Oleh: Bung Samdy *
Dari Deli mampir ke Penang
Bawa rupiah berganti ringgit
Boleh saja akumu senang
Kutahu jiwa menahan jerit
Kita dan Malaysia saudara, satu rumpun katanya. Indonesia bekas koloni Belanda dan Malaysia dijajah Inggris. Tapi, kedua negara lahir dari rahim yang sama.
Pendiri Kerajaan Melayu (Malaka), Prameswara, adalah orang Palembang. Hal ini diakui oleh Anwar Ibrahim—pemimpin oposisi Malaysia saat ini, muridnya mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir—sendiri, nenek moyang orang Malaysia toh berasal dari Sumatra. Sebagian Malaysia dulunya bagian Kerajaan Aceh Darussalam.
Aceh, Palembang, dan Sumatra kini Indonesia. Dahulu, nelayan di Medan bisa
memancing ikan hingga ke Perak tanpa halangan, yang sekarang bakal ditangkapi karena melanggar perbatasan. Orang Padang pergi ke Banda Aceh yang—menurut seorang Belanda bernama Roolvink—merupakan pusat sastra Melayu abad ke-17, untuk membaca karya sastra penyair semisal Hamzah Fansuri tanpa perlu takut bakal dituduh menjiplak.
Di masa-masa ketika penjajah Barat datang, orang-orang Jawa, Bugis, merantau ke sana sambil membawa serta budaya leluhur. Banyak tokoh Malaysia keturunan Indonesia. Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, misalnya adalah keturunan Bugis.
Persentuhan budaya ini kerap dijadikan alasan Malaysia untuk mengklaim kebudayaan Indonesia. Mereka patenkan rendang, batik, reog, hingga lagu Rasa Sayange. Kita marah, tidak bisa menerima. Kita katakan Malaysia telah mencuri milik bangsa sampai-sampai dijuluki “Malingsia”.
Apapun itu, sekarang Malaysia berada di depan dalam ekonomi. Pendapatan per kapita mereka lebih tinggi. Pembangunan segala lini juga meningkat pesat. Anak bangsa sampai perlu diekspor menjadi TKI. Jelas, mereka merasa semakin superior. Di sana, orang Indonesia dipanggil dengan sebutan rasis, indon, sambil menatap iri menara Petronas yang tinggi itu dan mulusnya sirkuit Sepang—yang tiap tahun dilintasi Ferarri, Mercedes, Honda di lomba balap Formula 1.
Demokrasi dan Kesejahteraan
Tapi, apakah yang dapat kita banggakan di hadapan Malaysia saat ini? Demokrasi!
Lihatlah Malaysia. Warga keturunan Cina dan India didiskriminasi, Melayu dianakemaskan. Masing-masing etnis punya aturannya sendiri. Diskriminasi rasial itu bersumber dari tiadanya pemahaman utuh atas kemanusiaan. Menilai manusia berdasarkan ras, agama, telah melawan hakekat manusia yang plural. Karena ada yang “paling tinggi”, tentu otomatis ada yang “lebih rendah”. Timbullah hasrat si Melayu menguasai si non-“Pribumi”.
Manusia dibatasi hak dasarnya. Tidak ada kebebasan berpendapat di sana. Hampir seluruh media dikuasai pemerintah. Jarang kritik didengar dari pers karena pemerintah katanya, tak mau pembangunan tersendat—mirip gaya Orde Baru.
Tanda adanya demokrasi di Malaysia cuma pemilihan umum. Memang benar, dengan adanya pemilu, prasyarat sebagai negara demokrasi bisa dipenuhi. Rakyat memberi suara untuk partai, lalu partai mayoritas parlemen membentuk kabinet sesuai sistem Parlementer bergaya Inggris. Tapi, sayangnya, pemilu hanya melahirkan pemerintah yang sama dari sejak mereka merdeka, 1957, hingga sekarang yaitu pemerintahan koalisi Barisan Nasional yang dipimpin partai UMNO.
Tapi, kita pun tahu, dalam sistem demokrasi, tak mungkin bisa ada sebuah rezim yang bertahan begitu lama. Dunia berubah, begitupun pilihan politik rakyat. Malaysia yang dipimpin “musuh” Bung Karno, Tunku Abdul Rahman di tahun 60-an, tentu tak sama dengan Malaysia kini. Namun partai berkuasa tidak siap menerima semua kenyataan itu. Mereka pun sampai perlu memanipulasi pemilu dengan aneka cara.
Sabtu (9/7) kita saksikan di televisi demonstrasi massal menuntut pemilu yang adil dan bersih. Sayang, kelompok Bersih 2.0 tersebut dihadang sedemikian rupa. Para demonstran ditangkapi bahkan pentolannya, Anwar Ibrahim, terluka. Melihat aksi di sana, barangkali kita ingat sejenak peristiwa 13 tahun lalu di Jakarta. Para demonstran itu mengenakan jaket kuning, mirip dengan jas almamater UI.
Yang berbeda agaknya cuma tuntutan belaka. Di sana, penguasa tidak diminta turun paksa. Tapi ada benang merahnya: penguasanya tidak demokratis. Dalam negara demokrasi, pemilu adalah “suci”. Sebab itulah ajang di mana sang rakyat (demos) memilih wakilnya. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kalau suara rakyat dicurangi, sama juga melawan kehendak Tuhan.
Syukurlah, negara ini sudah meninggalkan cara-cara biadab tersebut. Kita mungkin tidak kaya, tapi kita punya demokrasi. Meski demokrasi “punya kita” belum bisa menyejahterakan si demos lahir dan batin; di Indonesia, setiap orang bebas “menjerit”, menyuarakan ketidaksukaan pada pemimpin yang keliru.
Di tengah ketertinggalan saat ini, tidak perlu kita minder. Justru Malaysia yang pantas iri melihat bangsa ini punya sesuatu yang luar biasa. Dan kita pun rela andai akhirnya Malaysia “mencuri” salah satu harta kita yang paling berharga itu. Bahwa demokrasi adalah nilai universal, dan tidak usah malu untuk meniru dan mengadopsinya.
Generasi mahasiwa saat ini hidup dalam alam demokrasi. Para pemimpin yang buat negara rusak adalah pewaris zaman otoriter yang boleh jadi terbiasa hidup korup dan menjilat. Buatlah keyakinan dalam diri bahwa di masa generasi kita memimpin nanti, tidak ada praktek semacam itu lagi. Bukti bahwa demokrasi sejati dapat membuat rakyat Indonesia sejahtera lahir sekaligus batin, bukan seperti negeri jiran yang untuk menjerit pun sulit nian!
*Samdysara Saragih-Mahasiswa Teknik Fisika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!