Jumat, 08 Juli 2011

Kebanggaan yang Abstrak

s-fun.com

Oleh: Bung Samdy

Setiap bangsa punya kebanggaan, termasuk bangsa kita. Melihat negara lain begitu maju dengan gedung pencakar langitnya, orang Indonesia akan mengingat betapa dulu Borobudur dibangun di kala bangsa maju itu “masih tinggal di dalam gua”. Kalau ada sebuah negara begitu digdaya dalam menaklukkan bangsa-bangsa, orang Indonesia akan bilang, “Kami punya Majapahit dan Sriwijaya yang begitu jaya!” Karena tak ada pemain kita juara bulutangkis Indonesia Open tahun ini, kejayaan Rudy Hartono, Susi Susanti, Taufik Hidayat akan diungkit-ungkit lagi.

Bangsa kita mungkin termasuk golongan pesimis; hanya mengandalkan kebanggaan sejarah. Tak ada yang salah dengan hal ini. Sejarah mampu merangsang alam bawah sadar manusia. Orang-orang Yahudi di masa diaspora (pengasingan) di Eropa sebelum awal Abad ke-20 tidak punya bayangan sama sekali bahwa mereka bisa kembali ke Tanah Perjanjian. Buktinya, kini ada negara Israel berkat gagasan Zionisme Theodore Herzl di tahun 1890-an. Semua itu digerakkan oleh—tak lain dan tak bukan—sejarah yang dibungkus dengan semangat agama dan ras.

Bangsa Yahudi tak termasuk kaum pesimistis. Berkebalikan dengan mereka, kita menjadikan sejarah tak lebih dari pelarian belaka. Kita mengelak dari kondisi bangsa saat ini dengan mengingat masa lalu untuk dijadikan pelipur lara dari keadaan yang sebenarnya. 

Membanggakan sejarah mungkin akan disebut sebagai optimisme. Orang yang optimis paling tidak punya jawaban atas mimpi masa depannya, tidak hanya diam. Tapi, bagi orang Indonesia, kebanggaan yang kita punya sebetulnya tidak membawa pengaruh apapun. Kita hanya punya “memori”, tapi tidak punya “aksi” yang dapat mengubah apa yang abstrak menjadi konkret.

Tabiat Indonesia

Asal-muasal mengapa orang Indonesia tidak mampu mewujudkan mimpinya ada kaitan dengan tabiat bangsa ini. Saya perhatikan, orang Indonesia umumnya tidak berani berbuat apa yang diyakininya benar jika tidak punya “contoh nyata” orang yang pernah melakukannya. Bertindak serasa sulit jika tidak ada yang mengajari di depan matanya, didengarnya langsung; atau bahkan menyuruh.

Sumber keterpurukan bangsa, salah satunya, terletak pada ketidakmampuan ini. Bayangkan, mengapa sampai sekarang tidak pernah berhenti lahir koruptor? Jawaban paling lumrah: karena tidak mau bekerja keras dan berusaha sungguh-sungguh lalu memilih jalan pintas. Wujud perilaku ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Para pelajar dan mahasiswa menyontek demi mendapat nilai tinggi atau—paling tidak—agar tidak mengulang pelajaran dan mata kuliah. Setelah diwisuda, mereka akan melakukan cara-cara pintas demi mengejar karir. Kalau punya ambisi jabatan, bukan tak mungkin akan dilakukan suap atau memanfaatkan nepotisme. Jika sudah dapat jabatan mentereng tidak enak sama tetangga andai belum punya rumah dan mobil mewah meskipun gaji alakadar. Ujung-ujungnnya mencuri uang rakyat.

Hingga muncul pertanyaan, “Mengapa bangsa ini tidak berhenti melakukan tindakan tercela?” Semua paham bahwa ada sumber moral yang berasal dari ajaran agama. Tuhan diyakini mengirim para nabi untuk menyampaikan perintah-Nya pada manusia. Para nabi tentu adalah pelaksana ajaran itu yang paling sempurna. Mereka adalah manusia paling jujur, baik hati, ikhlas, tidak sombong, dan sederhana. Setiap anak bangsa, apapun agamanya, diajari sedari kecil kisah teladan mereka. Paling tidak, apa yang diyakini sebagai perintah Tuhan—yang tak bisa dilihat dan didengar—pernah dipraktekkan oleh para perantara-Nya. Jika dilarang mencuri, berzina, berbohong, berbuat curang adalah abstrak, para utusan pernah mewujudkan secara konkret di zamannya.

Sesungguhnya, harapan akan surga ataupun ketakutan pada neraka tidak membuat orang menjadi bermoral. Supaya tak masuk neraka orang Indonesia paham bahwa agama juga menyediakan cara menghapus dosa. Banyak koruptor tak tahu malu muncul di media karena percaya dosa itu bisa hilang hanya lewat pengorbanan yang ringan. Mereka yakin, sebesar apapun dosa, Tuhan Yang Maha Baik memberi peluang pengampunan. Sekalian saja dosa ditumpuk agar nanti ditebus sekalian. Korupsi pun tak pernah kenal kata habis.

Rasio dan Moral

Tapi ada ajaran moral yang sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan agama. Immanuel Kant mangatakan manusia punya apa yang disebut “rasio praktis”. Rasio praktis ini menuntun manusia untuk berbuat baik bukan karena ingin mendapat pamrih melainkan karena akalnya menuntun sebagai sebuah kewajiban. Ia menyebutnya “moral otonom” yang bersumber dari rasio praktis.

Konsep rasio praktis memang abstrak karena tidak tahu di bagian tubuh mana ia berada. Tapi ada sedikit ilustrasi. Ketika ada seorang yang jatuh dari sepeda motor dan kebetulan kita di dekatnya, seketika kita menolong orang tersebut. Kita tidak sempat berpikir bahwa dengan menolong orang itu akan dapat pahala; atau tak menolongnya jika yang jatuh itu adalah musuh kita. Contoh lainnya, ketika teman lain menyontek, kita tidak ikut-ikutan bukan lantaran ada pengawas melainkan perbuatan menyontek tersebut tidak benar.

Saya pikir, konsep filsuf Jerman terbesar itu hanya dapat tertanam pada orang-orang seperti dirinya yaitu pemikir abstrak atau mungkin hanya cocok bagi orang Eropa. Bangsa kita—seperti saya jelaskan di awal—tidak mampu mewujudkan apa yang abstrak meskipun sudah ditanamkan sejak masih kecil.

Dari secuil contoh ini, saya kira akan ada yang percaya orang Indonesia tidak akan bisa mengubah kejayaan masa lalunya menjadi sumber kekuatan yang menggerakkan bagi masa depan. Mungkin cuma segelintir. Sukarno dan Yamin dulu berimajinasi dalam romantisme Majapahit; Hatta dan Sjahrir lewat konsep sosialisme-humanis; Cokroaminoto dan Agus Salim terinspirasi dengan kejayaan peradaban Islam. Mereka berhasil mengubah yang abstrak itu menjadi kekuatan dan hasilnya adalah negara yang bernama Indonesia yang kita cintai serta sayangi—dan seharusnya jangan kita rusak lewat tabiat korup sejak mahasiswa seperti menyontek dan titip absen.

Mereka adalah pemikir. Generasi tersebut merupakan didikan Eropa yang barangkali pernah membaca buku Kant dan pemikir/filsuf Eropa lainnya. Mereka tahu bahwa apa yang abstrak itu sesungguhnya bisa menjadi konkret. Perbuatan yang bagi kebanyakan orang “terlalu berani” dan revolusioner bersumber dari konsep abstrak dalam alam pikiran mereka.

Kelihatannya, generasi sekarang tak mungkin mampu seperti mereka. Menjadikan mereka panutan sangat tak mungkin sebab mendengar kisah teladan agama sejak kecil saja tidak membawa manfaat berarti—tentu karena begitu abstrak—di kehidupan dewasanya. Akhirnya, bangsa ini pun akan terus dijangkiti pesimisme. Kejayaan pada masa lalu tidak mampu mengubah apa-apa. Kita hidup dalam kebanggaan yang tidak nyata, tidak konkret.

*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!