Senin, 06 Juni 2011

Politik, Ormek, Ad-Hoc; Tim Ad Hoc atau Tim Ormek

Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 7 (30 Mei – 12 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Rafli*
“Politik itu tahi kucing.” (Herman Lantang)
Begitulah kiranya cuplikan dialog Herman Lantang kepada Soe Hok Gie dalam film Gie karya Riri Riza saat dirinya dipaksa oleh Soe Hok Gie untuk mencalonkan diri menjadi ketua Senat Fakultas Sastra UI.
Tidaklah berlebihan, jika Herman Lantang memandang politik sebagai hal yang busuk. Menurut berbagai definisi para ahli, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Menurut Isjware, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan, pembentukan dan penggunaan kekuasaan.

Di negara kita, para pelaku politik praktis (politikus) sehari-harinya menjadi “badut” di layar televisi dan memberikan lelucon miris kepada masyarakat.
Semisal kasus Antasari Azhar, tren badut politikus ini mulai menjamur, masyarakat disuguhi berbagai dinamika sandiwara politik yang menyerang sana ― menyerang sini. Berlanjut dengan Susno Duadji yang mengungkap kebobrokan hukum Indonesia dan menyerang stabilitas politik negara. Belum lagi ditambahi oleh tingkah anggota DPR yang menurut (alm) Gus Dur, “kayak anak TK saja”.
Drama politik dapat dilihat secara langsung ketika anggota DPR bertingkah layaknya anak kecil dalam kasus hak angket Century. Kemudian anggota dewan yang melihat film porno ketika sidang DPR, padahal ia merupakan salah satu anggota dari fraksi Partai -Tuhan- Keadilan Sejahtera. Belum lagi anggota DPR yang berbohong memberikan alamat email kosong kepada wartawan.
Dilanjutkan pernyataan lucu namun tragis yang disampaikan oleh ketua DPR, Marzuki Alie, “Hanya orang-orang elite yang bisa diajak membahas pembangungan gedung DPR, rakyat kecil jangan diajak ikut campur memikirkan biaya gedung, mereka sudah susah untuk mencari makan.” Dan terakhir adalah kasus Nazarudin yang membuat seluruh anggota Partai -Agung- Demokrat kepanasan.
Demikianlah sekelumit adegan badut politikus dan partai politiknya menghiasi kehidupan rakyat Indonesia.
Bagaimana Politik dalam Kampus
Kehidupan kampus seringkali diidentikan dengan miniatur kehidupan bernegara. Layaknya sebuah Negara; terdiri dari beberapa aparatur pemerintahan dan rakyat. Ada beberapa kursi kekuasaan yang selalu diperebutkan berbagai pihak dengan beragam kepentingan. Di sinilah peran partai politik untuk memperebutkan, mempertahankan, dan melanggengkan kekuasaan. Dan rakyat dijadikan objek potensial untuk menjadi modal dukungan suara ke partai-partai.
Tak ayal, dalam setiap Pemilu; baik Kepala Negara dan Kepala Daerah, bertebaran obralan janji partai dan calon wakil rakyat di relung-relung perkotaan, di pelosok pedesaan. Yang pada akhirnya pasti berujung dusta ketika Pemilu usai. Dan rakyat? hanya bisa mengeluh dan menggelengkan kepala.
Mungkin hal itulah, yang membuat mahasiswa—rakyat di kampus “jengah” dengan kondisi tersebut. Dan enggan untuk berpolitik praktis dalam kampus. Tapi realitanya, para mahasiswa mau tidak mau, harus bersinggungan dengan politik. Karena setiap tahun, pasti terjadi regenerasi dalam organisasi kemahasiswaan baik tingkat institut, fakultas, maupun jurusan. Politikus negara sering memanfaatkan momentum ini sebagai pembelajaran politik kepada mahasiswa. Mereka pun membentuk bermacam “kaki” partai politik dalam bentuk Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Ormek).
Situs online Wikipedia mencantumkan bahwa pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959), sejarah mencatat ada beberapa Ormek yang menjadi kaki-kaki partai politik. Semisal PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) dengan Partai Katholik, GMNI (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dekat dengan PNI, CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dekat dengan PKI, Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia) dengan PSI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) berafiliasi dengan Partai NU, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dengan Masyumi, dan lain-lain. Gerakan Ormek tersebut seringkali menodai pemikiran idealis mahasiswa, karena di berbagai kasus ditunggangi oleh kepentingan partai politik di atasnya.
Pada tahun 1966, ketika gerakan mahasiswa melebur menjadi satu dan membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) untuk menentang orde lama dan berhasil menggulingkannya. Beberapa mahasiswa angkatan ’66 mendapat hadiah politik untuk duduk dalam lingkar kekuasaan orde baru. Kebanyakan dari mereka adalah tokoh-tokoh mahasiswa dalam Ormek seperti Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI, dll. Namun ada seseorang yang tetap pada idealisnya untuk tidak mencicipi kenikmatan kekuasaan. Ia terkenal dengan semboyan “lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan”. Soe Hok Gie namanya.
Demikianlah sekilas kisah Ormek dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Hingga kini, bermunculan Ormek baru seiring partai politik yang menjamur di Negara kita. Semisal KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang dekat dengan PKS.
Walaupun pada tahun 2002, Dirjen Dikti (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi) mengeluarkan SK (Surat Keputusan) No. 26/DIKTI/KeP/2002 Tentang PELARANGAN ORGANISASI EKSTRA KAMPUS ATAU PARTAI POLITIK DALAM KEHIDUPAN KAMPUS. Ormek-Ormek masih bisa bernafas dan mencari para kadernya di kampus dengan mendirikan basecamp yang dekat dengan lokasi kampus dan terus eksis melaksanakan pelatihan kader dalam berbagai bentuk. Terkadang mereka menggunakan Jarkom SMS dan selebaran yang ditempel di jurusan ataupun spanduk yang dipajang di depan gerbang kampus untuk menjaring kader.
Bagaimana keadaan ITS
Beberapa tahun terakhir ini, tidak banyak mahasiswa ITS yang mengetahui sejarah pergerakan mahasiswa dan dinamika Ormek di dalamnya. Tapi di beberapa kampus lain, semisal IAIN Surabaya yang menerapkan sistem partai politik kampus dalam tata organisasi kemahasiswaannya. Ormek sudah bukan merupakan barang asing lagi. Karena mereka ada di belakang partai-partai kampus. Sehingga mahasiswa bisa terjun langsung berpolitik praktis di partai kampus. Ketika dilangsungkannya Pemira di kampus tersebut hampir tidak dapat dihindari konfrontasi yang dilakukan mereka—tentunya dengan berbagai alasan.
Di ITS, berdasarkan Mubes III yang ditetapkan pada tahun 2001, organisasi mahasiswa berpusat pada kantong-kantong Himpunan, BEM fakultas, dan BEM institut. Sedang mahasiswa yang ingin mengembangkan minat bakatnya pada bidang seni, olahraga, dan penalaran bisa menyalurkannya di LMB, atau lebih tepatnya di UKM  yang bersangkutan.
Menuju Mubes IV Keluarga Mahasiswa ITS 2011, Tim Ad Hoc yang diberi wewenang oleh Legislatif Mahasiswa ITS untuk menyusun draft rancangan Mubes IV justru mengeluarkan isu strategis akan dibentuknya sistem politik partai kampus. Dengan dasar pemikiran untuk memberikan penyadaran dan pendewasaan politik ke seluruh mahasiswa ITS.
Pertanyaannya, benarkah hal demikian yang dimaksud Tim Ad Hoc atau ada kepentingan lain yang menungganginya?
Indikasi bahwa kepentingan Ormek ingin melebarkan sayapnya dalam sejarah pergerakan mahasiswa ITS timbul akibat isu tersebut. Karena saat ini Ormek tidak begitu bebas mencari kader baru dalam kampus, apalagi pihak Birokrasi ITS juga mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan mahasiswa baru tidak boleh bersinggungan dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan di tahun pertama mereka belajar
Sebelumnya, berbagai macam cara mereka lakukan. Kader-kader Ormek berhasil menempati beberapa posisi strategis dalam kemahasiswaan ITS. Semisal menjabat sebagai Presiden BEM, Ketua Hima, maupun staf-staf penting dalam organisasi tersebut. Dengan adanya partai politik kampus, maka kesempatan mereka untuk memasukkan kepentingannya ataupun kepentingan partai politik di atasnya lebih mudah dan terbuka lebar.
Berdasarkan catatan yang saya miliki. Tim Ad Hoc saat ini yang berjumlah 17 mahasiswa, 10 diantaranya adalah anggota Ormek. Sedangkan lebih dari 2 orang tim pengawal yang berasal dari perwakilan BEM, LM, MKM, LMB, dan LSM adalah anggota Ormek. Nah, terkait dengan isu dibentuknya sistem partai politik kampus. Tentunya saya tidak berani menjamin. Apakah kelak partai politik kampus benar menjadi media pembelajaran dan pendewasaan politik mahasiswa? Atau sekedar sarana agar teman-teman Ormek dengan mudah “mengakomodasikan” kepentingannya?
*R Arif Firdaus Lazuardi-Matematika ITS

1 komentar:

  1. saya rasa kita ambil positifnya saja,,, mahasiswa itu kn gak harus berpolitik, tapi minimal HARUS TAU politik,,, mungkin dgn adanya sistem partai kampus, mhasiswa yg enggan berpolitik akan bisa mngetahui lebih bnyk ttg politik krna sudah ada contoh sample pembelajaran terdekat n terjangkau mata (partai kampus)...

    toh klo memang ada ormek yg "terlibat", pasti bakal kelihatan n tinggal "ditumpas" saja berdasarkan perraturan yg sudah dibuat.., krn klo memang akan ada partai kampus, pasti sudah dibuat segala macam bentuk peraturan yg berkaitan dgn hal tersebut,,,

    BalasHapus

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!