Kamis, 09 Juni 2011

Sejarah dan Kiprah Militer

Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 7 (30 Mei – 12 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Donny*
Mendengar kata militer maka kita akan langsung terbayang sosok manusia-manusia gagah dan tangguh. Manusia-manusia pilihan dengan kemampuan bertahan hidup yang tinggi. Dan kata “perang” tampaknya tak bisa lepas dari militer. Militer memang mempunyai daya tarik tersendiri. Sehingga 13 Mei 2011 telah menjadi sejarah dalam hidup kami, malam yang panjang kami habiskan untuk membahas sekelumit tentang militer.
Mengutip dari Encyclopedia Americana, Bung Samdy selaku pengantar wacana memberikan beberapa definisi tentang militer. Militer adalah sistem nilai yang menggabungkan nilai ksatria, kesetiaan, dan kekuatan fisik. Militer sendiri bertolak belakang dengan nilai-nilai sipil seperti individualisme, humanisme, rasa ingin tahu intelektual, dan kreativitas artistik. Militer sendiri menerima perang dan persiapan berperang sebagai kebutuhan bertahan. Pada masa awal dan masyarakat primitif, militer dapat dikatakan suatu kumpulan yang teroganisir untuk menjarah (orang-orang “nakal” bersenjata). Lalu pada masyarakat yang  lebih modern, militer dihubungkan dengan penguatan tujuan nasional. Pertengahan abad 19, dunia barat menghubungkan militer dengan imperialisme dan kebijaksanaan luar negeri yang agresif.
Militer di Indonesia sudah berkali-kali berganti nama. Mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Rakyat Indonesia (TRI), dan Tentara Nasional Indonesia (TNI)—sampai sekarang. Urip Sumoharjo yang mendesak untuk dibentuknya kesatuan militer di Indonesia. Dan Sudirman yang berkesempatan menjadi pimpinan tertinggi militer pertama di Indonesia. Militer di Indonesia mempunyai sejarah kelam, dengan adanya dwi fungsi ABRI pada era orde baru.
Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Bung Yaumil, “Bagaimana jika militer masuk dalam dunia politik? Positif atau negatif?”. Melihat kondisi kekinian, Bung Donny berpendapat bahwa akan banyak nilai negatif jika militer masuk dalam kancah politik, DPR saja banyak masalah dewasa ini. Bung Arif memberikan pandangan terhadap pertanyaan Bung Yaumil. Jadi jika gaji untuk pemerintah itu tidak banyak, mungkin militer bisa menjadi baik. Militer mengikuti pemimpinnya, jadi tergantung pemimpinnya. Dengan meminimalisir gaji untuk pemerintah, diharapkan orang-orang dalam pemerintahan tersebut adalah orang-orang yang benar-benar ingin mengabdikan diri pada nusa dan bangsa.
Di tengah diskusi yang sedang berlangsung, Bung Imot mengeluarkan kegelisahannya. Dia tidak setuju dengan adanya militer di dunia ini. Bukankah dunia menginginkan perdamaian, tetapi mengapa militer dikembangkan. Suatu kontradiksi yang akhirnya menjadi bahan renungan bagi seluruh anggota diskusi. Bung Didin pun menanggapi kegelisahan Bung Imot. Hal tersebut terjadi karena banyak kepentingan pribadi dan kelompok. Setiap negara di dunia ingin sejajar dengan negara lain. Lalu ada sebuah pernyataan, kalau lebih baik setiap negara-negara di dunia ini melebur menjadi satu, jadi hanya ada satu pemerintahan. Sehingga tidak perlu ada militer. Bung Donny berpikir jika di dunia hanya ada satu pemerintahan, justru potensi terjadinya peperangan akan lebih besar. Bukankah sekarang banyak negara di dunia ini karena setiap bangsa ingin berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri. Bila hanya ada satu pemerintahan di dunia, maka setiap bangsa akan memperebutkan tampuk kepemimpinan, kerusuhan dan perang hasilnya. Bung Yaumil mengungkapkan pendapat Johanes, bahwa dunia menuju satu. Menurutnya hal tersebut dapat dilihat dengan adanya persatuan mata uang di Eropa—Euro. Salah satu fakta yang mendukung pernyataan bahwa dunia sedang menuju satu kesatuan.
Lantas bagaimana citra militer di mata masyarakat Indonesia? Masyarakat sendiri sebenarnya melihat kontradiksi dalam militer. Militer yang seharusnya membela negara, tapi kadang malah menyengsarakan rakyatnya sendiri. Sebagai contohnya adalah peristiwa 1998, di mana militer menembaki para demonstran. Yang memang pada saat itu militer Indonesia memiliki dua fungsi. Bagaimana kita dapat menilai dengan keadaan yang seperti itu? Maka semua kembali ke pemikiran masing-masing. Kita sebagai rakyat berhak berpendapat dan mengkritisi tentang militer yang ada di Indonesia.
Lantas benarkah bahwa militer merupakan pertahanan terakhir suatu negara? Bung Arif berpendapat bahwa militer memang merupakan pertahanan terakhir suatu negara. Berbeda dengan Bung Arif, Bung Henry mengatakan bahwa budaya adalah pertahanan suatu bangsa. Selama budaya dari suatu bangsa masih hidup, maka bangsa itu tetap hidup walaupun manusia-manusianya telah tiada. Perbincangan pun berjalan alot. Apakah sama antara bangsa dan negara? Kami pun mencoba mencari terlebih dahulu apa itu bangsa dan apa itu negara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bangsa adalah kesatuan dari orang-orang yang sama asal keturunannya, adat, bahasa, dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan untuk terbentuknya suatu negara ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama adalah wilayah, kedua adanya rakyat, dan yang terakhir adalah pemerintah yang berdaulat. Dari sana dapat dilihat bahwa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa, yang akhirnya kumpulan bangsa-bangsa tersebut kita kenal sekarang dengan bangsa Indonesia. Memang tidak ada kata sepakat dalam diskusi ini. Setiap peserta diskusi memiliki pikiran masing-masing. Kebebasan berpikir benar-benar kami junjung dalam diskusi ini.
Telah didiskusikan pada hari Jumat (13/5) di pelataran BAPSI ITS
*Donny Mitra Virgiawan-Matematika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!