnya. Tidak cukup dalam posisi saat ingin menjadi staf dari sebuah departemen dan ormawa tertentu dan juga menjadi seorang kabinet/pemimpin besar di ormawa tersebut. Beberapa kader pastinya telah menentukan sesuai dengan hati dan kemampuan mereka. Tak jarang pula beberapa mahasiswa menjadi “rebutan” antar ormawa di saat proses pembentukan staf di sebuah ormawa, hingga diperoleh beberapa solusi yang diantaranya dibiarkan berada di luar lingkup jurusan dengan harapan di kemudian hari nantinya bisa kembali mengabdi di ormawa jurusan tersebut. Ada pula yang memang sengaja dibuat aktif di dua ormawa sekaligus, dengan harapan nantinya bisa membandingkan atas ilmu yang diberikan. Padahal tanpa adanya kejadian seperti ini, ilmu tersebut masih bisa disalurkan melalui adanya forum sharing ilmu antar kader luar ormawa jurusan dan kader internal ormawa jurusan itu sendiri. Inikah yang mencerminkan bahwa memang kuantitas dari kader-kader telah berkurang??? Ataukah kualitas dari kader-kader itu sendiri yang semakin tahun menjadi semakin menurun???
Tak hanya di dalam proses penentuan staf, penentuan kabinet pun bisa menjadi sebuah “pisau” yang cukup menyakitkan. Kabinet sendiri menjadi pemikir strategis mengenai ormawa tersebut kedepannya. Dalam sebuah penentuan plotting kabinet itu sendiri, masih saja terdapat “pertikaian”, entah mengenai sebuah “posisi”, sebuah pilihan untuk meninggalkan ormawa asalnya, maupun untuk kembali ke tempat asalnya tersebut. Inikah yang namanya “ambisi”.
Teringat sms dari seorang teman,
"semisal memang di ormawa yang saya naungi tidak ada yang mau menempati posisi tersebut, saya bersedia menempati posisi tersebut, meski saya menerima konsekuensi yang buruk bagi diri saya ".
sms yang berbeda pun saya terima dari teman yang perantauan...
"saya sebenarnya mau kembali ke tempat asal saya, semisal memang saya amat sangat dibutuhkan oleh rumah asal saya itu dengan konsekuensi saya meninggalkan rumah perantauan yang telah memberikan saya banyak sekali ilmu dan pengalaman, meski berat untuk meninggalkan perantauan itu ".
Tak hanya itu pula yang saya peroleh dari hape jadul saya….
“saya hanya mau meneruskan jika saya menjadi posisi penting di ormawa itu, dan kalau tidak saya mending tidak menjadi pengurus di ormawa tersebut”.
Beberapa petinggi dari ormawa dan warga itu sendiri pasti menginginkan eksistensi ormawa mereka di manapun mereka berada. Secara tersirat hal ini pasti dimiliki bagi semuanya, baik bagi mahasiswa organisatoris maupun bagi yang samar-samar dalam organisasi. Hakekat manusia memang selalu tidak puas atas apa yang telah dimiliki dan ingin mencari sebuah kesempurnaan.
Setiap mahasiswa pasti memiliki tingkat kemampuan, kemauan, dan keikhlasan dalam menjalin itu semua. Namun, setidaknya diperhatikan mengenai hakikat kaderisasi dan kader itu sendiri. Bukankan kader tersebut tidak hanya berada di “satu orang” itu masih ada kader-kader yang lain yang belum terlihat secara sepenuhnya, ataukah memang saat ini “kader-kader” telah menghilang karena sering adanya perebutan kader, baik untuk berada di tempat asalnya ataukah di tempat perantauannya, posisi dan juga nafsu belaka??? Gila jabatan dimana-mana!!! Inikah kaderisasi yang terjadi saat ini dan para kader-kader calon penerus bangsa???
#ditulis ketika melihat pergoncangan hebat yang terjadi di depan mata.
*Ahmad Syukron
Mahasiswa Teknik Fisika ITS
bagus kron tulisanmu,
BalasHapusayo segera diubah "adat" tersebut.
kita mulai dari diri kita sendiri :)
matur nuwun mas, mari bersama-sama kita "ubah adat" seperti ini yang memang sepantasnya tidak terjadi di zaman yang seperti ini.
BalasHapus