Senin, 06 Juni 2011

Renungan Tentang “Guru” Kita

Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 7 (30 Mei 12 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Imot*
Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Dituntut pengabdian dan juga ketekunan. Mempunyai rasa kesabaran dan welas asih dalam menyampaikan pelajaran. Seharusnya, guru tidak hanya berceramah, tetapi mendidik dan mengajarkan. Juga mencontohkan tingkah laku yang baik. Tidak semua orang mampu menjalankannya.

Menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan
yang gemerlap. T
idak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga gemerlap cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung. Namun, ada nilai kemuliaan disana dan pada gurulah cahaya kebajikan dalam setiap ilmu yang mereka ajarkan. Lewat gurulah memancar gemerlap sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan. Guru adalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak didik mereka.
Guru: Antara Kebajikan dan Kepicikan
Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar gerak-gerik bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Maka dari itu, seorang guru harusnya mampu menjadi panutan. Tetapi, beberapa kasus kriminal tentang seorang guru, mampu meredupkan bahkan memadamkan kerlap-kerlip cahaya kebajikan pengejar tersebut. Seperti halnya yang terjadi Januari 2011 lalu. Seorang pengajar SDN di Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Haris Munandar selaku guru olah raga didakwa melakukan pencabulan terhadap 5 siswinya dan dijerat dengan pasal 82 (1) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sifat seorang guru yang mencerminkan sosok pahlawan seakan menghilang dengan munculnya kriminalitas Haris Munandar. Sangat tidak patut dilakukan oleh seorang guru selaku panutan.
Dalam perguruan tinggi, kita sudah tidak mengenal lagi istilah guru. Sosok yang seharusnya mengajar, mendidik, memberi contoh dengan tingkah laku yang baik, dipanggil dengan sebutan dosen. Namun, apakah berbeda guru dengan dosen? Pada hakikatnya tidak sama sekali. Guru dan dosen mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama. Layaknya orang tua yang mendidik anaknya merupakan secerca kewajiban dan tanggung jawab moral yang harus dimiliki seorang guru dan dosen.
Sepertinya telah terjadi kesenjangan sosial antara guru dan dosen. Guru yang dikenal dengan motor bututnya dan hidup yang apa adanya. Tidak serupa dengan dosen, mobil mentereng dan kehidupan yang lebih dari sekedar layak sudah menjadi hal yang biasa di kalangan dosen. Bukan maksud menyalahkan kalau dosen mempunyai kehidupan yang lebih mumpuni. Namun, apalah artinya kalau didapat dengan cara tidak patut. Tidak benar seorang dosen jika menerima banyak proyek dan larut dengan kesibukan di luar kewajiban mendidik, sehingga peserta didikmahasiswatidak mendapatkan haknya secara layak. Dan lebih tidak mendidik lagi, ketika seorang dosen memberi nilai yang tinggi kepada mahasiswanya agar tidak ada yang protes tetapi sebagai mahasiswa mau tidak mau, “ya pasti mau”.
Gemerlap kehidupan malam memang sudah menjadi trend pada jaman sekarang ini. Minum minuman keras, berjoget dalam lampu yang samar, saling sentuh antara lelaki dan wanita tidak menjadi sesuatu hal asing di diskotik yang biasa orang menyebutnya nigth club. Layakkah seorang dosen yang seharusnya menjadi panutan masuk ke dalamnya? Rasanya sudah jelas jawabannya. Jangankan seorang dosen, manusia biasa yang beradab pun sesungguhnya tidak layak masuk ke dalam lembah hitam itu, memang ada pengecualian bagi manusia yang biadab.
Namun, apa yang terjadi jika salah seorang dosen masuk ke dalam gemerlap kehidupan malam? Tentu urat sarafnya sudah putus. Sedikit mendengar pengalaman dari seorang mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS. Mahasiswa tersebut bertemu dengan salah seorang dosennya yang duduk dalam ruangan remang-remang, bising akan suara musik, dan kanan-kirinya didampingi dengan wanita penghibur. Bahkan seringkali seorang dosennya itu mengajak mahasiswanya dan tak jarang pula membuat janji bertemu dengan mahasiswanya ditempat tidak terpuji itu. Atau mungkin dosen tersebut tidak memiliki masa muda karena diisi dengan buku dan kelas perkuliahan saja, sehingga ketika memasuki umur tua dan mengenal kemewahan, bingung akan menghabiskan uang dan berniat membalaskan dendam masa mudanya.
Tak terbayangkan jika semua dosen pada perguruan tinggi bertingkah laku seperti itu. Sosok yang seharusnya menjadi panutan, tak layak menjadi teladan. Bukan menjadi pendidik, justru malah merusak generasi penerus dengan gaya hidupnya. Mungkin dari guru yang tak patut digugu lan ditiru itu negara ini menjadi negara yang rusak moralnya.
Sekira guratan kegelisahan seorang mahasiswa seperti saya.
*M Rifqy-Teknik Sipil ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!