Selasa, 26 Juli 2011

Adrian Bernard Lapian: Membawa Indonesia ke Laut


jj rizal/oranglaut-bajaklaut-rajalaut
Oleh: Bung Samdy*
Sejarawan dan Guru Besar Universitas Malaya, Shaharil Thalib, menjulukinya “Nakhoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara”. Lahir di Tegal pada 1 September 1929, Lapian sempat kuliah di Teknik Sipil ITB 1950-1953 namun kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan lulus tahun 1961. Setelah itu ia bergabung dalam Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (cikal bakal LIPI) dan mulai menekuni sejarah maritim Indonesia.
Minatnya tersebut menjadi landasan saat bekerja di Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim TNI-AL antara 1962-1966. Di lembaga ini ia mempelopori penelitian dan penulisan Seri Pustaka Bahari serta mengikuti misi pelayaran TNI-AL ke beberapa negara tetangga. Pada kesempatan tersebut mulai berkenalan dan membina jaringan dengan sejarawan-sejarawan Asia Tenggara.

Ketekunan dan dedikasinya yang besar pada studi sejarah membawanya ke berbagai posisi penting dalam berbagai lembaga penelitian dalam dan luar negeri. Tapi perhatian—khususnya—pada sejarah maritim tak pernah ditinggalkan. Kepakarannya dibuktikan lagi ketika ia terpilih sebagai anggota Unesco Consultative Committee untuk program Integral Study of the Silk Road: Roads of Dialogue yang merupakan napak tilas jalur sutra via jalur laut. Inilah ekspedisi maritim pertama yang dilakukan Unesco.
Pada 13 Oktober 1990-3 Maret 1991, Lapian  adalah Leader of the Scientific Team yang menapaktilasi perjalanan legendaris Marco Polo dari Venesia sampai Osaka. Perjalanan ini diikuti serangkaian diskusi serta perdebatan ilmiah dengan berbagai pakar sejarah dan arkeologi dari mancanegara. Berbekal pengalaman tersebut, ia menggagas proyek penelitian dan penulisan seri bandar-bandar dan pelabuhan-pelabuhan Indonesia di jalur sutra yang melibatkan sejumlah sejarawan dan arkeolog masional.
Putra dari BW Lapian—tokoh pergerakan nasional dari Manado, anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada masa kolonial—ini adalah orang yang paling konsekuen selama lebih dari 30 tahun membangun ingatan supaya bangsanya sadar dan membalik pameo “jangan lupa daratan” menjadi “jangan lupa lautan”. Menurutnya apa yang berbau laut telah dilupakan dalam sejarah Indonesia.
Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut
Tak dapat disangsikan lagi, mahakarya dari mantan  Guru Besar Luar Biasa UI ini adalah disertasinya di Universitas Gajah Mada tahun 1987 berjudul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Karya ilmiah tersebut merupakan kajian sejarah area Laut Sulawesi tempat “bertemu”-nya tiga negara yaitu Indonesia (Sulawesi), Malaysia (Kalimantan Utara), dan Filipina (Mindanao). Disertasinya memukau dan menarik perhatian banyak orang, khususnya di kalangan akademisi. Tak heran jika seorang Indonesianis Anthony Reid berkata, “Tidak ada sarjana Indonesia yang telah mendemonstrasikan keahliannya sebagai sejarawan lebih baik dari Adrian B Lapian.”
Meski terkesan agak berlebihan dan subjektif, kalau ditilik dari Indonesia sebagai negara maritim, apa yang dikatakan Reid sedikit banyak benar adanya. Lapian konsisten pada identitas bangsanya. Dalam pendahuluan disertasinya ia mengatakan:
Melihat sejarah Indonesia dari wilayah daratan saja membawa akibat pengetahuan dan pandangan tentang masa lampau—yang merupakan dasar untuk mengenal dan mengerti masa kini—selalu berat sebelah. Penulisan sejarah yang berpretensi atau beraspirasi nasional dalam arti yang sebenarnya tidak lengkap apabila yang diutamakan hanya unsur darat saja dari yang seharusnya tanah air.
Sebagaimana sejarawan Indonesia terkemuka semisal Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam, Lapian juga mengabdi di LIPI. Ia menjabat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI 1986-1990. Di usia senja, ia masih mengajar di beberapa universitas. Peraih Habibie Award 2010 ini meninggal dunia di Jakarta hari Selasa, 19 Juli 2011, dalam usia 82 tahun. Semoga menjadi inspirasi bagi bangsa ini!

Sumber Primer: Adrian B Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Depok: Komunitas Bambu, 2009)
Sumber Sekunder: Kompas (20/7-2011)
*Samdysara Saragih
Mahasiswa Teknik Fisika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!