Kamis, 16 Juni 2011

Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK)


Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 8 (13 – 26 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Henry*
NKK/BKK seolah menjadi pagar yang membatasi mahasiswa dari aktivitas politik. Setelah terjadinya peristiwa Malari, mahasiswa yang dianggap sebagai biang kerusuhan, digiring pemerintah—rezim Soeharto—untuk kembali ke kampus dan fokus pada bidang keilmuannya. Walaupun kejelasan dari peristiwa Malari sendiri masi kabur, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daud Yusuf solah telah memvonis mahasiswa dengan gerakannya sebagai pelaku kejahatan dengan memberikan sangsi melalui SK No.0156/U/1978 (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan SK No.037/U/1979 (Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
”Back To School”

Pada 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura, penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah penyebaran benih-benih teror dan pengekangan. Sejak awal 1978, dua ratus aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian dari mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa untuk mengakui sebagai pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal. Di UI, panser juga masuk kampus. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala.
Bgaimana denan ITS? delapan fungsionaris DEMA masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer. Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak didiknya. Beberapa berhasil tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain.
Berangkat dari peristiwa Malari dan gerakan-gerakan mahasiswa lainnya yang mengusung isu ”turunkan Soeharto”, pemerintah akhirnya memutus hubungan ”pertemanannya” dengan mahasiswa dalam dunia perpolitikan karena dianggap mengancam stabilitas pembangunan dan kekuasaan nagara. Dampak yang dirasa cukup besar adalah pembubaran Dewan Mahasiswa (DEMA), yang pada waktu itu merupakan simbol demokrasi kampus. Pasca pembubaran DEMA, kegiatan kemahasiswaan terbatas pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi juga dinyatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Solusi yang diambil pemerintah saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented sehingga selama puluhan tahun kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa dan demonstrasi.
Daud Yusuf selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mangambil langkah konkret untuk mengembalikan mahasiswa ke ”kandang”. Normalisasi kehidupan kampus dan membentuk badan koordinasi kemahasiswaan—cikal bakal terbentuknya bidang III dalam struktural birokrasi kampus adalah solusi efektif.
Politik Praktis dan Gerakan Mahasiswa
Diskusi yang diadakan pada hari Rabu sore di teras kantin pusat berlangsung seru. Peserta diskusi Bung Samdy mengatakan ”ada hal lain yang kita tidak ketahui (implisit) yang melatarbelakangi Daud Yusuf membuat kebijakan NKK/BKK”. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang Daud sendiri yaitu liberal. Daud kuliah di Perancis dan dia telah mempelajari peristiwa Revolusi yang terjadi di sana pada tahun 1968. ”Menurut Daoed, ada tiga kategori untuk orang-orang yang berkecimpung dalam politik, pertama adalah politisi (masuk partai atau pejabat), kedua adalah ilmuan politik (pakar), dan yang ketiga saya lupa,” tutur bung Samdy. Bung Samdy jg menambahkan bahwa pada rezim Soeharto, bahkan pakar politik pun takut untuk bersuara.
Daud memang menganggap bahwa mahasiswa tidak seharusnya masuk ke ranah politik praktis. ”Politik praktis terkait jabatan,” kata Bung Samdi.”Jadi ketika mahasiswa mengadakan demonstrasi dengan membawa isu ”turunkan Soekarno” atau ”tolak Soeharto” maka mahasiswa sudah dianggap masuk ke dalam ranah politik praktis,” tambahnya. ”Menurut Daud mahasiswa salah memahami politik,” ujar Bung Frans selaku pengantar wacana pada diskusi kali ini. Jadi ketika mahasiswa mengadakan demonstrasi dengan membawa isu ”turunkan Soekarno atau tolak Soeharto maka mahasiswa sudah dianggap masuk ke dalam ranah politik praktis,” Bung Samdi menambahkan. ”Menurut Hariman Siregar, mahasiswa memang tidak boleh masuk dalam ranah politik,” Bung Yaumil menambahkan.
Peserta diskusi berdebat cukup panjang akibat penyataan Daud yang menganggap bahwa mahasiswa kala itu sudah kelewat batas. ”NKK/BKK oleh Daud akan membuat definisi tunggal untuk politik praktis,” tambah Bung Samdi. ”Hal ini menimbulkan dampak turunan, mahasiswa sekarang hanya mengusung profesionalisme,” Bung Imot coba menegaskan.
Memang bukan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi diskusi Rabu sore di teras Kantin Pusat ITS (dikerangkeng) telah membuka kembali ingatan peserta diskusi akan pengekangan pada mahasiswa yang dilakukan sejak adanya NKK/BKK yang walaupun sudah dicabut pada Tahun 1990, masih menyisakan dampak turunan melalui kebijakan-kebijakan Bidang III dan peraturan-peraturan kampus yang tak lagi berpihak pada anak didiknya.
Telah didiskusikan di Kantin Pusat ITS pada hari Rabu, 25 Mei 2011, pengantar wacana: Bung Frans.
Sumber: Peserta Diskusi, Wikipedia
*Henry P Siregar-Teknik Sipil ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!