Kamis, 16 Juni 2011

Antara Bidik Misi dan Indonesia Mengajar


Dipublikasikan juga di buletin Langkah Awal, Edisi 8 (13 – 26 Juni 2011) dan catatan akun FB: Langkah Awal-ITS
Oleh: Jeng Nada*
“Pendidikan adalah kehidupan yang murni dari jiwa dalam memegang nafsu dan mengendalikan manusia. Bahkan kemurniannya melebihi air sungai gangga” Gandhi.
Anies Baswedan dalam seminar di Unair 5 April lalu sempat menyebutkan salah satu tujuan dari gerakan Indonesia Mengajar adalah menciptakan calon penerus bangsa yang memiliki grassroot understanding. Pemimpin yang memiliki grassroot understanding kini makin sedikit, itulah salah satu sebab berbagai kebijakan yang dihasilkan pemerintah seringkali tidak memihak rakyat. Kebijakan-kebijakan yang ada justru semakin menguntungkan para pemilik saham dan investor saja.

Karena itu, para pemuda-pemudi fresh graduate yang tinggal dan mengajar selama satu tahun di daerah pedalaman ditempa untuk mendapatkan pengalaman baru dan lebih mampu melihat bangsanya dari aspek kerakyatan sehingga kelak ketika menjadi pemimpin mereka mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan amanat rakyat dan memihak rakyat. Orang-orang yang pernah terjun langsung dan tinggal satu dengan masyarakat akan lebih mampu merasakan derita masyarakat tidak hanya sekadar pemanis bibir atau iming-iming ketika kampanye berlangsung.
Dari penjelasan Anies, bahwa para pengajar yang terpilih untuk bergabung dengan gerakan Indonesia Mengajar adalah orang-orang dengan kemampuan akademik dan organisasi yang lebih di atas rata-rata. Hal ini merupakan hasil dari seleksi yang ketat, dari ribuan peserta yang mendaftar hanya ada 51 yang diterima pada gelombang pertama dan 69 pada gelombang kedua. Mereka yang terpilih ini sesungguhnya bisa bekerja di perusahaan-perusahaan asing maupun multinasional dengan gaji yang lebih dari cukup, tapi mereka memilih untuk melepaskan itu semua, selama setahun, menjadi pengajar mengabdikan dirinya untuk rakyat.
Sementara itu, beasiswa BIDIK MISI justru disediakan bagi lulusan SMA yang akan melanjutkan kuliah. Tidak hanya biaya pendidikan yang disubsidi selama delapan semester tapi juga biaya hidup. Tahun 2010 merupakan tahun pertama Beasiswa BIDIK MISI diselenggerakan dan mampu memberikan titik terang pendidikan bagi hampir sepuluh ribu pelajar Indonesia yang kurang mampu.
Dua hal ini, BIDIK MISI dan Gerakan Indonesia Mengajar memang dua hal yang berbeda. BIDIK MISI diselenggerakan oleh Pemerintah sementara Gerakan Indonesia Mengajar dimotori oleh Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan. BIDIK MISI merupakan program beasiswa pendidikan (diajar) sedangkan Indonesia Mengajar adalah program mengajar. Namun jika diamati lebih jeli, maka akan bisa ditemukan benang merah dari dua hal ini.
Menteri Pendidikan Nasional, Drs Mohamad Nuh, DEA ketika acara dialog dengan Mahasiswa ITS Penerima Beasiswa BIDIK MISI di Graha Sepuluh Nopember pada hari Sabtu terakhir pada April lalu menyampaikan bahwa kelak, 15 hingga 20 tahun lagi para Mahasiswa yang ada di hadapan beliau saat itulah yang akan menjadi pemimpin bangsa. Itulah benang merah antara Gerakan Indonesia Mengajar dan Beasiswa BIDIK MISI, mempersiapkan calon pemimpin bangsa. Perbedaannya adalah gerakan Indonesia Mengajar menempatkan para pengajar di asal grassroot sementara beasiswa BIDIK MISI berasal dari grassroot itu sendiri, berasal dari mayoritas masyarakat Indonesia, masyarakat kurang mampu.
Dengan pengalaman hidup yang tidak hanya setahun berada di grassroot, idealnya mahasiswa penerima beasiswa BIDIK MISI memiliki kepekaan sosial yang lebih. Ketika mereka menjadi pemimpin kelak, harusnya kebijakan mereka nanti lebih pro grassroot. Lebih pro rakyat.
Namun, seringkali, program-program bermutu milik pemerintah kurang pengawasan dan cenderung rawan praktik penyelewangan. Sementara program-program swasta, dengan dana swadana—meskipun tidak menutup kemungkinan—cenderung lebih rapi dan lebih diawasi. Disinilah tugas kita sebagai mahasiswa untuk mengawal program pemerintah yang mulia. Misal sebagai penerima beasiswa, kita harus mampu menyelesaikan studi dengan baik dan berusaha menduduki posisi penting dalam bekerja kelak agar dapat menjadi salah satu penentu kebijakan dan tentunya dengan menjaga grassroot understanding  yang dimiliki. Sebagai nonpenerima beasiswa, kita tetap harus mengawal program ini, agar dana tetap transparan, pemilihan mahasiswa tepat sasaran. Menumbuhkan negara dan bangsa yang lebih sehat dan lebih baik adalah tugas bersama, bukan hanya swasta atau pemerintah namun juga Mahasiswa.
*Qotrun Nada Haroen-Mahasiswi Teknik Informatika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Redaksi langsung menghapus komentar yang tidak mencantumkan nama penulis komentar (anonim)!