Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 8 (13 – 26 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Samdy*
Jeng Sri yang Terhormat,
Mungkin orang akan bilang saya hilang akal sehat karena menulis surat untuk makhluk halus. Tak apa, mungkin hanya pada Jeng saya menemukan kehalusan hati.
Saya tak menyangka hantu Jeng Sri diberitakan oleh koran Memorandum yang provokatif hampir 3 minggu lalu. Beberapa mahasiswa dan dosen mengaku pernah diganggu oleh Jeng Sri di kala malam. Desas-desus menyebut arwah Jeng tidak tenang karena bunuh diri akibat persoalan cinta. Jeng, saya pikir, mati demi cinta sebenarnya agak tipis dengan ketololan.
Saya pernah menonton film Romeo dan Juliet yang diangkat dari drama Shakespeare sang pujangga. Keduanya mati hanya karena salah paham belaka. Untunglah cuma fiksi.Meskipun Jeng mati karena alasan berbeda, saya tetap menganggap itu sebuah kesalahan. Demi cinta, memang banyak orang mengakhiri hidup, tapi cintanya bukanlah pada kekasih. Para pahlawan dulu mati untuk orang yang tidak dikenalnya, untuk kita-kita ini. Mereka gugur karena cinta pada bangsa. Pun, ada orang yang rela mati demi revolusi. Bagi golongan ini, setiap perubahan membutuhkan pengorbanan dan mereka siap mempersembahkannya demi idealisme. Apa boleh buat, Jeng telah memutuskan pergi ke alam lain karena tak kuat menanggung beban.
Tapi, mengapa setelah meninggalkan dunia fana ini—dan menjadi makhluk halus—Jeng menakuti orang? Apakah Jeng senang dengan semua itu? Mungkin memang sedikit ada gunanya. Misalnya, seorang atheis akan kembali percaya pada-Nya karena alam ini ternyata tidak hanya materi, tapi ada alam yang metafisik alias dunia roh. Beberapa orang lagi setelah menjumpai Jeng mulutnya komat-kamit berucap doa padahal ibadah pun jarang.
Sayangnya, di Indonesia, kesalehan agama itu tidak berbanding lurus dengan praktek hidup sehari-hari. Orang-orang memenuhi masjid, gereja, pura, vihara lalu sesudah pulang memenuhi dunia dengan perbuatan busuk. Apa daya Jeng, mungkin benar kata Mochtar Lubis bahwa salah satu sifat orang Indonesia adalah “munafik”. Bahkan, tahukah Jeng, ada di antara orang-orang pintar ini menggunakan simbolisasi agama dalam bidang kehidupan. Agama yang begitu suci itu dibuat hina sebagai pemuas syahwat politik yang sudah ke ubun-ubun.
Tahukah Jeng, orang-orang ini mudah saja mencari pembenar. Mereka akan mengatakan, selama sistem itu bukanlah berdasar agama, atau dari hukum Tuhan, boleh-boleh saja berbuat curang. Akibatnya, Jeng bisa melihat bagaimana orang-orang yang menggembor-gemborkan diri sebagai paling mulia justru jatuh ke lumpur kotor jua. Merekalah para pendusta agama, Jeng!
Jeng Sri,
Saya menduga Jeng menakuti manusia ITS ini lantaran iri. Bagaimana tidak, Jeng mati dalam usia muda sedangkan 20.000 penghuni ITS sebagian besar akan hidup lama. Dalam umur yang panjang kami bisa berbuat bagi bangsa, untuk rakyat.
Tapi tunggu dulu, kalau benar dugaan saya itu, tampaknya Jeng keliru besar. Mahasiswa ITS mungkin akan hidup lama, namun sesudah lulus sebetulnya tidak berbuat apa-apa bagi bangsanya. Bangsa ini akan terus penuh orang miskin, Jeng. Mahasiswa ITS memang diciptakan oleh para pemimpin kampus menjadi manusia tak tahu diri. Kami dikondisikan sedemikian rupa untuk membayar setimpal kelak ruangan kelas ber-AC, wifi, lapangan tenis, KFC (Kantin Food Court) bercat oranye, atau—yang terbaru—jalan kavling bergambar sepeda penanda kampus peduli lingkungan.
Padahal, yang sebenarnya membiayai kami adalah RAKYAT INDONESIA lewat APBN! Uang SPP itu tidak lebih dari 16 persen total biaya pendidikan kami (sekitar 18 juta rupiah per tahun). Tapi, justru inilah yang berhasil ditanamkan: karena cuma 16 persen, kami dibodoh-bodohi untuk percaya bahwa kenaikan SPP sebesar 300 ribu itu masih wajar.
Tidakkah kami dungu? Dengan kenaikan itu sebenarnya jatah uang rakyat pada kami berkurang. Dan, tanggung jawab pada yang membiayai kami—rakyat tentu saja—pun akan mudah sirna. Coba Jeng pikirkan, mahasiswa ITS akan berpikir orang tuanya membayar mahal. Lalu si mahasiswa akan takut pada ancaman orang tuanya untuk cepat-cepat enyah dari kampus ini. Sesudah lulus, mereka ingin mengganti jerih payah orang tuanya itu dengan mengemis kerja ke perusahaan yang sudah mencekik-menghisap rakyat—yang justru telah membiayai pendidikan kami. Coba Jeng, durhaka macam apa lagi namanya!
Mungkin Jeng mengira saya keliru karena uang APBN bukanlah uang orang miskin tapi justru pajak dari orang kaya. Benar Jeng! Tapi, orang kaya semisal Bakrie, Sjamsul Nursalim, Frans Winata atau M Nazaruddin—bekas Bendahara Partai Demokrat yang sekarang sembunyi di Singapura—mendapatkan pundi-pundi uangnya dari tanah Indonesia ini. Siapakah yang memiliki Tanah Air? Jeng pasti akan menjawab: Rakyat! Itulah, pada dasarnya para pengusaha itu tidak akan bisa bermewah-mewah kalau bukan karena rakyat.
Teramat pedih hati ini Jeng! Kalau uang rakyat yang membiayai kami makin meningkat, pasti mahasiswa ITS akan malu kalau hanya mengejar kekayaan dan gengsi palsu pasca-lulusnya. Bahkan kalau saja pendidikan kami gratis, alias rakyatlah yang sepenuhnya membayar kami, rasa balas budi akan tertanam lebih kokoh. Lihatlah negara Eropa di mana Pancasila tidak ada. Tapi rakyat membiayai gratis pendidikan anak bangsanya. Dan, manusiawi jika seorang insan akan membalas kebaikan itu dengan segenap daya hingga bisa kita lihat kesejahteraan mereka.
Jeng Sri,
Asal Jeng tahu, para pemimpin kampus kami selalu mengatakan bahwa kenaikan SPP ini demi mempertahankan kualitas pendidikan. Kampus ini terpaksa menaikkan—bahasa mereka “menetapkan”, karena mahasiswa lama tidak naik, hanya mahasiswa baru—demi mengejar defisit. Tapi, ketika kami minta data keuangan terkait hal ini, mereka selalu berlindung di balik hukum Jeng! Mereka berdalih bahwa undang-undang tidak mengizinkannya.
Mungkin, cuma Jeng-lah satu-satunya harapan kami. Jeng, daripada menakut-nakuti orang tak penting, bantulah kami Jeng. Beritahukan pada kami seperti apa rapat senat sehingga diputuskan SPP naik. Katakan Jeng, siapa saja profesor yang keberatan dengan kenaikan itu sehingga kami tahu siapa yang nuraninya masih dipakai. Atau, kalau saat rapat itu Jeng sedang sibuk, berilah kami dokumen-dokumen berisi data keuangan yang sering dijadikan alasan itu sehingga kami tahu pemimpin kampus bohong atau tidak. Teroboslah pintu-pintu dan lemari besi tempat menyimpannya. Hanya Jenglah yang tidak terjangkau aturan-aturan hukum dunia ini dan cuma Jeng yang mampu menembus ruang tanpa kendala.
Jeng, Tan Malaka pernah berkata: “Dari alam kubur, suaraku akan lebih kuat terdengar”. Bukan maksudnya kubur Tan Malaka bersuara untuk menakuti orang lain, melainkan karya, pikiran, dan sumbanganya memang banyak dibicarakan jauh setelah ia tiada. Saya kira, apabila Jeng mendengar permintaan saya, itulah “suara” Jeng yang paling keras gaungnya. Itulah bantuan Jeng bagi rakyat Indonesia yang telah Jeng tinggalkan ini. Temuilah kami Jeng, katakanlah kebenaran itu!
Sekian!
Surabaya, 8 Juni 2011.
*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus