Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 7 (30 Mei – 12 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Amen*
Jika diperhatikan benar–benar Pancasila itu terdiri atas dua fondamen. Pertama, fondamen moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, fondamen politik, yaitu peri―kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi, dan keadilan sosial. (Bung Hatta)
Cakupan perspektif tentang Pancasila memang begitu beragam, atau bisa dikatakan multitafsir. Dengan demikian akan selalu ada dialektika tentang implementasi Pancasila yang sesuai dengan kondisi kekinian bangsa.
Sebagai dasar negara yang digali oleh para pendiri bangsa, Pancasila telah diuji oleh beberapa gerakan-gerakan yang berusaha untuk menggantikan kedudukannya—sebagai nilai-nilai pemersatu bangsa. Mulai dari ideologi komunis, imperialis, berlanjut dengan gerakan DI/TII, upaya kelompok-kelompok yang ingin menerapkan sistem khilafah, sampai paling kontemporer adalah NII. Tentu yang diharapkan dalam kehidupan berbangsa adalah mencapai kesejahteraan rakyat dan dalam melakukan metode-metode untuk mencapainya bisa saja berasal dari beragam inspirasi berdasarkan lingkungan dan ilmu pengetahuan yang dilalui oleh setiap orang.Sebagaimana diungkapkan oleh Mahatma Gandhi ”Di dunia manapun, ketika nir―kekerasan dan kebenaran menjadi supremasi, maka di situ ada perdamaian dan kebahagiaan. Apabila semua itu tidak bisa kita temukan, kita harus memahami bahwa mereka masih tersembunyi dari pandangan kita. Akan tetapi mereka tidak bisa lenyap secara total. Orang-orang yang memiliki hati dan keimanannya, akan mencapainya dengan selamat dan akan membawa manusia lainnya untuk meraihnya”.
Bahwa ketika kita rujukkan dengan nilai-nilai dalam Pancasila seperti yang diungkapkan oleh Bung Hatta diatas, maka kita akan menemukan keterkaitan antara moralitas dan perdamaian. Penerapannya adalah dengan berbagai bentuk upaya persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial yang mengedepankan moralitas sebagai parameter dari tingkat kesejahteraan rakyat.
Di saat kelompok-kelompok garis keras yang berupaya menggantikan kedudukan Pancasila maupun sistem kenegaraan Indonesia seolah menjadi bukti bahwa ada yang salah dalam pengurusan negara. Hal inilah yang menyebabkan Pancasila dianggap tidak sesuai lagi sebagai dasar negara. Sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya, agama, dan berbagai paham pemikiran yang ada memang diperlukan kapasitas seorang pemimpin bangsa yang lebih dari cerdas dan berwibawa, tetapi juga kemampuan untuk menginspirasi seluruh pluralitas bangsa menjadi serat-serat yang saling memperkuat. Dengan begitu kita tidak hanya dapat hidup bersama secara lebih rukun dengan kepekaan akan hak dan kewajiban individual–sosial yang lebih tinggi, bahkan lebih dari itu kita juga akan sanggup melaksanakan rencana-rencana pembangunan Bangsa dengan sedikit distorsi, friksi dan mengedepankan toleransi.
Ketika upaya-upaya demokrasi suatu bangsa dilakukan dengan gerakan kudeta, revolusi berdarah, dan gerakan sejenisnya justru hal itu adalah penanaman benih kebencian yang suatu saat bisa tumbuh menjadi gerakan serupa bagi rezim yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, multitafsirnya Pancasila harus dipahami dalam bingkai moralitas yang mengedepankan persatuan dalam mencapai kesejahteraan bangsa. Pancasila sebagai dasar negara tentu saja dapat menimbulkan potensi perdamaian maupun perpecahan tergantung dari kepentingan pihak yang menafsirkan. Tetapi ketika menyadari kedudukan kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang wajib untuk menjaga kedaulatan Bangsa, maka relevansi Pancasila sebagai dasar negara telah teruji dalam periode-periode sejarah yang telah dilalui Bangsa Indonesia.
”Kita semua tentu sepakat bahwa Indonesia di masa depan adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun, dan berbuah lebat sebagai sebuah pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan, dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat dari generasi ke generasi”. Ungkapan yang disebutkan Sri Sultan Hamengku Buwono tersebut tentunya masih layak, sebagai upaya dan tujuan dari kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila.
Yang dicontohkan oleh mayoritas kehidupan saat ini adalah budaya materialisme yang diadopsi pula oleh banyak pejabat negara. Lihatlah mereka yang ke luar negeri dengan kantong uang yang berlimpah-limpah. Di toko-toko dan Moulin Rouge, mereka memasukkan uang ke kantong para kapitalis, orang-orang pintar dan para pemerah uang. Mereka ibarat menyelipkan kemakmuran mereka kepada para penari mahal. Si kaya yang jatuh miskin tersebut kemudian kembali ke negerinya untuk mengumpulkan cukup uang untuk pergi ke sana sekali lagi. Mereka melakukan ini secara sangat alami—bahkan bangga. Dengan kebohongan mereka memutar uang rakyat dalam lingkaran-lingkaran yang mengatasnamakan kewajiban warga negara. Dan inilah yang mereka namakan kehidupan demokrasi modern. Bentuk salah urus negara yang seperti ini sangat memungkinkan untuk timbulnya gerakan-gerakan sosial anti pemerintah yang menyebabkan rusaknya harmonisasi Bangsa. Tentu saja akan lebih massif dan anarkis ketika dibalut dalam jubah keagamaan.
Pancasila sesungguhnya dilahirkan dengan kearifan budaya dari kehidupan Bangsa Indonesia sendiri yang jauh sebelum republik ini dideklarasikan, oleh karena itu dalam perspektif orang jawa bahwa Pancasila adalah terdiri dari Peri–Ketuhanan dan Peri―Kemanusiaan. Artinya Pancasila tidak memisahkan antara agama dan negara (sekuler), justru spirit bernegara itu dilandasi dan diinspirasi oleh keimanan dan ajaran-ajaran dari seluruh agama dan kepercayaan di Indonesia. Kita lihat begitu banyak rakyat bangsa ini yang hidup dalam ruang – ruang berukuran 5 x 6 meter saja tetapi justru seringkali ruang kecil itu yang melahirkan ruang yang luas di hati mereka untuk menerima kenyataan kehidupan dengan tingkat kebahagiaan sekecil apapun yang mereka terima. Ini adalah bukti spiritualitas yang mereka wujudkan dalam kehidupan berbangsa. Dalam segala keterbatasannya, mereka masih dapat bertoleransi diantara sesama. Jadi Pancasila adalah perasan atau saripati dari kehidupan bangsa Indonesia.
Sesungguhnya Bangsa Indonesia tidak memerlukan reformasi apalagi revolusi, cukup dengan menghayati dan menerapkan nilai – nilai Pancasila maka Indonesia akan mampu mensejahterakan Rakyatnya.
*Nukman Haris-Alumni Teknik Fisika ITS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!