Jumat, 22 Juli 2011

Potret Petugas Kebersihan di ITS


Waktu menunjukkan pukul 06.00, Sabtu pagi. Tim redaksi sedang menjalankan misi untuk meliput potret petugas kebersihan di ITS, baru pada pukul 08.00 tim melihat beberapa petugas kebersihan di ITS yang sebagian besar wanita baya.
Tim langsung menuju salah satu dari mereka. Nursiyah, ibu berumur 54 tahun itu mengenalkan namanya (saat ditemui di depan gedung Rektorat). Nursiyah yang telah bekerja selama 2 tahun ini mengaku kalau dia datang lebih awal pada pukul 07.00. “Kalau nyapu-nya di depan rektorat datangnya harus lebih cepat,” aku ibu 2 anak ini.

Nursiyah sendiri tinggal di Keputih. “Saya tinggal di gubuk Mas!” Tandasnya sambil berlinangan air mata. Nursiyah juga bercerita tentang anaknya yang pintar bernama Nur Bakariyah. “Anak saya itu hebat dalam bidang komputer,” bangganya namun tetap dengan air mata yang menetes. Nur Bakariah juga sering membantu ibunya untuk mencari uang tambahan dengan memungut botol-botol bekas.
Tiga belas tahun, waktu yang tidak sedikit untuk menggapai kedudukan atau jabatan penting dalam sebuah perusahaan atau kepegawaian, tapi tidak untuk seseorang wanita dengan jilbab lusuh berwarna hitam yang telah menjalani hari-hari selama 13 tahun melakoni profesi kebersihan di kampus ITS. Lilik namanya, seorang ibu berumur 31 tahun yang setiap hari menggandeng sapu ke sana-ke mari menghampiri sampah-sampah yang berserakan di sepanjang jalan (saat di temui berada di depan jurusan Biologi) yang kemudian membersihkan sampah-sampah tersebut.
Berawal dari menjadi seorang petugas kebersihan di perumahan dosen, Lilik yang asli Surabaya ini terdaftar menjadi petugas kebersihan di ITS setelah beliau mendapat kabar bahwa kampus ini membutuhkan tenaganya, kemudian masuklah Lilik dengan status tenaga kontrak. “Saya bekerja di sini dikontrak per bulan,” akunya.
Pagi datang dengan cerah, Lilik tidak bekerja sendirian, beliau menyapu bersama teman sekaligus rekan kerja yang dulu dia ajak menjadi seorang petugas kebersihan untuk ITS. Diseh, perempuan berumur 43 tahun itu tersenyum simpul saat diwawancarai Langkah Awal. Seorang janda yang telah kehilangan anaknya. “Dulu saya punya anak yang membuat hidup saya bisa lebih cerah, namun tidak untuk sekarang,” jelas Ibu Diseh sambil tersenyum getir menandakan pahitnya kehidupan.
Lamongan menjadi asal wanita bermata coklat itu dan kini mendiami sebuah rumah di Keputih. Ia juga mengawali karirnya sebagai petugas kebersihan sama seperti Ibu Lilik. “Awalnya saya juga bekerja di perumahan dosen ITS,” katanya ramah dengan topi caping yang dikenakannya hari itu. “Dan yang mengajak saya kerja disini, ya, Ibu Lilik”. Diseh menjalani profesinya dari pukul 07.00 hingga pukul 09.00, hampir setiap hari terkecuali tanggal merah. Begitulah selama 8 tahun Ia melewati hari-harinya.
Untuk pembayaran, petugas kebersihan mendapatkan gaji sebesar 325 ribu rupiah per bulan. Tetapi saat awal bekerja, mereka hanya mendapatkan gaji sebesar 80 ribu rupiah per bulan. “Berangsur-angsur gajinya naik Mas, 90 ribu lalu menjadi 120 ribu,” ujar Lilik dengan wajah ceria yang siap memulai bekerja. “Walaupun gajinya pas-pasan, ya dinikmati aja, namanya juga orang kecil.”
Berbeda dengan Nursiyah yang mengeluhkan gajinya yang sangat kecil, tidak cukup untuk membiayai anak-anaknya yang tahun ini memasuki SMP dan SMA, “maka dari itu saya harus kerja lebih keras lagi,” tutur wanita berkulit coklat kehitaman ini sambil terbata. ”Kalau gak anak saya gak akan sekolah, saya mau anak saya kelak menjadi orang hebat.”
Gaji yang diterima Diseh dan petugas kebersihan lainnya akan mendapat potongan jika tidak masuk kerja sebesar 12,5 ribu rupiah per hari. ”Jika gak masuk kerja karena sakit, harus ada surat dari dokter, Mas!” tutur perempuan pemilik paras kalem itu. “Kalau gak, ya, gajinya dipotong.”
Bahkan Diseh menyesalkan bahwa dirinya sempat mengalami pemotongan gaji karena tidak masuk kerja pada hari raya Lebaran. “Kami diberikan libur hanya 2 hari dari ITS, dan saya membolos sampai seminggu karena pulang kampung,” jelasnya dengan sedikit gugup. ”Ya, di potong selama seminggu gaji saya.”
Selain mendapatkan gaji, biasanya petugas kebersihan mendapatkan tunjangan ataupun uang tambahan tiap tahun pada hari raya Lebaran. Tapi Lilik menjelaskan berbeda untuk tahun ini, mereka tidak mendapatkan tunjangan apapun bahkan saat Lebaran. Beliau juga sempat bercerita bahwa keadaan mereka jauh lebih baik saat rektornya masih dipegang Mohammad Nuh. “Pak Nuh sering ngasih tunjangan sama kita,” aku perempuan berbadan tambun itu, ”dan lebih memperhatikan orang kecil”.
Bahkan Diseh mengungkapkan kalau beberapa hari yang lalu sempat diajak rapat secara mendadak oleh petugas BAAK, yang memberitahukan kalau seluruh petugas kebersihan wanita akan dipecat setelah Lebaran tahun ini, dan digantikan oleh petugas kebersihan pria. “BAAK bilang kalau perempuan yang kerja lebih lama dan tidak bersih,” keluh Diseh kepada tim Langkah Awal.
Hal senada juga diungkapkan Nursiyah. “Kita selalu dimarahi Mas, dan tidak pernah bersih kalau nyapu,” ungkapnya menyesalkan. ”Kita diomeli terus padahal jam kerja udah kita tambah sendiri agar lebih bersih.”
Ketika ditanya mengenai keluh kesah keprofesiannya Lilik merasa menikmati pekerjaannya, karena sudah terbiasa. “Mau gak mau ya harus dinikmati Mas,” ucapnya polos. “Kalaupun risiko, paling keserempet mobil atau motor saat sedang nyapu.” Bahkan Nursiyah menjelaskan bahwa dia sangat bingung, bagaimana kelak kalau sampai dipecat. “Cari kerja payah Mas, gaji yang sekarang harus diolah baik-baik,” gumam wanita itu mencoba untuk tabah.
Begitulah potret Lilik, Nursiyah dan Diseh sebagai petugas kebersihan di salah satu institusi pendidikan terbaik Indonesia. Dengan terpasungnya humaniora zaman, seperti itu pulalah peradaban melahirkan feodalisme di dunia pendidikan dari bangsa besar ini. (yaumil/donny/mausuf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!