books.dinomarket.com |
Oleh: Bung Yaumil*
“Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar,
kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka,
Pram adalah sastrawan yang mengintip dunia dari balik jeruji. Pria kelahiran Blora, Jawa Tengah ini memiliki nama asli Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Ia di lahirkan pada tanggal 6 Februari 1925.
Seorang sastrawan yang begitu dihargai di luar negeri namun justru dianiaya oleh pemerintah di negerinya sendiri. Hidupnya di habiskan sebagai tahanan politik: 3 tahun dalam penjara kolonial, setahun di orde lama dan 14 tahun di orde baru (13 Oktober 1965-Juli 1966, Nusa-Kambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, Pulau-Buru Agustus 1969-12 November 1979, Magelang-Banyumik November-Desember 1979) yang acapkali disebut sebagai pemberontak dan tentunya dihukum tanpa proses pengadilan. Dari balik jerujilah dia telah berkeliling dunia dari negara-negara Eropa, Afrika, Asia hingga Amerika seperti yang di paparkannya dalam Tetralogi Buru. Putra sulung Institut Budi Utomo ini telah membuktikan bahwa penjara tidak akan pernah membuatnya berhenti berkarya untuk melawan kesewenang-wenangan, "Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan” jelasnya di Bumi Manusia.
Belum selesai sampai disitu, Pram mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S-PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota dan tahanan negara hingga tahun 1999—karena masih termasuk dalam anggota Lekra. Tentunya tidak akan habis-habisnya membahas perjalanan Pram yang sarat akan penindasan atas kesewenang-wenangan.
Sang pujangga yang berkali-kali dinominasikan untuk meraih penghargaan Nobel Sastra ini tidak bisa memisahkan hidupnya dari sastra "Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan” jelas Pram. Baginya sastra adalah roh manusia dan tanpa sastra manusia hanyalah daun kering. Begitu juga roh humanis dan keilmuan yang tidak pernah luntur dari karya-karyanya yang telah lahir: Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca), tetralogi sejarah Nusantara: Tumapel-Singasari (Arok Dedes), Majapahit (Mata Pusaran), Demak-Mataram (Arus Balik) dan Mangir-Mataram (Lakon Mangir), dll.
Sedikit Tentang Dia:
Pengelola halaman sastra koran Bintang Timur itu menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Secara luas dikenal sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pram telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Tentunya dia pun telah mengantongi banyak penghargaan dari berbagai penjuru dunia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi. Pria pemilik senyum ramah-tamah ini mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa.
Selama masa penahanan dan kerja paksa di pulau Buru ia secara sembunyi-sembunyi menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Tetralogi Buru secara, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pram sebagai organisasi nasional pertama.
Penerima Ramon Magsaysay di Filipina sampai Pablo Neruda Award di Chili juga menyatakan bahwa kebangkitan nasional adalah "Sarekat Priyayi" yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo pada tahun 1906, dan bukan Budi Utomo. Alasannya: semangat dan wawasan "Sarekat Priyayi" lebih luas dari Budi Utomo. Budi Utomo menggunakan bahasa Jawa dan Belanda, sedangkan "Sarekat Priyayi" menggunakan lingua franca—bahasa bangsa-bangsa yang terperintah. Indonesia pun bergetar di buat seorang Pram dan baginya “Sarekat Priyayi" merupakan peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional..
Buku-bukunya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Sebuah karya pemiliki ideologi “Pramisme”—keadilan, kemanusiaan dan kedamaian ini telah melahirkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995) yang sempat membangun paradigma baru tentang sejarah, Soeharto kembali berang!
Sayang seribu sayang, ketika Pram mendapatkan Ramon Magsaysay Award (1995), diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pram yang dituding sebagai “jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan padanya. Antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) memang telah lama terjadi konflik prinsip sejak 17 agustus 1963.
Beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu “bukan menuntut pencabutan, tetapi mengingatkan siapa Pramoedya itu.” Katanya, “pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan.” Bahkan, Mochtar Lubis mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya (1958) jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
"Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang.” Begitulah pram membangun bangsanya dengan cinta dan mengkritik adalah caranya untuk mencintai, berhenti mengktirik baginya sama seperti berhenti bercinta. banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia. Sahabat filsuf Jean Paul Sartre ini menulis buku Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia juga menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Ungkapnya dalam Bumi Manusia
Buku-bukunya pun banyak yang di larang, bahkan beberapa bukunya hilang tanpa jejak di masa kediktatoran Soeharto. Tulisan Pram di anggap terlalu provokatif dalam membangun perspektif sejarah baru. Bahkan Mata Pusaran —anak-ruhaninya pram hilang setelah sempat dititipkan untuk diselamatkan dan ditemukan sekitar tahun 1990 oleh seorang berkebangsaan Belanda di pasar buku loak Kwitang, Jakarta, yang ada tinggal 130 halaman. Mulai dari halaman 232-362. Jadi, cerita awal dan akhir entah masih terselip di mana atau sudah terkubur mati dan tak bakal kembali. Dalam Mata Pusaran “yang kembali” ini, hanya ada lima bab. Di mulai dari bab 10 sampai 14. Bab 10 bertitel “Arus dari Utara II” (232-262 hal), Bab 11: “Perang Lidah” (263-286 hal), Bab 12: “Bara Didalam Hati” (287-310 hal), Bab 13: “Arus dari Utara III” (311-336 hal), dan Bab 14: “Tuban” (337-362).
“Sumbangan Indonesia Untuk Dunia” begitulah Pram ikut serta membangun peradaban dunia dengan karya-karyanya. Pram telah membuktikan bahwa sastrawan Indonesia ikut dalam membangun kembali pondasi-pondasi kebenaran atas peradaban dengan sejarah alternatifnya. Pram pun menutup umurnya pada tanggal 30 April 2006 saat berusia 81 Tahun.
"Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” –Pramoedya Ananta Toer-
Surabaya, Malam 22 Juli 2011.
*Yaumil F Gayo – Planologi ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!