Senin, 06 Juni 2011

Mahasiswa Kontemporer Takut Hidup


Dipublikasikan juga di catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Bung Iftah*
Hidup Mahasiswa…Hidup Mahasiswa!!! itulah jargon konvensional yang digunakan sebagai simbol pemicu semangat generasi menengah bangsa ini—simbol pengekangan dari kebebasan, simbol keterbatasan artikulasi suara, curahan jiwa-jiwa yang berdarah militansi. Penuh romantisme perjuangan ketika hal tersebut menghasilkan kesadaran bertindak untuk tidak saja melakukan hal-hal yang bernuansa kependidikan formal kampus dan ego-ego pribadi secara mutlak. Ketika kedua hal itu dilengkapi secara sadar dengan pemanfaatan potensi manusia sebagai manfaat sosial—itulah sewajarnya hidup.

Ada bagian, menurut saya sejarah romantik ketika tahun 1945, pra kemerdekaan, kita dihadapkan pada fakta bahwa kondisi pendidikan di Indonesia masih sangat terpuruk dengan keadaan jumlah sarjana yang ada di Indonesia hanya bisa memenuhi kursi-kursi dalam 1 buah bis kota dan jumlah masyarakat Indonesia yang bisa membaca dan menulis hanya berkisar kurang dari 15% dari seluruh jumlah rakyatnya. Pancasila, UUD dan sebagainya telah ditelurkan dalam kurun waktu yang tidak lama setelah proklamasi di kumandangkan—bukan orang yang bergelar professor, bukan orang yang berpendidikan tinggi seperti gelar-gelar yang sudah ada saat sekarang yang menghasilkan itu—hanya orang-orang yang memanfaatkan fungsi sosialnya untuk suatu kata kebebasan yang melakukan hal tersebut, melakukan hal yang tidak dapat dilakukan oleh generasi saat ini.
Suatu diskursus semangat dan perjuangan yang terjadi saat-saat sekarang, terutama dengan kaum yang masih digolongkan sebagai kaum-kaum muda dan intelektual, Untuk kaum tua? Dari dulu hanya punya dua peran—pertama sebagai teladan (baik ataupun buruk) dan ke dua sebagai pengukir sejarah penderitaan. Itulah kenapa kita kaum-kaum muda harus memotong rantai itu—kaum-kaum terpelajar. Suatu ketimpangan fungsi sosial yang terjadi saat ini adalah ketika kita sebagai kaum muda beranggapan bahwa urusan public merupakan urusan setelah ”kita” mendapatkan jabatan formal sebagai pengatur bangsa besar ini—beranggapan bahwa sesungguhnya yang kita lakukan saat ini hanyalah berorientasi pada ilmu-ilmu eksak yang sedang kita pelajari. Pertanyaan klasik adalah, kapan kita memulai perjuangan untuk urusan masyarakat dan manusia? Apakah setelah ilmu kita mencapai tahap ”pantas” untuk memberikan persepsi dan bertindak? Padahal kebanyakan orang berpendapat bahwa masa seseorang memegang idealisme dan pendirian adalah sewaktu masa-masa sekarang, masa menjadi seorang golongan yang terpelajar dan penuh dengan kobaran semangat—kita seakan-akan menutup lembaran sejarah itu sebagai suatu lelangan zaman.
Ketika kita meninjau hal itu dengan sejarah hidup orang-orang yang berjuang sebagai pioner bangsa ini dulu—bangsa ini dipelopori oleh orang-orang ”terpelajar” yang tidak memiliki gelar resmi dalam bidang ilmunya—sehingga makna terpelajar merupakan suatu gelar yang diberikan pada orang-orang yang sudah mulai berpikir tentang pembebasan akan kesewenang-wenangan yang terjadi di bangsa ini, berani dari awal menyatakan bahwa banyak terjadi ketidakadilan pada bangsa yang telah lebih dari setengah abad ini. Lantas apa gunanya banyak orang-orang terpelajar dengan gelar berbagai macam sarjana, kalau hanya bersikap dan bertindak sekedar untuk keperluan makan dan beranak? Kalau kita dididik dalam lingkungan teknik yang sering di analogikan sebagai orang-orang yang akan berprofesi sebagai pembangun—mulai berpikirlah, bukan saja gedung-gedung yang dibangun, bukan saja mesin-mesin yang kita buat secanggih mungkin, bukan saja teori-teori eksak yang kita modelkan—buatlah cara untuk membangun karakter manusia, buatlah cara-cara untuk menjadikan manusia-manusia Indonesia modern, buatlah cara-cara mengembangkan pola pikir manusia secara efisien dan kreatif.
Nyatanya, sekarang kita adalah orang-orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang modern, kita sudah mulai tahu mana yang seharusnya kita lakukan dan mana yang tidak kita lakukan—dan kalau terdiam, berarti kita menyetujui kesalahan-kesalahan yang sedang kita rasakan sekarang untuk diteruskan dan dilanggengkan. Inilah kecacatan seorang terpelajar negeri ini, mahasiswa yang terbilang golongan intelektual—sungguh takut tidak mendapatkan status sosial yang wajar, takut tidak mendapatkan penghasilan yang wajar, takut tidak mendapatkan kehidupan yang wajar—takut hidup.
Wajar juga ternyata kita akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu bangsa ini, padahal orang-orang itu dulu lebih memperdulikan masyarakat sewaktu mereka berada di jalur kita saat ini—hasilnya idealisme itu runtuh setelah meminjam jabatan penting—apa yang kita harapkan dengan tidak memulai pergerakan itu dari sekarang, takutkah dengan jargon ”sekarang idealis besok monopolis”—tinggal menunggu ilham sewaktu tua? Sama menunggu kematian!
Berapa banyak lagi umur dan kejadian-kejadian yang kita lewatkan untuk mulai berjuang memikirkan masyarakat dan bangsa ini—mulai dari memperhatikan masalah-masalah kecil, masalah sosial yang kita temui—wujudkan dengan sebuah tindakan sebagai solusi—gerakkan kereta-kereta muda dengan berbagai macam ekspresi, jangan sampai terdiam di stasiun yang sama. Perjuangan selalu ada yang memulai, dan mahasiswa serta golongan ”terpelajar” yang harus memulai pembaharuan tersebut. 20 mei 2011
*Muhammad Iftahul Jannah-Geomatika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!